Karina menutup pintu kamarnya rapat-rapat, tubuhnya masih gemetar. Ia bersandar di balik pintu, wajahnya merah padam.
“Astaga… Kak Sean tadi lihat semua…” gumamnya dengan suara lirih.
Ia menutupi wajah dengan kedua tangannya. “Ya Tuhan… kenapa aku bisa sebodoh itu? Nonton film dewasa di ruang TV dan aku melakukan… sampai ketahuan lagi.”
Karina berjalan mondar-mandir, resah. “Gimana kalau Kak Sean cerita sama Mama Papa? Habis aku… mereka pasti marah besar.”
Ia menggigit bibir, matanya berkaca-kaca. “Malu banget… aku nggak sanggup kalau mereka tahu.”
Tubuhnya jatuh terduduk di tepi ranjang. Karina menarik bantal, memeluknya erat.
“Aku harus gimana sekarang? Hadapi Kak Sean? Nggak mungkin… aku nggak sanggup menatap wajahnya.”
Ia mendesah panjang, lalu menatap ke langit-langit. “Udah lah… besok aku harus cari kos. Kalau terus tinggal di sini… bisa berabe. Aku nggak mau Kak Sean punya kesempatan buat ngomongin aku lagi.”
Karina merebahkan tubuhnya ke ranjang, masih memeluk bantal.
“Semoga dia nggak cerita ke siapa-siapa… kalau sampai Mama Papa tahu… tamat riwayatku.”
Ia menutup mata, bergumam lirih sebelum tertidur.
“Aku cuma pengen hilangin rasa sepi… kok malah jadi masalah besar begini…”
Sean mematikan televisinya lalu masuk ke kamarnya dengan langkah terburu. Tangan kirinya masih menggenggam celana dalam Karina. Begitu pintu tertutup rapat, ia melemparkan celana dalam Karina ke ranjang, lalu segera melepaskan pakaiannya satu per satu.
“Ahhh… aku tidak tahan lagi…” desahnya lirih, tubuhnya terasa terbakar.
Ia bergegas masuk kamar mandi. Air dingin menyiram kulitnya, namun tak mampu meredam gejolak yang meledak di dalam d**a. Tangannya bergerak cepat, memegang pusakanya sendirisendiri menurutnya naik turun ia memejamkan matanya.
“Karina…” erangnya sambil memejamkan mata.
Bayangan wajah Karina muncul jelas di kepalanya. Rambut panjang, tatapan polos, dan senyum yang membius.
“Ahhh… ya Tuhan… kenapa harus kamu…” desah Sean makin keras.
Dalam khayalannya, suara lembut Karina menggoda, “Kak… lebih cepat… aku ingin merasakannya…”
“Damn!!” Sean mengerang, tubuhnya bergetar hebat hingga akhirnya ia mencapai klimaks. Nafasnya tersengal, keringat bercampur dengan air yang masih mengalir.
Beberapa saat kemudian, ia berdiri lemas menatap bayangannya di kaca.
“Gila… apa yang sudah kulakukan…” gumamnya, wajahnya penuh rasa bersalah.
Setelah selesai, Sean mengenakan pakaian bersih, lalu mengeringkan rambutnya. Namun pandangannya kembali tertuju pada celana dalam Karina yang tergeletak di ranjang.
Perlahan ia mengambilnya, mendekatkannya ke wajah. Seketika aroma lembut itu menusuk hidungnya.
“Ohhh… sittt… aromanya… membuatku semakin gila,” desahnya parau, matanya setengah terpejam.
Ia menjatuhkan tubuh ke ranjang, menekan wajahnya ke bantal sambil bergumam, “Kenapa… kenapa aku selalu membayangkanmu, Karina? Aku tidak seharusnya…”
Dengan berat hati, ia melipat celana dalam itu dan menyimpannya di laci nakas. Ia berbaring, mencoba memejamkan mata. Namun desahan imajinasi tadi masih terngiang jelas di kepalanya.
Dalam tidurnya yang kembali gelisah, Sean terseret lagi ke dalam mimpi.
Kali ini ia berada di kamar tidurnya sendiri. Cahaya lampu redup, tirai berayun perlahan. Di atas ranjang, Karina berbaring mengenakan lingerie tipis berwarna hitam, wajahnya merah merona.
“Karina…” Sean mendekat, matanya tak berkedip.
Wanita itu menoleh sambil tersenyum menggoda. “Kak… aku menunggumu. Kenapa lama sekali?”
Sean menghela napas, suaranya bergetar. “Aku takut… takut kehilangan kendali.”
Karina mengulurkan tangan, menarik leher Sean agar mendekat. Bibirnya nyaris menyentuh.
“Kalau begitu… lepaskan saja. Malam ini, aku hanya milikmu.”
Sean gemetar, menunduk lebih dekat. “Ahhh… Karina…” desahnya tertahan.
Karina mendesah lembut saat Sean menyentuh pipinya. “Iya Kak… jangan ragu… aku menginginkanmu.”
Desahan lirih itu menusuk telinga Sean, membuat tubuhnya bergetar.
“Damn… kamu membuatku gila,” ujarnya serak, tangannya menyusuri lengan Karina.
Karina menggeliat manja, mengerang kecil. “Ahhh… iya begitu… jangan berhenti… lebih cepat, Kak…”
Sean merasa seluruh tubuhnya panas. Nafasnya terengah. “Aku… tidak bisa menahan diri lagi…”
“Kalau begitu… jangan tahan, Kak…” Karina merapatkan tubuhnya, wajahnya merah, napasnya memburu. “Aku ingin lebih dalam… ahhh… iya…”
“Karinaaa…” Sean mendesah keras, tubuhnya menekan lebih dekat. Keringat membasahi pelipisnya dalam mimpi.
Karina menutup mata, menggigit bibir bawahnya. “Ahhh… lebih kuat… aku hampir—ahhh!” suaranya menggema, membuat Sean semakin kehilangan kendali.
Detik berikutnya, tubuh Sean bergetar hebat. Ia mencapai puncak dalam mimpi itu, sambil berteriak lirih, “Ahhh Karinaaa…!”
Sean terbangun lagi dengan d**a naik-turun, keringat membasahi seluruh tubuhnya. Sprei kembali lembap, tanda mimpi itu terasa nyata.
Ia duduk di ranjang, wajahnya tertutup kedua tangan.
“Sial… kenapa mimpi ini terasa terlalu nyata… dan kenapa harus Karina…”
Matanya melirik laci nakas, tempat lingerie Karina tersimpan. Ia menunduk, menghela napas berat.
“Kalau terus begini… aku bisa benar-benar gila.”
Pagi buta, Karina sudah bangun. Setelah mandi, ia menyiapkan perlengkapan kuliahnya—laptop, binder, buku—lalu merapikan rambut dan berdandan tipis. Saat keluar kamar, ia berpapasan dengan Nathalia yang baru pulang membawa koper.
“Pagi, Kak Nana,” sapa Karina dengan sopan.
“Pagi,” Nathalia menguap lelah. “Sampai jam berapa semalam kamu?”
“Jam lima sore aku udah di rumah, Kak,” jawab Karina pelan.
Nathalia menatapnya sambil menyandarkan koper. “Udah mau berangkat kuliah? Kayaknya kepagian banget.”
Karina tersenyum tipis. “Nggak kok, Kak. Aku mau jalan-jalan dulu sebentar sebelum ke kampus.”
“Kenapa nggak nungguin Mas Sean aja? Siapa tahu kalian bisa berangkat bareng,” ujar Nathalia santai.
Karina langsung menggeleng cepat. “Nggak usah, Kak. Aku nggak enak. Takut ngerepotin.”
Nathalia menyipitkan mata. “Ngerepotin gimana sih? Dia itu kan sepupu kamu sendiri, Rin.”
Karina pura-pura sibuk mengecek tasnya. “Aku berangkat dulu ya, Kak. Bye…” Ia buru-buru keluar unit apartemen tanpa menoleh lagi.
Nathalia mendengus sambil mengangkat koper. “Cih… malas banget sebenarnya aku basa-basi sama keluarganya Sean.” Ia masuk kamar, meletakkan koper, dan rebah di ranjang tanpa melepas makeup.
Tak lama, Sean bangun dari tidurnya. Wajahnya masih lelah, karena mimpi semalam membuatnya tidak nyenyak. Begitu keluar kamar, ia melihat Nathalia.
“Kamu baru pulang?” tanya Sean dingin.
“Iya, Mas. Baru dari Bandung,” jawab Nathalia singkat, lalu langsung merebahkan diri. “Aku capek banget.”
“Bahkan nggak mandi dulu?” Sean mendecak, nada muak.
Nathalia hanya mengibaskan tangan. “Nanti aja…” katanya, lalu memejamkan mata.
Sean menghela napas kasar, malas berdebat. Ia langsung masuk kamar mandi, membersihkan diri, lalu keluar dengan pakaian rapi kerja. Aroma parfum mahalnya memenuhi ruangan.
Saat melangkah ke luar kamar, ia menoleh ke arah pintu kamar Karina. Sunyi. Ia mengetuk pelan.
“Karina?”
Tak ada jawaban. Ia membuka pintunya—kosong.
“Karina?!” Sean masuk, matanya mencari. Ranjang rapi, tidak ada tanda-tanda Karina.
Ia buru-buru keluar lagi. “Nathalia! Karina kemana?”
Nathalia bergumam setengah tidur. “Dia udah berangkat duluan, Mas. Katanya mau jalan-jalan sebelum kuliah.”
Sean mengepalkan tangan. “Sial…” bisiknya. “Dia marah karena semalam.”
Tanpa menunggu lagi, Sean mengambil jam tangan mahalnya, meraih ponsel, dan berlari keluar unit.
Di dalam lift menuju basement, ia menatap pantulan dirinya di cermin.
“Karina… tunggu aku. Aku nggak bisa biarin kamu pergi begitu aja…” gumamnya lirih, penuh rasa bersalah sekaligus resah.
Saat keluar dari lift menuju lobi, Karina tiba-tiba teringat sesuatu.
“Astaga… celana dalamku ketinggalan di sofa! Kalau Kak Nana lihat… gimana? Bisa mati kutu aku…” batinnya panik, langkahnya jadi kikuk.
Begitu ia menapaki lobi apartemen, sebuah mobil sport berhenti tepat di depannya. Jendela turun, menampakkan wajah Sean.
“Ayo, berangkat bareng,” ucap Sean singkat.
Karina terdiam, menunduk. “Aku jalan kaki aja, Kak…”
Sean menghela napas, nada suaranya dingin. “Jangan keras kepala. Ayo masuk.”
Karina ragu sesaat, tapi akhirnya membuka pintu mobil dan duduk di kursi penumpang. Tangannya meremas tali tas, wajahnya canggung.
Di dalam mobil, Sean melirik sebentar. “Udah, jangan tegang begitu. Kakak nggak akan bilang ke orang tua kamu.”
Mata Karina melebar. “Beneran, Kak? Janji?”
“Beneran.” Sean menyalakan mesin, mobil melaju. “Santai aja. Yuk, kita mampir beli es krim dulu.”
Karina mencoba tersenyum kecil. “Hmm… mau, Kak.”
Hening beberapa saat, sebelum Sean tiba-tiba berkata. “Lain kali, kalau mau nonton, ajak Kakak aja. Biar nggak sendirian.”
Karina spontan menoleh. “Maksudnya… nonton apa?”
Sean melirik dengan tenang. “Ya, film itu. Kita ini orang dewasa yang normal, hal seperti itu wajar dilakukan.”
Karina tercekat, wajahnya panas. “Kak… ngomong apa sih?”
Sean menatap lurus ke jalan, nada suaranya datar. “Aku cuma bilang… kamu nggak perlu sembunyi-sembunyi. Kalau mau… Kakak bisa temenin.”
Karina menggertakkan gigi, menjerit dalam hati.
“Dia ini sinting apa gimana? Masa ngajak aku nonton film dewasa dan… astaga, sampai nyebut soal melakukan itu segala. Harusnya dia malu! Aku kan adik sepupunya!”
Ia menoleh ke jendela, menahan napas, berusaha menyembunyikan wajah merahnya.
“Ya Tuhan… apa yang sebenarnya dipikirkan Kak Sean…”