Mobil Sean berhenti di depan Indomaret. Ia melirik ke samping.
“Kamu mau ikut, atau tunggu di sini?” tanya Sean tenang.
Karina buru-buru menggeleng. “Aku tunggu di sini aja, Kak.” Ia menunduk, jelas menjaga jarak.
“Ya sudah,” Sean turun dan masuk ke toko. Ia mengambil satu es krim dan sebungkus rokok, lalu membayar cepat. Tak lama kemudian ia kembali ke mobil, menyodorkan es krim pada Karina.
“Nih. Udah, jangan mikir yang aneh-aneh,” ucapnya datar.
Karina menerima dengan ragu. “Iya, Kak… makasih.” Ia membuka bungkusnya dan langsung mencicipi.
Sean melirik sekilas. Gadis itu duduk santai dengan rok mini dan atasan ketat, cukup untuk membuat jantung Sean berdetak tak karuan. Ia menghela napas dalam hatihati karena jakunnya naik turun menahan hasrat.
“Sadar, Sean. Dia adik sepupumu. Walaupun secara agama bisa dinikahi, tapi… bagaimana dengan Nathalia, istrimu dan apa kata orang?”
Karina menoleh sambil mengulum es krim. “Eh… maaf, Kak. Kak Sean mau?”
Sean tersenyum tipis. “Kakak cuma beli satu.”
“Kita bisa berbagi,” kata Karina polos.
Sean tercekat, pikirannya melayang liar. “Kalau yang di mulutnya itu aku mau… sial, ngaco nih kepala.”
Aloud, ia menjawab, “Boleh.”
Karina spontan mendekatkan batang es krim itu ke bibir Sean.
Mata Sean sempat kabur fokus, bukan karena es krim, melainkan belahan d**a Karina yang terlihat jelas dari posisi duduknya. Jakunnya naik-turun tak terkendali.
“Kak, jangan melamun… ini es krimnya keburu meleleh,” Karina menegur.
“Ah, ya ampun… maaf.” Sean tersadar, tapi sudah terlambat—lelehan es krim menetes ke celananya.
Karina menutup mulut menahan tawa kecil. “Aduh… belepotan, Kak. Biar aku lapin ya.”
Sean buru-buru menolak. “Nggak usah, Kakak bisa sendiri.”
“Nggak apa-apa. Aku bantuin aja.” Karina tetap mengambil tisu, lalu menunduk membersihkan noda di s**********n celana Sean.
Namun di saat itu, tangannya tanpa sengaja merasakan sesuatu yang mulai tegak mengeras. Karina spontan terbelalak.
“Eh… panjang banget…” ucapnya reflek, lalu menutup mulut dengan kedua tangannya.
Sean langsung menegang. “Karina…” suaranya dingin, mencoba menahan gejolak.
Wajah Karina berubah merah tomat. “M-maaf, Kak… aku nggak sengaja!” Ia cepat-cepat menarik tangannya, lalu menoleh ke jendela, menghindari tatapan Sean.
Sean mendesah kasar, meraih tisunya sendiri. “Biar Kakak aja yang lap. Tadi kan udah dibilangin ngeyel…” ucapnya datar.
Suasana di dalam mobil langsung hening. Sean menyalakan mesin, mencoba fokus ke jalan, sementara pikirannya masih berperang dengan nafsu yang hampir tak terkendali.
Sepanjang perjalanan mereka hanya diam, udara di mobil terasa berat oleh kecanggungan. Begitu sampai di depan gerbang Universitas Harapan Bangsa, Sean akhirnya membuka suara.
“Nanti pulangnya biar Kak Sean jemput, ya.” suaranya tenang tapi mengandung nada memaksa.
Karina menoleh cepat. “Gak usah, Kak. Sean pasti capek, kan habis pulang kerja.”
Sean menyalakan senyumnya tipis. “Gak apa-apa. Kakak bisa jemput kamu sekalian kita makan malam bareng.”
Karina menggigit bibir bawahnya. “Ya udah… kalau Kakak maksa.”
Sean menatapnya serius. “Ingat, jaga pergaulan. Jangan kebablasan. Orang tua kamu nitipin kamu sama Kakak.”
“Iya, Kak. Aku ngerti.” Karina buru-buru meraih tasnya. “Udah ya, aku berangkat dulu.”
Ia turun, menutup pintu mobil, lalu berjalan masuk ke fakultasnya. Sean hanya menatap punggung Karina sampai hilang di balik gedung. Ia mendesah keras.
“Kalau bukan sepupu sendiri, sudah dari semalam ku tiduri…” pikirnya kesal.
Setelah itu Sean melirik jam tangannya. “Sial, udah mepet. Harus ke kantor.” Ia segera menginjak gas dan meluncur ke gedung pusat Wijaya Group.
Di basement, ia memarkirkan McLaren hitamnya. Begitu keluar mobil, beberapa staf wanita melirik, tapi Sean hanya memasang wajah dingin. Ia masuk ke lift dan menekan tombol lantai 60.
Pintu lift terbuka. Laras, sekretaris pribadinya, sudah menunggu.
“Selamat pagi, Pak Sean,” sapanya sambil menyerahkan tablet agenda. “Agenda pagi ini, meeting dengan tim Singapura, lalu sore ada presentasi dengan klien Tokyo. Untuk malam—”
“Yang malam cancel,” potong Sean cepat.
Laras mengangkat alis. “Cancel, Pak?”
“Iya. Saya ada janji pribadi.”
“Baik, Pak. Semua dokumen untuk tanda tangan sudah saya letakkan di meja kerja Anda.”
“Oke. Thanks.” Sean melangkah masuk ke ruangannya.
---
Begitu pintu tertutup, ia langsung berjalan ke kaca besar yang memperlihatkan pemandangan Jakarta dari ketinggian. Ia menyalakan sebatang rokok, mengisap dalam-dalam.
“a*u…” gumamnya lirih, sambil menekan jari ke pelipis.
Bayangan Karina muncul lagi di kepalanya—senyum polosnya, tubuhnya yang semalam masih terekam jelas, dan kejadian di mobil yang membuatnya hampir kehilangan kendali.
“Apa yang harus gue lakuin, hah?” Sean mendesis, asap rokok keluar bersama suaranya. “Nafsu ini… gila. Kepala gue juga pusing. Masa tiap hari gue harus main solo di kamar mandi?”
Ia menghentakkan rokok ke asbak, lalu bersandar ke kursi kerjanya. Tangannya menutupi wajah, menahan dilema yang terus menghantuinya.
Di ruang kelas kampus Universitas Harapan Bangsa, Karina duduk di bangku tengah, masih canggung sebagai mahasiswi pindahan. Buku catatannya terbuka rapi, pena sudah siap di tangan.
Tiba-tiba seorang cewek dengan rambut dicat cokelat muda menepuk bahunya.
“Hai, kamu anak baru ya? Karina, kan?”
Karina tersenyum sopan. “Iya, bener. Kamu?”
“Gue Sisi.” Cewek itu nyengir. “Ini temen gue, Intan.”
Intan, cewek berkacamata dengan gaya modis, langsung melambaikan tangan. “Halo, Karina. Welcome to the jungle.”
Dari belakang, seorang cowok tinggi dengan hoodie hitam menyelutuk. “Nama gue Reno.” Ia mengulurkan tangan santai.
Karina menjabat singkat. “Seneng kenalan sama kalian.”
Baru saja mereka ngobrol, cowok lain dengan gaya flamboyan datang mendekat. “Guys, malam ini jangan ada yang bolos ya. Gue traktir. Kita ke club! Soalnya gue ulang tahun.”
“Yuda ulang tahun, nih!” Sisi langsung bersorak. “Karina, kamu ikut ya!”
Karina kaget. “Ke club? Waduh… kayaknya nggak bisa deh. Malam ini aku dijemput kakak sepupuku.”
Intan mendesah panjang. “Ayolah, Karina. Masa kamu anak baru terus anti-sosial sih? Sekali-kali aja.”
Yuda menepuk meja. “Iya dong. Semua harus datang. Gue traktir, lho. Masa anak baru nggak mau punya temen banyak?”
Reno menimpali sambil melirik Karina. “Lagipula kakak sepupu lo pasti ngerti lah. Dia kan pernah muda juga.”
Karina hanya menggigit bibir, bingung menjawab.
Tiba-tiba pintu kelas terbuka, seorang dosen muda elegan dengan kemeja putih masuk sambil membawa buku.
“Selamat pagi, semuanya,” suara Bu Jesica menggema. “Mari kita lanjut materi semester 5. Silakan buka buku kalian, halaman 48.”
Semua buru-buru duduk rapi. Sisi berbisik cepat ke Karina sebelum dosen mulai menulis di papan tulis.
“Fix ya, malam ini kamu ikut. Nggak ada alasan.”
Karina hanya tersenyum kaku, lalu membuka bukunya, meski pikirannya masih galau.
Bel istirahat berbunyi. Mahasiswa mulai keluar kelas. Sisi langsung merangkul lengan Karina.
“Lo harus ikut ya nanti malam. Jangan kabur, Rin.”
Karina tertawa kikuk. “Aku masih bingung sih, Sis…”
Intan langsung manyun. “Ih, jangan gitu. Gak asik banget kalau gak ikutan. Kita butuh anak baru biar geng makin rame.”
Reno melambaikan tangan ke arah kantin. “Udahlah, stop debat. Kelas tinggal satu lagi kan? Mending kita makan bakso dulu, kantin depan tuh enak banget.”
Yuda ikutan bersuara. “Setuju. Gue traktir sekalian, ulang tahun harus royal dong.”
Karina menatap mereka satu-satu, lalu mengangguk. “Hmm… yaudah deh, gue ikut kalian ke club, kayaknya gue pikir-pikir kakak sepupu gue bakal ngerti kok.”
“YEEES!” Reno sampai mengangkat tangan ke udara. “Ini baru calon geng kita!”
Sisi menepuk bahu Karina. “Gue suka nih anak. Welcome to the group, Rin.”
“Thanks banget, Karina.” Yuda ikut nyengir lebar.
Mereka pun ramai-ramai menuju kantin. Di meja panjang kantin, semangkuk bakso berkuah panas tersaji di hadapan masing-masing.
“Coba dulu, Rin,” kata Intan sambil meniup sendoknya. “Ini bakso terenak di kampus.”
Karina mengambil satu bakso, meniup pelan lalu menggigit. “Wah… beneran enak. Gurih banget.”
“Kan gue udah bilang,” Reno tertawa. “Kantin kita tuh underrated, padahal juara.”
Obrolan berlanjut dengan tawa dan candaan, membuat Karina merasa mulai diterima.
Sementara itu di kantor pusat Wijaya Group, Sean duduk di ruang meeting besar dengan kaca tinggi menjulang. Beberapa klien dari Jepang menyalakan laptop mereka, layar penuh grafik.
“Mr. Wijaya,” salah satu pria berbicara dengan bahasa Inggris, “your proposal about joint investment is very interesting. But we need to discuss the risk management.”
Sean menyandarkan tubuh, nada suaranya tenang dan percaya diri. “Of course. That’s why I prepared a detailed analysis. Let me show you how we plan to minimize potential risks while maximizing profit.”
Ia menggeser remote, menampilkan slide berisi tabel angka dan grafik.
Seorang staf di sampingnya menambahkan. “As you can see, our projection is highly realistic compared to market volatility.”
Klien lain mengangguk-angguk. “Impressive. You really understand the Asian market.”
Sean menatap mereka dengan dingin. “I don’t just understand the market. I control it.”
Suasana hening sejenak, lalu semua tertawa kecil mengagumi kepercayaan dirinya.
Pukul 19.00, usai kelas terakhir, Karina sudah bersiap bersama geng barunya. Di parkiran kampus, ia mengetik pesan cepat di ponselnya.
📱 Karina → Sean
Kak, aku mau ke Club de la Rosa bareng temen-temen. Jadi nggak usah jemput aku, ya. Aku pulang bareng mereka aja.
Sisi melambaikan kunci mobil. “Ayo semua, masuk! Gue bawa mobil, kita langsung cabut.”
Intan sudah kegirangan. “Fix malam ini pecah! Karina, lo jangan kaku ya.”
Karina tertawa kaku, ikut naik ke mobil. “Iya, iya. Gue coba enjoy deh.”
Yuda di kursi belakang nyeletuk. “Nanti malam gue traktir minum yang paling mahal. Biar ulang tahun gue berkesan!”
Reno menepuk bahu Karina. “Prepare yourself, Rin. Malam ini lo bakal inget seumur hidup.”
Mobil pun melaju ke arah Club de la Rosa.
Di kantor Wijaya Group, Sean baru saja merapikan berkas setelah rapat panjang. Ia membuka ponselnya, lalu membaca pesan Karina.
Alisnya langsung berkerut. “Astaga… ini anak maunya apa sih?”
Ia mengetik balasan, lalu menghapusnya lagi. “Kalau gue larang, dia malah makin bandel. Tapi kalau gue biarin… Club de la Rosa? Itu tempat gila.”
Sean langsung bangkit dari kursinya, berjalan cepat keluar ruang kerja.
“Pak Sean, rapat sama tim Eropa gimana?!” tanya Laras terburu-buru.
“Reschedule. Saya ada urusan penting,” jawab Sean dingin, lalu masuk ke lift tanpa menjelaskan.
Begitu sampai basement, ia masuk ke McLaren hitamnya, menyalakan mesin. “Karina… kalau sampai kebablasan, bisa hancur semua.”
Ia menginjak gas, meluncur kencang menuju Club de la Rosa.