Malam hari setelah jadwal hari terakhir. Penerbangan terakhir mereka adalah ke Jakarta sehingga kru yang memang tinggal di Jakarta bisa pulang ke rumah masing-masing.
Annisa mendapat telepon dari Danu. Saat ini omnya itu sudah kembali ke rumahnya, sedangkan Annisa kini berada di apartemen Aditya sendirian.
"Halo, Om. Ada apa nih telepon malem-malem?"
"Enggak ada sih sebenarnya, cuma enggak bisa tidur aja."
"Loh, memangnya Om enggak ada temen tidur malam ini?" tanya Annisa penasaran. Biasanya omnya itu selalu mengajak perempuan pulang ke rumahnya.
"Lagi enggak mood aja. Gimana pernikahan kamu sama Aditya?"
"Yah gitu aja sih, Om. Kayak enggak nikah aja sih sebenarnya. Ya semua karena aku juga kayaknya. Kan aku baru kerja, masih kontrak, udah dipaksa nikah sama Capt Aditya, jadi mau enggak mau ngerasain nikah tapi jalanin hidup masing-masing aja. Sama aja kayak sebelum nikah."
Annisa berkata jujur dengan Danu apa yang dia alami selama menikah dengan Aditya selama beberapa minggu ini.
"Hmm ... Adit itu orangnya keras, om kenal betul sama dia. Dia juga pernah cerita, maunya begitu ya sudah. Om pernah nyaranin dia buat menunda nikahin kamu tapi dia enggak mau. Pokoknya maunya dia cuma satu nikah dengan kamu secepatnya. Lainnya dia enggak peduli. Mau dia cinta sama kamu atau enggak, buat dia tanggung jawab sama kamu itu yang lebih penting."
Annisa menghela napas sejenak. Mengubah posisi awal yang tadinya rebahan menjadi duduk di tepi ranjang. Dia pikir obrolan mereka malam ini akan panjang saat membahas Aditya.
"Iya sih, Om. Waktu ngajak nikah itu ya maksa gitu. Padahal aku udah nolak. Malah waktu pertama ketemu itu aku pura-pura enggak kenal sama Capt Aditya."
"Terus kamu bilang apa sama Ibu? Kok bisa Ibu mau langsung nikahin kamu sama Aditya? Kan aneh juga sebenarnya?"
"Aku bohong sama Ibu, Om. Aku bilang ke Ibu Capt Aditya sakit keras. Jadi minta dinikahin secepatnya. Maaf ya, Om. Kalau enggak gitu aku mesti bilang apa ke Ibu? Masa aku harus jujur bilang keadaan yang sebenarnya? Apa enggak Capt Aditya malah diusir sama Ibu?"
Hanya Danu dan Allah yang tahu jika Annisa berbohong karena pada Aditya pun dia tidak menceritakan hal ini.
Danu diam sejenak, "Enggak mungkin kamu jujur sama ibumu. Yang ada kamu malah diusir. Aku tahu banget karakter kakakku yang satu ini. Makanya aku enggak pernah cerita apa-apa lagi sama dia. Omongannya suka nyelekit. Tapi kayaknya sekarang aku baru sadar sesuatu setelah beberapa tahun diomongin sama Ibu kamu tapi enggak ada yang masuk."
"Kenapa tuh, Om? Coba cerita."
Hubungan keluarga antara Danu dan Annisa bisa dibilang sangat dekat. Dulunya Danu sering main ke rumah Annisa, karena dia juga dekat dengan kakak perempuannya itu, ya ibunya Annisa. Namun, saat dia ketahuan sering tidur dengan banyak perempuan, ibunya Annisa marah pada Danu.
Sering kali dia mengingatkan adiknya itu, tetapi adiknya tetap berulah. Pernah juga ibunya Annisa mengingatkan Danu agar menyudahi kebiasaan buruknya itu atau keluarga sendiri yang akan kena getahnya, tetapi dia cuek saja, tidak mendengarkan ucapan ibunya Annisa.
"Kayaknya karena om, kamu jadi kena getahnya deh. Mana sama sahabat sendiri. Aslinya om pengen marah, tapi om ingat sesuatu, ternyata selama ini om yang salah, bukan Aditya apalagi kamu. Kejadian itu benar-benar tamparan keras buat om. Mulai hari om tahu kamu sama Aditya kemarin, om putuskan untuk berubah. Tapi baru usaha ya. Kalau kamu lihat om masih dengan kelakuan yang sama, tolong ingatkan ya." Danu menyesali semua perbuatannya yang dulu.
Annisa merasa terharu mendengar penjelasan dari Danu, dia tidak menyangka jika omnya ternyata bisa berubah, dia pikir omnya akan hidup seperti itu seumur hidupnya.
"Apapun yang terjadi dengan aku, sudah aku terima dengan ikhlas Om. Mungkin itu salah satu cara untuk mengingatkan aku supaya lebih hati-hati lagi ke depannya. Om enggak perlu merasa bersalah sendirian, kita sama-sama salah, sama-sama banyak dosa. Jadi saling mengingatkan dan bertaubat atas semua kesalahan kita yang dulu."
"Umur kamu berapa sih, Nis? Kok bijak banget. Jangan-jangan sejak nikah kamu tiba-tiba jadi dewasa pemikirannya." Danu memuji pemikiran Annisa.
"Om apaan sih. Aku umurku ya tetap segitu. Pemikiran dewasa kan karena sudah sering menjalani kehidupan yang pait banget rasanya, Om tahu sendiri kan?"
"Iya sih. Jadi kapan mau malam pertama dan ngasih cucu buat Om kamu yang makin tua ini?"
"Sebelum tanya cucu, kapan Om mau ngasih adik buat aku? Hayo nikah dulu gih, ntar baru deh aku kasih cucu buat Om."
"Berarti kamu belum itu dong sama Aditya? Ntar mau aku godain dia ah, tanya kapan mau MP. Nikah? Ntar deh kalau udah nemu yang cocok. Doain aja semoga ada jodoh buat om di dunia ya. Haha."
"Aamiin. Pokoknya ditunggu undangannya. Jangan coba-coba tanya gitu sama Capt Aditya. Ntar dia marah. Dia tuh kalo udah marah kok kayaknya serem banget ya."
"Coba kamu panggil dengan panggilan sayang, siapa tahu dia melunak. Boleh dicoba, kalau belum berhasil, nanti om kasih tahu trik yang lain."
"Enggak mau. Om mau enggak aku cariin jodohnya? Siapa tahu beneran nikah kan, gimana?"
"Terserah kamu aja. Udahan dulu ya, Nisa. Kamu kan harus istirahat. Om juga ngantuk habis ngobrol sama kamu. Met istirahat, bye."
***
"Ante, aku ngantuk bacain buku dulu sebelum tidul, boleh?"
Husna meminta Annisa menemaninya tidur sekaligus membacakan cerita sebelum dia tidur.
"Boleh. Mau baca cerita yang mana?"
Annisa memilih buku di rak bersama Husna. Dia menunggu sampai Husna memberikan buku padanya. Selesai menentukan buku yang akan dibaca, Husna memberikan buku itu pada Annisa. Mereka kembali ke ranjang dan bersiap untuk tidur.
Annisa memakaikan selimut pada Husna. Merebahkan diri sambil memegang buku dan mulai bercerita tentang monster gigi yang ada di dalam mulut jika malas sikat gigi.
"Jadi kalau enggak rajin sikat gigi, nanti monster gigi akan merusak gigi kita setiap malam."
"Gitu ya, Ante? Tadi aku sudah sikat gigi baleng Ante. Sekalang aku ngantuk. Mau tidul dulu."
Husna memejamkan matanya bersama dengan Annisa. Namun, beberapa menit kemudian dia terbangun.
"Mau tidul sama Papa. Antel ke kamal Papa boleh enggak, Ante?" tanya Husna yang sedari tadi ternyata belum tidur.
"Boleh. Ayo Tante anter."
Annisa mengajak Husna turun dari ranjang. Berjalan menuju kamar Aditya. Annisa mengetuk pintu kamar Aditya. "Capt, katanya Husna mau tidur sama Papanya."
"Masuk aja."
Annisa membuka pintu, mengajak Husna masuk kamar. Dia mengantar sampai dalam kamar dan menggendong Husna ke ranjang.
"Tante balik ke kamar Husna ya?" pamit Annisa meninggalkan Husna dengan Papanya.
"Ante, tidul di sini aja. Baleng aku sama Papa."
Pipi Annisa bersemu merah mendengar ucapan Husna. Padahal sebelum ini dia sudah pernah tidur satu ranjang bersama Aditya, tetapi kali ini dia tiba-tiba merasa malu. Mungkin karena kamar itu adalah kamar pribadi Aditya sendiri, sehingga rasanya jadi berbeda.
"Biar Tante tidur di kamar Husna aja, ya."
Annisa bernapas lega mendengar ucapan Aditya. Dia merasa mendapat bantuan dari Aditya yang tidak setuju jika mereka tidur bersama.
"Enggak mau. Aku enggak mau tidul kalau Ante enggak tidul di sini."
Husna melipat kedua tangannya di depan d**a, mengerucutkan bibirnya.
"Besok kan bisa main lagi sama Tante, gimana?" Aditya membujuk Husna lagi.
"Enggak mau Papa, aku maunya tidul sama Papa, sama Ante juga. Kalau enggak aku enggak mau tidul."
"Wah, tuan putri ngambek kayaknya. Ya sudah, enggak apa-apa deh tidur bertiga. Sini Tante Annisa temenin Husna tidur di sisi sebelahnya yang kosong, biar Husna di tengah."
Aditya terpaksa mengikuti keinginan anaknya, karena dia tidak akan membiarkan anaknya tidak tidur semalaman. Annisa berjalan mendekati ranjang ke sisi yang kosong, naik ranjang dan merebahkan diri di sana. Kali ini perasaan berbeda yang dirasakan Annisa. Tidak sama dengan waktu dia tidur bersama Aditya di kamar hotel.
"Mau dipeluk Papa sama Ante."
Keduanya menurut memeluk Husna tetapi tangan mereka berjauhan. Husna mulai memejamkan mata.
"Nanti kalau Husna sudah tidur, aku akan minta Annisa pindah ke kamar Husna."
"Nanti kalau Husna tidur aku akan kembali ke kamar Husna. Enggak nyaman rasanya tidur di sini." Annisa memejamkan matanya, agar Husna lebih cepat tertidur.
Lima belas menit kemudian, Aditya menarik tangannya. Dia turun dari ranjang mendekati Annisa, bermaksud untuk membangunkannya. Namun, beberapa kali Aditya membangunkan Annisa dia tidak terbangun karena sudah tidur nyenyak.
"Waduh, perempuan satu ini kok susah banget dibangunin ya?" Aditya mengusap wajah kasar.