Annisa mengajak Aditya berbicara di luar rumah. Annisa tidak habis pikir mengapa Aditya sampai datang ke rumahnya dan tiba-tiba melamar. Ada hal yang harus dia selesaikan dengan pilot tampan berdada bidang itu.
"Capt, maksudnya datang ke rumah saya? Tiba-tiba melamar, padahal kita enggak saling kenal."
"Saya mau menikah dengan kamu. Kalau kita belum kenal ya tinggal kenalan aja."
"Saya benar-benar enggak ngerti sama Captain."
"Ya, karena itu mengertilah."
"Kenapa saya harus menikah dengan Captain?"
"Karena saya ingin menebus rasa bersalah saya sama kamu."
"Captain tidak perlu menikahi saya hanya untuk menebus rasa bersalah. Cukup dengan meminta maaf. Saya maafkan Captain, dan silakan tinggalkan rumah ini!" Annisa mengusir Aditya dengan tegas.
"Tapi saya ingin bertanggung jawab atas perbuatan saya. Kamu tahu kan kalau seorang gadis tidur dengan seorang lelaki maka hilang—" Annisa membekap mulut Aditya dengan tangannya.
"Cukup, Capt. Please tinggalin rumah saya. Saya tahu itu sebuah kesalahan besar, tapi saya maafkan. Tolong jangan ganggu hidup saya. Saya cuma pengen hidup tenang."
"Di masa depan apa kamu bisa menikah setelah kehilangan keperawanan kamu?"
"Tentu saja bisa. Di luar sana masih ada laki-laki lain yang mau menerima saya apa adanya."
"Tapi saya enggak terima kamu nikah dengan laki-laki lain."
Annisa mengusap wajahnya dengan kasar. Mulai kehilangan kata-kata untuk berhadapan dengan Aditya.
"Saya enggak mau menikah dengan Captain."
"Kamu harus mau. Biarkan saya masuk dan bilang sama Ibu kamu supaya kita nikah saat ini juga." Aditya bergerak masuk ke rumah. Tetapi Annisa menahannya.
"Jangan!"
"Kenapa?"
"Karena saya belum mau nikah sekarang."
"Ok. Kalau gitu kapan? Besok? Lusa?"
"Katakan alasannya kenapa saya harus menikah dengan Captain?"
"Bantu saya menebus rasa bersalah saya sama kamu. Saya ingin bertanggung jawab karena sudah m*****i kamu."
"Hanya karena itu?"
"Annisa, kamu enggak bisa bilang hanya karena itu. Ini menyangkut masa depan kamu. Dengan keadaan kamu yang sekarang, kamu terancam tidak bisa menikah dengan laki-laki lain."
"Capt, di sini yang rugi itu saya, kenapa jadi Captain yang maksa seolah-olah Captain yang dirugikan oleh saya?"
"Saya menghormati kamu sebagai perempuan. Sama artinya saya menghormati Ibu saya."
"Aku mesti ngomong apa lagi." Annisa menggaruk kepala yang tidak terasa gatal.
"Kamu enggak usah ngomong, biar saya ketemu Ibu kamu sekarang."
"Tapi saya enggak bisa menikah sekarang, Capt."
"Terus kalau besok bisa?"
"Enggak bisa juga."
"Kenapa?"
"Karena saya terikat perjanjian dengan maskapai, tidak boleh menikah selama kontrak kerja sampai tiga tahun ke depan."
"Artinya kamu setuju. Ya sudah kita nikah sekarang. Setelah itu kita rahasiakan pernikahan ini."
"Emang bisa?"
"Bisa. Yang penting siapa pun yang hadir di akad nikah kita, dia harus tutup mulut."
Annisa berpikir sejenak tentang apa yang diucapkan oleh Aditya. Saat ini dia tidak bisa menghindar dari paksaan Aditya untuk menikah dengannya, apalagi dia baru saja bekerja di maskapai yang sama dengan Aditya. Tidak ada celah baginya untuk menghindar. Selain itu dia juga tidak mungkin berhenti dari maskapai itu karena baru saja bekerja.
"Ok. Saya setuju. Tapi pernikahan ini harus dirahasiakan. Biar saya yang bicara dengan Ibu. Captain tunggu di sini saja."
Annisa masuk rumah menemui ibunya. Dia menjelaskan maksud kedatangan Aditya untuk melamar, dan pernikahan mereka harus dirahasiakan selama tiga tahun.
"Kenapa pilot itu mau nikah denganmu, Nak?"
"Katanya dia sakit, Bu. Umurnya tidak akan lama lagi. Dia pengennya nikah sama Nisa, karena dia jatuh cinta sama Nisa. Dia takut sebelum meninggal belum pernah merasakan gimana rasanya menikah. Jadi boleh ya, Bu?" Annisa sengaja berbohong agar ibunya setuju, karena dia tidak bisa menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
"Hmm ... ya sudah. Biar Ibu telepon Pak Ustaz, biar menikahkan kamu malam ini juga."
Annisa keluar rumah menemui Aditya, mengajaknya masuk untuk menunggu ustaz di dalam rumah.
Ibu Annisa sudah menelpon ustaz. Mereka diminta menunggu setengah jam. Sambil menunggu, Aditya menghafalkan nama lengkap Annisa.
"Nama yang bagus," gumam Aditya.
Dia terus menghafalkan nama Annisa berserta nama almarhum ayah Annisa, agar tidak salah sebut saat melakukan akad nikah.
Setengah jam kemudian, ustaz datang bernama dua orang pria yang akan menjadi saksi pernikahan Annisa dan Aditya. Calon pengantin siap, mas kawinnya menggunakan jam tangan yang melingkar di lengan Aditya. Sebuah jam tangan yang berharga jutaan karena Aditya saat itu tidak membawa uang cash. Semua siap ustaz menikahkan mereka berdua saat itu juga.
Ustaz berdoa selesai akad nikah untuk keberkahan dari pernikahan sepasang pengantin. Pamit pada ibu Annisa setelah mengobrol sebentar.
"Terus sekarang gimana? Tanya ibu Annisa.
"Saya akan bawa Annisa malam ini juga ke apartemen untuk tinggal bersama saya."
"Tapi Capt, kita kan harus merahasiakan pernikahan. Gimana kalau saya tetap tinggal di rumah Ibu? Jadi enggak ketahuan." Annisa memberikan usul.
"Enggak boleh begitu, Nak. Perempuan kalau sudah menikah harus ikut bersama suaminya."
"Nah, Ibu benar. Annisa harus ikut saya tunggal di apartemen."
"Terus gimana caranya merahasiakan pernikahan kalau tinggal bersama?"
"Kamu tinggal di apartemen, saya akan pulang ke rumah orang tua saya. Tapi saya akan datang ke apartemen sesekali."
"Kenapa enggak saya tinggal di sini saja?"
"Sudah Annisa, jangan maksa. Bereskan pakaian kamu, ayo Ibu bantu. Tunggu sebentar ya Nak Aditya."
Ibu Annisa menarik lengan anaknya agar mengikutinya ke kamar. Di kamar dia mengeluarkan beberapa helai pakaian anaknya.
"Ambil tas yang besar untuk membawa pakaianmu." Ibu Annisa memberikan perintah.
"Ibu ... Ibu serius dengan ini? Aku kok kayak diusir sama Ibu?"
Bukannya mengambil tas sesuai perintah ibunya, Annisa malah memeluk ibunya erat, tidak ingin berpisah.
"Kan kamu sendiri juga mau diajak nikah. Kamu harus siap dengan konsekuensi menjadi istri yang shalihah dong Nisa."
Annisa menghela napas sejenak. "Tapi aku belum mau pisah sama Ibu. Kalau aku kangen gimana?"
"Kamu tinggal main ke sini. Ayo bereskan bajumu. Jangan biarkan suamimu menunggu. Ingat kamu harus nurut sama suami, jangan bikin Ibu malu."
"Iya, Bu."
Annisa sudah pasrah dengan keadaan. Dia sendiri yang setuju dengan pernikahan itu, dia harus siap dengan semua konsekuensinya.
"Sudah siap, Bu."
Annisa mengangkat tas keluar kamar menuju ruang tamu di mana Aditya sudah menunggunya. Annisa dan Aditya pamit pada ibu Annisa. Mereka menuju apartemen dengan mobil yang dikendarai oleh Aditya.
"Sampai di apartemen, kita harus buat surat perjanjian, Capt." Annisa berkata di perjalanan menuju apartemen.
"Boleh. Nanti kamu saja yang buat poin perjanjiannya, saya tinggal tanda tangan."
"Captain enggak mau memberikan usulan apa gitu?"
"Enggak perlu. Saya cukup tanda tangan saja."
"Ok, kalau begitu akan aku buat poin yang memberatkan Captain, biar tahu rasa. Siapa suruh berurusan denganku," batin Annisa.