2. Pria yang berbahaya atau sebaliknya?

800 Kata
Mobil melaju mulus meninggalkan gedung pernikahan yang kini hanya menyisakan suara samar pesta dan ingatan yang ingin Liora buang jauh-jauh. Di dalam kabin yang luas dan kedap suara, keheningan menggantung seperti kabut tebal yang tidak tertembus. Liora duduk kaku di kursi belakang. Di sebelahnya, pria asing yang kini secara teknis adalah suaminya, duduk dengan tenang, jemarinya sibuk menyentuh layar pad di pangkuannya. Entah apa yang dibacanya. Tak satu pun dari mereka berinisiatif membuka pembicaraan. Liora menunduk, menatap jemarinya sendiri yang saling menggenggam di atas pangkuan. Sesekali dia melirik ke arah pria itu, tapi hanya sedetik, karena tatapannya selalu berhenti di garis rahang tajam dan aura dingin yang entah kenapa membuat jantungnya berdegup tak nyaman. Dia tidak tahu siapa pria itu. Dia bahkan tidak tahu namanya. Satu-satunya hal yang dia tahu, pria itu hadir di pesta pernikahannya atau lebih tepatnya, pernikahan yang dirampas darinya. Dia datang dengan setelan hitam, sikap tenang, dan aura mengintimidasi yang membuatnya terasa bukan orang biasa. Lalu dengan nekat, Liora menariknya ke tengah kegilaan itu, memintanya menikah dengannya. Sebuah tindakan gila. Dia mengakuinya. Tapi apa pilihan yang dia punya? Empat puluh menit berlalu tanpa satu kata pun diucapkan. Liora hanya bisa menerka arah mobil, tapi tidam mengenali rutenya. Sampai akhirnya, mobil mulai melambat. Di balik kaca gelap, Liora melihat gerbang besar yang perlahan terbuka secara otomatis, dilengkapi sensor dan penjagaan ketat. Di balik gerbang itu, berdiri mansion megah bergaya Eropa klasik, berdiri angkuh dengan pilar-pilar putih menjulang dan taman yang dirawat sempurna. Liora menatap lekat, matanya membelalak sedikit. Ini terlalu mewah, terlalu sunyi, terlalu mahal. Bahkan itu semua tidak menggambarkan apa yang Liora lihat sekarang. Mobil berhenti di depan pintu utama. Seorang supir langsung membukakan pintu. Axton keluar lebih dulu tanpa sepatah kata, lalu berjalan menaiki anak tangga. Beberapa pelayan berseragam gelap menyambutnya dengan tundukan hormat. Liora turun perlahan, masih terkesima dengan tempat yang bahkan lebih mewah dari rumah ayahnya sendiri. Seorang pelayan perempuan memandangnya dari ujung mata. Senyuman sinis tercetak di bibir wanita itu. "Perempuan yang datang demi Tuan Axton makin lama makin nekat saja," gumamnya pelan, cukup untuk didengar Liora. Liora menoleh. Tatapannya dingin, tapi dia memilih diam. Dia terlalu lelah untuk meladeni sindiran dari orang asing dihadapannya. Daripada berdiri seperti orang bodoh di luar, dia melangkah masuk ke dalam rumah tanpa menunggu undangan atau arahan siapa pun. Begitu melewati pintu besar, Liora langsung disambut dengan pemandangan yang membuatnya nyaris berhenti bernapas. Langit-langit tinggi dengan lukisan mural, lampu gantung kristal raksasa, tangga melingkar bertapakkan marmer, dan karpet tebal yang tampak lebih mahal dari seluruh isi kamar lamanya. Dia menoleh ke kanan dan kiri. Ada lukisan-lukisan tua di dinding. Semuanya terasa terlalu sunyi, terlalu sempurna. Bahkan aroma rumah ini bukan aroma rumah biasa, bau kayu tua, parfum mahal, dan entah apa lagi yang menyatu jadi aroma khas. Dia masih berdiri terpaku saat Axton kembali muncul dari balik lorong. "Siapkan kamar tamu bagian barat untuknya," ucap pria itu datar kepada salah satu pelayan. "Baik, Tuan Axton." Liora melirik. Lagi-lagi semua orang menunduk saat pria itu berbicara. Bahkan pelayan laki-laki yang tubuhnya lebih besar dari Axton pun menunjukkan sikap tunduk penuh hormat. 'Siapa pria ini?' batin Liora. Dia tidak terlihat seperti pejabat, bukan pula bangsawan. Tapi cara semua orang memperlakukannya seperti memandang raja. Liora menggigit bibirnya. Dia mulai merasa tidak enak. Ada sesuatu yang tidak biasa di tempat ini. Tapi dia sudah terlalu jauh untuk mundur. Axton berbalik, hendak melangkah pergi begitu saja. “Tunggu.” Liora menghentikannya. Suaranya sedikit lebih tinggi dari bisikan, tapi cukup tegas. Axton menghentikan langkah, menoleh perlahan. Tatapannya tajam, dingin, nyaris tanpa ekspresi. Liora menegakkan bahu. Rasa takut datang sebagai refleks, tapi dia menguatkan diri. Dia butuh kejelasan. Dia tidak mungkin tinggal di tempat ini tanpa tahu nama orang yang sudah menjadi suaminya. "Aku... aku bahkan belum tahu siapa Anda," katanya dengan takut-takut. Axton diam selama beberapa detik. Tatapannya menyapu wajah Liora. Tidak marah, tidak senyum, hanya pandangan menilai, seperti sedang mengukur sesuatu. "Kau memintaku menikahimu," katanya akhirnya, suaranya datar dan nyaris terdengar seperti ejekan. "Tapi kau bahkan tidak tahu namaku?" Lanjutnya, masih dengan suara dingin terdengar. Liora merapalkan umpatan di hatinya. Apa yang pria itu katakan benar, dan Liora tidak bisa menyangkalnya. Dia mengajak seorang pria untuk menikah tanpa tahu siapa pria itu dan siapa namanya. Wajahnya memanas, antara malu dan marah. Tapi sebelum dia sempat menjawab, Axton membalikkan badan dan pergi, meninggalkannya berdiri di tengah aula yang terlalu besar dan terlalu asing. Liora mengepalkan jemarinya diam-diam. Satu hal sudah jelas, pria ini bukan orang biasa. Liora mencari cara bagaimana dia bisa bertahan hidup. Melanjutkan pernikahan ini, atau pergi begitu saja. "Silahkan." Ucap salah satu pelayan membuyarkan lamunan Liora yang sedang menatap punggung Axton yang sudah menghilang dari pandangannya. Liora menjawab dengan anggukan kepala saja. Dia mengikuti asisten rumah tangga yang berjalan lebih dulu untuk membawanya ke kamar yang sudah disiapkan untuknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN