Bukan Bruno yang berhasil menemukan siapa orang yang membantu Fadia melarikan diri, melainkan Arsenlah yang memberi perintah pada Hedy agar memberi petunjuk pada Bruno tentang semua ini.
Sebenarnya Arsen tidak punya kewajiban menampakkan diri seperti ini. Bisa saja ia membiarkan Bruno kebingungan sampai mati mencari keberadaan Fadia yang tanpa meninggalkan jejak apa pun. Namun, Arsen ingin urusan Fadia dengan pamannya ini selesai sepenuhnya. Benar-benar selesai seratus persen sehingga ini akan menjadi kali terakhir mereka berurusan.
Setelah ini, Asren berjanji hubungan Fadia dengan paman dan bibi sialannya itu akan terputus dan mereka tidak ada sangkut pautnya lagi. Selain itu, Arsen juga ingin memberi mereka pelajaran karena telah membuat wanita yang dicintainya menderita.
Saat ini waktu menunjukkan pukul sebelas malam, Arsen duduk di kursi belakang sedangkan Hedy duduk di kursi kemudi dan menyetir dengan tenang.
“Tuan, Bruno pasti merasa keren lantaran berhasil menemukan Anda dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam,” ucap Hedy.
Arsen pun tertawa. “Informasi apa saja yang kamu berikan padanya?”
“Sesuai perintah Anda, Tuan. Saya berpura-pura menjadi informan, memberi tahu siapa yang membawa kabur Fadia. Untuk meyakinkan, saya mengirimkan foto saat kalian berdua masuk lift. Saya bahkan memberikan nomor ponsel Anda, Tuan.”
“Kerja bagus, Hedy,” balas Arsen. “Rupanya Bruno langsung menghubungi saya dan mengajak bertemu malam-malam begini. Tentunya di tempat yang saya pilih dan kami hanya bertemu berdua tanpa perlu ada yang mengantar.”
Arsen melanjutkan, “Meski sudah sepakat untuk jangan melibatkan siapa-siapa, kita tetap harus waspada, bukan? Kita tidak bisa menjamin kalau ucapan Bruno bisa dipegang. Jangan-jangan dia nakal sehingga tetap membawa pasukan untuk menyerang saya.”
“Tuan tidak perlu mengkhawatirkan itu.”
Arsen tersenyum. “Kamu memang selalu bisa diandalkan kapan pun dan di mana pun.”
“Dengan senang hati, Tuan.”
“Ngomong-ngomong, saya tidak menemukan berita apa pun terkait peristiwa hari ini. Padahal saya kira menghilangnya calon mempelai wanita akan menjadi viral, lebih viral jika pernikahan sungguh terjadi."
“Sepertinya Juragan Iwan sangat menjunjung tinggi reputasi. Dia pasti merasa dipermalukan dan malunya akan berlipat ganda jika seluruh negeri tahu tentang calon pengantinnya yang kabur. Itu sebabnya dia sebisa mungkin mencegah agar informasi ini tersebar,” jelas Hedy.
Hedy berbicara lagi, “Saya juga sudah mengumpulkan rahasia gelapnya yang bisa Tuan gunakan untuk mengancamnya. Seperti bisnis-bisnis kotor Bruno yang akan Tuan jadikan senjata untuk membuatnya berhenti mengganggu Fadia.”
“Kamu memang tidak pernah mengecewakan,” puji Arsen. “Malam ini saya akan membereskan urusan Fadia dengan Bruno, sedangkan besok … barulah saya akan menemui Juragan Iwan,” sambungnya.
“Bicara soal Fadia … bagaimana jika dia kabur lagi, Tuan? Dia tidak mungkin kabur, bukan?”
“Tenang saja. Dia mustahil bisa kabur lagi,” balas Arsen sambil tersenyum.
Bersamaan dengan itu, mobil yang Hedy kemudikan berhenti tepat di parkiran kantor Arsen yang sudah sepi.
“Rupanya dia sudah datang,” ucap Arsen sambil menunjuk ke arah pintu masuk kantor di mana Bruno sedang berdiri menunggu kedatangannya. “Baguslah, saya juga ingin semuanya cepat selesai dan segera kembali menemui Fadia,” sambungnya.
“Wajahnya babak belur, Tuan.”
“Tidak heran, pasti anak buah Juragan Iwan yang melakukannya.”
Setelah itu, Arsen turun dari mobilnya dan segera melangkah menghampiri Bruno.
“Tuan Arsen?”
“Ya, itu adalah saya,” jawab Arsen begitu tenang, berbeda dengan Bruno yang tampak tegang.
“Mana Fadia?” tanya Bruno cepat. “Kembalikan keponakan saya sekarang juga!”
“Bisakah Anda santai saja, Pak Bruno? Mari bicara di dalam sambil minum kopi,” ajak Arsen seraya berjalan mendekati pintu masuk. Menggunakan kartu akses di tangannya, pintu pun langsung terbuka.
“Silakan masuk,” ajak Arsen kemudian.
Melihat wajah Bruno sangat kentara sedang waspada, Arsen kemudian berkata, “Anda takut pada saya, Pak Bruno? Bukankah kita sepakat untuk tidak membuat keributan dan hanya akan bicara baik-baik?”
“Untuk apa saya takut?” Bruno pun melangkah masuk mengikuti Arsen. “Saya harus masuk dan mengambil alih Fadia darimu, Tuan Arsen.”
Gedung kantor tiga lantai ini bukan hanya sepi, tapi juga gelap. Untungnya tak lama kemudian Hedy dan petugas keamanan langsung menyalakan seluruh lampu sehingga Arsen dan Bruno bukan berjalan dalam kegelapan lagi.
Saat lift bergerak naik ke lantai tiga di mana ruangan Arsen berada, hanya ada keheningan di antara mereka. Sampai kemudian mereka tiba di ruangan Arsen.
“Duduklah,” ucap Arsen sambil menunjuk sofa.
Bruno pun duduk.
“Jujur, saya tidak paham kenapa saya harus melakukan ini. Padahal saya ingin Fadia dikembalikan, bukan berbicara dengan Anda,” ucap Bruno kemudian.
“Pak Bruno, Anda berbicara seolah saya menculik Fadia sehingga meminta agar dia dikembalikan.”
“Kalau bukan menculik … lalu apa?”
“Menculik itu paksaan, sedangkan Fadia dengan suka rela pergi bersama saya,” tegas Arsen.
Bersamaan dengan itu, terdengar suara pintu diketuk. Itu pasti Hedy. Setelah dipersilakan masuk, pintu pun dibuka dari luar dan tampak Hedy membawa nampan berisi dua cangkir kopi. Pria itu meletakkannya di meja dengan hati-hati.
Setelah Hedy pamit keluar ruangan, pembicaraan Arsen dan Bruno pun bisa dilanjutkan.
“Sekarang tolong katakan di mana Fadia,” pinta Bruno. “Tuan Arsen, seharusnya Anda tahu betapa ini adalah masalah besar karena Anda membuat calon pengantin wanita meninggalkan calon suaminya tepat sebelum mereka resmi menikah. Jadi, tolong kembalikan Fadia sebelum masalahnya bertambah serius,” lanjutnya.
“Memangnya saya bilang akan mengembalikan Fadia? Saya tidak pernah bilang begitu. Saya hanya mengajak Anda bertemu untuk berbicara,” balas Arsen.
Bruno berusaha sabar. “Memangnya bicara apa sampai-sampai Anda membawa saya ke kantor ini?”
“Saya membawamu ke sini agar kita bisa bicara lebih nyaman karena apa yang akan kita bicarakan itu sangat privasi dan bahaya jika ada yang tahu,” kata Arsen.
“Pertama … seharusnya saya memperkenalkan diri dengan benar. Saya Arsenio Madhava adalah calon suami Fadia, jadi saya berhak membawanya pergi dari pernikahan sialan yang hampir terjadi jika saja saya tidak menggagalkannya.”
“Apa? Calon suami? Sejak kapan Fadia punya calon suami seperti Anda, Tuan? Terlebih saya sebagai pamannya … saya tidak tahu menahu soal ini.”
“Tentu Anda tidak perlu tahu, Pak. Memangnya Anda siapa? Paman? Maaf Anda tidak layak disebut paman. Bahkan, tidak layak disebut manusia.”
“Apa Anda bilang?” Bruno tak habis pikir hal seperti ini yang Arsen bicarakan.
“Mana ada paman yang menjual keponakannya sendiri?”
“Jangan sembarangan. Mana pernah saya seperti yang Anda tuduhkan?” Bruno mulai emosi.
“Menikahkan secara paksa dengan saudagar kaya sekaligus tua … sama saja dengan menjual, bukan? Saya yakin Anda mendapatkan keuntungan besar jika Fadia sungguh menjadi istri Juragan Iwan,” tebak Arsen. “Sayangnya semuanya kacau karena Fadia tidak jadi menikah dengannya.”
“Jadi, Anda mengajak bertemu hanya untuk berbicara semua ini?”
“Ada lagi,” balas Arsen. “Sebentar lagi saya dan Fadia akan menikah. Jadi, anggap saja hari ini terakhir kalinya Anda mencari calon istri saya. Persetan dengan hubungan paman dengan keponakan, hubungan kalian resmi terputus semenjak hari ini. Jangan pernah berani mengusiknya lagi.”
“Mana bisa begitu? Fadia harus menikah dengan Juragan Iwan!”
“Sepertinya Juragan Iwan memberikan Anda keuntungan yang besar jika berhasil menikah dengan Fadia. Saya benar?”
“Memangnya kenapa kalau saya mendapatkan keuntungan? Itu adalah sesuatu yang berhak saya dapatkan karena telah mengurus Fadia dari kecil.”
“Haruskah saya menawarkan negosiasi?” pancing Arsen. “Anda pikir uang saya lebih sedikit dari yang Juragan Iwan miliki?”
Spontan Bruno memperhatikan seisi ruangan. Ia baru menyadari kalau ini adalah kantor pinjaman modal dalam skala besar. Bruno bahkan dulu sempat hampir mendatangi kantor ini, saat dirinya masih kesulitan uang. Namun, urung saat ekonominya perlahan membaik berkat bisnis kotor yang dikelolanya.
“Pantas saja nama Anda terasa tidak asing. Rupanya Anda pemilik Arsenio Capital,” ucap Bruno.
Sebenarnya Arsenio Capital hanyalah usaha kecil bagi Arsen. Kantor ini pun baru beroperasi sekitar satu tahun. Arsen membuka kantor pinjaman modal dengan harapan suatu saat paman Fadia meminjam uang padanya lalu Arsen bisa menjeratnya dengan bunga yang besar. Setelah itu, Arsen akan membuat Bruno menyerahkan Fadia sebagai jaminan. Bukannya apa-apa, Arsen terkadang merasa kalau Bruno tahu di mana keberadaan Fadia.
Sayangnya, itu hanyalah rencana karena ternyata Bruno pun tidak tahu di mana keberadaan Fadia. Selain itu, bisnis Bruno mulai berkembang pesat sehingga tidak butuh pinjaman modal lagi.
Meskipun gagal menemukan Fadia dengan cara ini, tapi Arsen tidak kepikiran untuk menutup Arsenio Capital karena ternyata bisnis ini semakin berkembang dan memberikan keuntungan padanya. Sampai akhirnya, kantor ini beroperasi hingga hari ini.
“Bisnis Anda pasti berjalan lancar. Itu sebabnya Anda tidak pernah berurusan dengan kantor ini,” ucap Arsen kemudian.
“Maaf Tuan Arsen, saya tahu Anda kaya. Tapi saya tidak bisa berubah pikiran. Saya tidak akan merestui Anda dengan Fadia. Tolong biarkan Fadia menikah dengan Juragan Iwan.”
“Kenapa Anda belum mengerti juga? Anda pikir saya mengajak bertemu untuk meminta restu?” Setelah mengatakan itu, Arsen langsung menghubungi Hedy.
“Bawa ke sini,” ucap Arsen sambil menempelkan ponsel di telinganya.
“Fadia mau dibawa ke sini?” tanya Bruno penuh harap.
“Selain tidak tahu diri, ternyata Anda juga bodoh, Pak Bruno.”
“Apa?”
Belum sempat Arsen menjawab lagi, Hedy sudah lebih dulu masuk dan kali ini sambil membawa beberapa dokumen di tangannya. Hedy lalu menyerahkannya pada Arsen.
“Bagaimana mungkin Anda bisa menjalankan bisnis ini jika bodoh begini?” kekeh Arsen.
“Ma-maksud Anda?”
“Saya tahu semua bisnis kotor Anda,” jawab Arsen. “Mau lihat bukti-bukti yang bisa langsung diserahkan pada pihak berwajib?”
Detik itu juga, Bruno baru menyadari kalau Arsen bukanlah orang sembarangan. Hal itu membuat Bruno menjadi serba salah karena Juragan Iwan juga bukan orang sembarangan. Bruno harus mendapatkan Fadia lagi lalu menikahkannya dengan Juragan Iwan. Namun, bagaimana cara menghadapi Arsen? Bruno mulai frustrasi karena ini seolah tak ada jalan keluarnya.
“Jangan pernah mengusik hidup Fadia lagi. Ini perintah yang jika dilanggar … siap-siap saja bisnismu kacau dan Anda akan berakhir di penjara, Pak Bruno.”
Tidak … Bruno tidak ingin itu terjadi!
“Ralat, bukan hanya jangan mengusik. Tapi jangan pernah muncul di hadapan Fadia lagi.”
“Tuan Arsen, saya sebenarnya ingin menuruti perkataan Anda, sayangnya tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Saya sudah berjanji pada Juragan Iwan untuk menyerahkan Fadia padanya. Saya mohon … saya harus menikahkan mereka. Jika tidak, saya akan berada dalam masalah besar.” Bruno benar-benar frustrasi.
“Sejak kapan itu menjadi urusan saya? Masalah Anda dengan Juragan Iwan, itu urusan kalian berdua. Pokoknya jangan pernah usik Fadia lagi. Biarkan dia hidup bahagia dengan menjadi istri saya,” balas Arsen. “Sudah cukup Anda membuatnya menderita selama ini. Sekarang waktunya Anda membebaskannya dari apa pun. Jangan pernah menjeratnya dengan utang budi konyol.”
Bruno langsung turun ke lantai dan berlutut di bawah kaki Arsen. Padahal tadi siang ia melakukan seperti ini pada Juragan Iwan, sekarang ia berlututnya pada Arsen.
“Tuan Arsen, tolong kasihani saya.”
“Rasanya saya sudah terlalu mengasihanimu, Pak Bruno. Padahal saya bisa saja memberi pelajaran berharga agar Anda sadar apa yang Anda lakukan pada Fadia sudah sangat keterlaluan dan melewati batas. Saya bahkan belum benar-benar bertindak.”
“Tuan….”
“Jangan pernah bermimpi kalau saya akan menyerahkan Fadia pada Anda,” tegas Arsen. “Sekarang saya anggap urusan kita sudah selesai. Jika saya mendapati Anda mengusik Fadia lagi, siap-siap saja … saya akan menghancurkan Anda dengan tangan saya sendiri.”
Mendengar itu, Bruno tahu Arsen tidak sedang main-main dengan ucapannya. Bruno bahkan sampai merinding saat mendengar ancaman pria itu.
***
“Namanya Arsenio Madhava. Jadi dia yang membawa pergi Fadia?” tanya Juragan Iwan pada orang kepercayaannya.
“Ya, Juragan.”
“Cari tahu di mana dia sekarang!” Tangan Juragan Iwan bahkan mengepal menahan rasa kesal. “Berani-beraninya dia mengusik ketenangan saya!” lanjutnya.
“Tidak sulit menemukan keberadaannya, Juragan. Terlebih bisnisnya tersebar di mana-mana.”
“Atur pertemuan saya dengannya. Dia harus saya beri pelajaran agar sadar sedang berhadapan dengan siapa.”