Awalnya, Keenan benar-benar merasa terkejut ketika Nadine tiba-tiba saja menggenggam tangannya. Refleks, ia hampir saja melepaskannya dengan kasar. Tetapi kemudian, ia mendengar gumaman wanita itu, yang jelas mengigau, tampaknya sangat lelah. Keenan ragu sejenak, ada sesuatu yang membuatnya berhenti. Apa ini? Rasa iba? Kenapa ia harus merasa seperti ini? Bukankah Nadine sama sekali bukan urusannya? Ia hanya diam, membiarkan tangan istrinya tetap menggenggam. Tatapannya jatuh pada wajah sang istri yang terlihat begitu kusut, penuh kelelahan.
"Apa yang sebenarnya terjadi denganmu? Masalah apa yang begitu berat sampai-sampai kamu mengigau seperti itu? Cih, kenapa juga aku harus peduli? Itu bukan hidupku, itu bukan permasalahanku," ucap Keenan dalam hati.
Dengan perlahan, Keenan berniat melepaskan genggaman tangan Nadine, namun mendadak mata wanita itu terbuka. Nadine terbangun, pandangannya terpaku pada tangan kekar yang tampak memegang tangannya.
"Tuan Keenan, kamu kenapa pegang-pegang tangan aku? Kamu cari kesempatan, ya?" kata Nadine dengan nada terkejut, matanya memicing penuh curiga.
Mendengar hal itu, Keenan tersentak dan buru-buru melepaskan tangan istrinya. Tatapannya menajam, berusaha menutup keterkejutannya barusan. Tidak, ia tidak mungkin memberi Nadine ruang untuk berpikir macam-macam. Apapun alasannya tadi, sekarang ia hanya merasa perlu menjaga jarak dari wanita tersebut—sejauh mungkin.
"Tuan, kenapa diam? Benar 'kan, Tuan tadi cari kesempatan pegang-pegang tanganku saat aku ketiduran," tegur Nadine, membuat Keenan menatapnya semakin tajam.
"Jangan sembarangan menuduh. Sudah jelas-jelas kamu yang lebih dulu memegang tanganku. Baru saja, aku mau menyingkirkan tangan kotormu yang sudah lancang itu." Keenan langsung menjelaskan dengan nada emosi.
Dengan tatapan tidak percaya, Nadine menatap Keenan. "Tuan, kenapa sih tidak mau mengaku saja? Wajar sih, kalau Tuan mau memegang tanganku. Bagaimanapun juga, aku ini 'kan, istri Tuan Keenan. Tapi, jangan diam-diam seperti itu lah. Jangan-jangan … Tuan malu, ya?" godanya dengan percaya diri, mencoba mencairkan suasana.
Namun, justru reaksi Keenan membuat Nadine sedikit terkejut. Ekspresi pria itu semakin emosi dan tanpa basa-basi, Keenan menarik tangan Nadine dengan kasar.
Tindakan mendadak Keenan itu, entah kenapa, membuat Nadine malah tersenyum kecil. "Nah 'kan, sekarang jelas Tuan Keenan pegang-pegang tanganku," ucapnya sambil tertawa kecil, sedikit menggoda dengan nada bercanda.
Padahal dalam hatinya, Nadine menyadari betul bahwa Keenan mempunyai sifat arogan dan dingin. Pria itu bukan tipe orang yang peduli pada orang lain—atau setidaknya begitulah kesan yang dia tunjukkan. Tetapi, entah kenapa Nadine memilih untuk mengesampingkan rasa takutnya. Ia ingat sekali apa yang pernah Bi Wati katakan, bahwa di balik segala kekejaman dan sikap dingin Keenan, suaminya itu adalah orang yang ramah dan memiliki hati. Benarkah itu? Ia juga mulai merasakannya, seolah ada setitik cahaya di dalam diri pria tersebut yang menyimpan belas kasihan.
"Ikut aku sekarang juga," perintah Keenan singkat dengan nada datar, tanpa memberi ruang untuk negosiasi.
"Mau ke mana?" tanya Nadine bingung, meski ia tahu jawabannya tidak akan ada.
"Ikut saja!" Suara Keenan tajam, hampir seperti perintah tak terbantah.
Nadine mengangguk kecil. "Iya, aku ikut."
Apa lagi yang bisa ia lakukan selain menuruti Keenan? Lagi pula, di balik semua keheningan dan tatapan dingin suaminya, Nadine penasaran ke mana pria itu akan membawanya kali ini.
*
Nadine mengikuti langkah panjang Keenan yang terkesan seperti lompatan kangguru. Tidak melihat ke arah mana pria tersebut pergi, langkah itu terasa terlalu cepat untuk dikejar. Ketika Keenan tiba-tiba berhenti, Nadine yang berjalan dengan setengah tergesa-gesa, langsung menabrak punggung suaminya yang kekar.
"Aw!" Nadine meringis sambil memegang kepalanya yang sakit.
"Ck, apa kamu ini tidak punya mata?" decak Keenan, wajahnya tampak kesal.
"Maaf, Tuan Keenan. Tapi 'kan, Tuan yang berhenti mendadak tanpa aba-aba. Lagi pula, ini kepalaku yang sakit. Kenapa malah Tuan Keenan yang ngomel, sih?" Nadine memprotes sambil mencoba menahan diri. Rasanya ingin balas bicara lebih tajam, tetapi ia sadar statusnya sebagai istri yang selalu salah di mata suaminya.
Ia memandang suaminya sebentar, matanya menajam, kemudian bergumam lirih," Dasar kulkas 10 pintu." Ia menggigit bibir, menahan amarah.
"Kamu bicara apa?" tanya Keenan tiba-tiba, dengan sorotan mata mencurigai.
"Oh, aku nggak bicara apa-apa kok, Tuan." Kebohongan itu terpaksa keluar dari mulut Nadine dengan suara yang seolah meyakinkan, tetapi jantungnya berdebar kencang. Dalam hati ia merasa khawatir, apa Keenan tahu ia sedang berbohong?
Keenan tidak berkata apa-apa lagi, hanya menggerakkan langkah kakinya dengan cepat menuju suatu ruangan. Nadine terus mengikuti suaminya, sedikit ragu apakah ia bisa menyusul tempo jalan pria itu yang lagi-lagi panjang.
*
Ketika tiba di ruangan yang dituju, Nadine hanya berdiri kaku tanpa berani berkata apa-apa.
"Putar rekaman CCTV 10 menit yang lalu di ruangan saya!" Keenan memberi perintah singkat kepada salah satu petugas yang ada di ruangan tersebut. Suara perintahnya tegas, membuat aura d******i dirinya semakin terasa.
"Baik, Pak," jawab petugas itu langsung sambil melaksanakan instruksi sang bos.
Nadine memandangi layar monitor tanpa berani menatap Keenan, menghindari segala bentuk konfrontasi dengan pria tersebut. Apa yang Keenan cari sebenarnya? Apa ini terkait kejadian tadi? Detak jantung Nadine semakin keras, ia berharap tidak ada hal buruk yang terjadi.
Tak lama kemudian, rekaman CCTV itu mulai terputar. Mata Nadine langsung terbelalak saat menyadari apa yang ia lihat. "Hah? Jadi benar, aku yang duluan pegang tangan Tuan Keenan? Ditambah sambil ngigau lagi. Ya ampun … Nadine, kenapa sih hal memalukan seperti ini harus terjadi?" batinnya.
Nadine merasa wajahnya sudah panas seperti disiram air mendidih. Rasanya ingin lenyap saja dari tempat itu. Dengan malu yang tak tertahankan, ia mencoba memutar tubuhnya, berniat pergi diam-diam. Namun, langkahnya mendadak terhenti ketika tiba-tiba Keenan menarik kerah bajunya.
"Ampun, Tuan! Aku benar-benar minta maaf," ujarnya dengan suara hampir bergetar serta mengatupkan kedua tangan.
Tak hanya itu, Nadine juga memejamkan matanya, bersiap menerima apa pun hukuman yang mungkin akan Keenan berikan. Hatinya terus berdebar-debar, membayangkan segudang kemungkinan buruk. Tetapi, hal yang justru terjadi sungguh di luar dugaan. Keenan hanya menjentik keningnya.
"Aw! Sakit, Tuan!" rintih Nadine dengan suara yang terdengar manja. Meski keningnya terasa nyut-nyutan, ia merasa ada sesuatu yang ringan di balik sikap Keenan yang khas itu.
"Dasar bodoh," ujar Keenan, melontarkan kalimat andalannya.
Setelah itu, Keenan langsung melangkah pergi dari ruangan tersebut dan Nadine pun refleks mengikuti langkah pria itu di belakang—masih diliputi rasa malu, tetapi sedikit lega karena Keenan tidak benar-benar marah padanya.
"Dasar, kulkas 10 pintu. Tapi untunglah, aku nggak dapat hukuman berat. Cuma jentikan kecil, worth it lah, ya," gumam Nadine dalam hati.
***
Sudah sebulan lamanya, Keenan dan Nadine menjalani bahtera rumah tangga. Walaupun sama sekali tak berjalan mulus seperti yang Nadine harapkan, namun ia tetap bertahan. Kerap kali, Keenan memperlakukannya dengan buruk, dengan kata-katanya yang terkadang begitu menyakitkan, selalu menghinanya, namun ia tetap bersabar karena yakin bisa bisa membuat Keenan bersikap baik padanya suatu saat nanti, walaupun tak mau menganggapnya sebagai seorang istri. Nadine juga selalu melakukan tugas yang seharusnya dilakukan oleh seorang istri, salah satunya adalah memasak, walaupun suaminya selalu saja menolak dan tak pernah sekalipun Keenan menyentuh makanan yang dibuatnya.
Malam itu, setelah selesai makan bersama, Nadine diminta oleh Denada untuk menemui beliau di salah satu ruangan di dalam rumah megah itu. Hatinya terasa deg-degan, ada rasa gelisah yang tak dapat ia kendalikan. Apa yang akan terjadi? Ia tak bisa berhenti bertanya dalam hati, mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk.
"Maaf, Nyonya. Ada apa Anda memanggil saya?" tanya Nadine dengan nada berusaha tegar. Namun, detak jantungnya terasa semakin tak terkendali.
"Sudah sampai di mana hubunganmu dengan Keenan? Apakah kamu sudah berhasil membuat Keenan kembali menjadi lelaki sejati? Apakah dia sudah menyentuhmu?" tanya Denada, langsung pada inti tanpa basa-basi.
Nadine menarik napas panjang, berusaha tetap tenang di tengah tatapan tajam Denada yang menuntut jawaban. "Maaf, Nyonya, tapi sampai sekarang saya belum berhasil," jawabnya apa adanya.
Hati kecilnya sudah penuh kegundahan. Nadine tahu jawabannya itu tidak akan memuaskan Denada. Tatapan wanita paruh baya itu berubah drastis, matanya mengeras dengan emosi yang seolah siap meledak kapan saja. Nadine bisa merasakan amarah yang perlahan membakar udara di ruangan tersebut.
PLAK!
Tiba-tiba, sebuah tamparan keras dari Denada mendarat di pipi Nadine. Ia terhenyak, mencoba memproses apa yang baru saja terjadi.
"Dasar bodoh! Hanya perkara ini saja kamu tidak becus!" bentak Denada penuh hinaan.
Nadine terdiam. Sakit di pipinya terasa panas dan memerah, tetapi rasa sakit itu tidak sebanding dengan luka di dalam hatinya. Tamparan fisik yang ia terima seakan memudar dibandingkan perasaan terhina dan gagal yang semakin menekan jiwa. Kenapa harus ia yang dibebani dengan tugas yang menguras harga diri seperti ini? Nadine merasa seluruh keberadaannya diremehkan, walaupun ia sadar, ia hanya alat bagi orang lain untuk mencapai tujuan mereka.
Bersambung …