Bab 06. Apa Yang Terjadi Denganmu?

1327 Kata
"Saya benar-benar minta maaf, Nyonya. Saya janji akan berusaha lagi nanti," ucap Nadine dengan lemah, dia sadar tak bisa melawan apalagi membalas. "Bukan nanti, tapi sekarang!" bentak Denada, tatapannya tajam menusuk. Nadine berdiri dengan tangan gemetar, mencoba menenangkan napasnya yang terasa berat. Kata-kata Denada masih terngiang di telinganya, tajam seperti duri yang menusuk tanpa ampun. "Saya tidak mau tahu, secepatnya kamu harus berhasil membuat Keenan tertarik denganmu. Penampilan kamu memang sangat udik, tapi saya yakin, kamu bisa melakukan yang terbaik," ucap Denada dengan nada penuh tekanan. "Tidak masalah kalau kamu harus menjadi w************n di depan suami kamu sendiri, 'kan? Bagaimanapun juga, kalian pasangan yang sah. Kamu mengerti atau tidak?" tanyanya dengan nada semakin meninggi. "Iya, Nyonya, saya mengerti," jawab Nadine pelan, suaranya nyaris tak terdengar. Ia merasa tubuhnya mengejang, seperti tenggelam dalam ketidakberdayaan. "Tunggu apa lagi? Pergi kamu sekarang! Dan dengar ini, jika dalam waktu sebulan ke depan kalau kamu tidak hamil juga, bersiaplah menanggung akibatnya," ujar Denada tanpa belas kasih. Tatapan matanya seolah menantang, tidak memberi ruang untuk keberatan sedikit pun. Sementara Nadine hanya bisa mengangguk patuh, meskipun hatinya mendidih dengan berbagai emosi yang bercampur aduk. Kepalanya tertunduk dalam ketakutan, tanpa kata lagi, ia berbalik dan keluar dari ruangan tersebut dengan langkah berat. Sambil melangkah, Nadine menggenggam kedua tangannya erat untuk menahan diri agar tidak menangis. Dadanya terasa sesak oleh tekanan yang semakin menumpuk. Bebannya terasa begitu berat, menaklukkan seorang pria yang ironisnya adalah suaminya sendiri. Namun, ia tahu tugas itu jauh lebih sulit dari sekadar tampak di permukaan. Keenan bukanlah lelaki biasa; pria itu dingin, arogan, seperti tembok tinggi yang mustahil dipanjat. Belum lagi penyakit yang diderita pria tersebut, sebuah halangan yang membuat segala sesuatunya terasa lebih berat. Namun, Denada memaksanya menghadapi monster yang bahkan tidak ingin ia beri perhatian. Bagaimana ia harus menjalani semua ini? Dalam hening malam, Nadine tertunduk. Ia tidak punya siapa-siapa untuk berbagi deritanya, tidak ada yang bisa diajak bicara. Hanya bayangan masa depan suram yang terus menghantui, semakin menekan jiwa rapuhnya yang sudah berada di ambang batas. "Apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa aku harus menyerah? Nggak, aku nggak boleh menyerah. Semua sudah terlanjur. Tapi ... apa yang bisa aku lakukan? Argh, otakku terasa buntu. Aku benar-benar nggak bisa berpikir." Nadine bermonolog di dalam hatinya. Dengan langkah berat dan kepala penuh kebingungan, Nadine akhirnya sampai di depan pintu kamar. Tangannya bergerak perlahan untuk membuka pintu itu dan di dalam sana, ia melihat Keenan—suaminya, duduk di sudut kamar, tepat di samping jendela. Pria itu tampak serius memandangi tumpukan berkas di tangannya, seakan tenggelam dalam dunianya sendiri. Nadine memilih tak berkata apa-apa. Tidak ada energi tersisa untuk memulai percakapan, apalagi menjelaskan apa yang bergumul di dalam kepalanya. Wajahnya lesu, kosong. Tanpa menoleh ke arah suaminya, ia melangkah menuju ke kamar mandi, memutuskan untuk tidak membiarkan Keenan tahu tentang badai yang sedang menghantam batinnya. Lagi pula, apa peduli pria itu? Keenan bahkan tak pernah benar-benar mencoba memahaminya. Ternyata, Keenan memperhatikan istrinya itu. "Apa yang terjadi dengannya?" gumamnya, merasa heran. * Tak lama kemudian, Nadine keluar dari kamar mandi dan telah berganti mengenakan piyama. Tanpa sepatah kata, ia berjalan ke arah sofa yang sudah sebulan ini menjadi tempat tidurnya. Dia merebahkan tubuh dengan perlahan di atas sana, mencoba mencari sedikit kenyamanan di tengah kekacauan. Matanya terpejam, tetapi pikiran tak kunjung reda. Hatinya terasa berat—tidak hanya lelah secara fisik, tetapi juga terlalu penat untuk merasakan apapun lagi. Yang Nadine inginkan sekarang hanyalah istirahat. Setidaknya, tidur mungkin bisa memberinya pelarian sementara dari semua itu. "Ada apa denganmu?" tanya Keenan, tak bisa lagi menyembunyikan rasa penasaran. Nadine, yang biasanya begitu cerewet, kini hanya diam saja, membuat Keenan pun bertanya-tanya, apa mungkin istrinya itu sedang memiliki masalah? Keenan mengulangi pertanyaannya, nada suaranya semakin keras, "Apa kamu ini tuli? Kamu tidak mendengar pertanyaanku, Nadine?" Nadine akhirnya menoleh, wajahnya terlihat lelah. "Tuan, sekarang ini aku benar-benar capek. Bukannya kamu juga sama sekali tidak suka kalau aku mengganggumu saat serius membaca? Jadi, lanjutkan saja. Aku juga mau istirahat," jawabnya pelan, namun tegas. Kali ini, tidak ada canda khas yang biasa Nadine selipkan saat bicara. Matanya sekilas bertemu dengan pandangan Keenan sebelum ia membalikkan badan. "Oh ya, Tuan, jangan tidur terlalu malam, ya. Besok pagi 'kan, Tuan ada meeting di perusahaan," tambahnya, nada suaranya terdengar formal, seperti seorang sekretaris yang memberikan pengingat, bukan seorang istri. Keenan hanya terdiam, memperhatikan punggung istrinya yang kini membelakanginya. Ada sesuatu yang aneh, sangat aneh. Biasanya, Nadine selalu bicara dengan senyum di wajahnya, membawa energi yang berbeda dalam kamar tersebut. Tetapi malam ini? Tidak ada. Entah kenapa terasa hampa. Hanya ada kalimat-kalimat yang terdengar seperti tugas rutin. Sementara itu, Nadine menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis yang terasa semakin sulit dibendung. Tetapi tetap saja, setitik air mata lolos, mengalir perlahan di pipinya. Hatinya begitu sesak, begitu meringis hingga terasa sakit yang tak tertahankan. "Mama ... aku capek. Benar-benar capek, Ma," bisiknya dalam hati. Ingatan tentang almarhumah ibunya muncul dan ada hasrat yang begitu kuat untuk menyusul ke surga. "Jemput aku, Ma. Mungkin di sana, aku lebih merasa bahagia daripada terus menjalani hidup seperti ini." Suara Nadine terdengar rapuh, meski itu hanya dalam benaknya. Kenapa semua terasa berat? Apa ia salah berharap pada orang yang bahkan tak memahami kehadirannya? Di sisi lain, Keenan hanya terpaku di tempatnya. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Namun, benaknya sibuk bergulat dengan berbagai pertanyaan. "Kenapa dia berubah? Apa yang sebenarnya terjadi pada Nadine? Kenapa dia terlihat begitu asing malam ini?" Ia merasa penasaran, ingin mencari tahu, namun entah kenapa dia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh sekarang. *** Seperti biasa, Nadine selalu memulai harinya lebih awal. Pagi ini, ia tidak berniat repot-repot membuat sarapan, toh sudah ada yang menyiapkannya. Lagi pula, rasanya tidak ada gunanya jika ia membuatkan sarapan untuk Keenan lagi. Berkali-kali ia mencoba, tetapi suaminya itu bahkan tidak pernah menyentuhnya. Ujung-ujungnya, hanya dirinya sendiri atau para pelayan di kediaman Lewis yang akhirnya menyantapnya. Usai mandi, langkah Nadine yang hendak keluar dari kamar mandi terhenti. Pasalnya, Keenan berdiri tepat di depan pintu, membuat jantungnya berdegup lebih cepat. "Ada apa, Tuan?" tanyanya sambil memegangi d**a untuk menenangkan diri. Jelas-jelas ia terkejut. "Tentu saja aku mau mandi," jawab Keenan singkat. Sorot matanya memandang lekat, lebih dekat dari biasanya. Sesuatu di wajahnya seperti menilai—atau mungkin bertanya. Nadine mencoba bersikap biasa saja, meski rasa canggung tak bisa sepenuhnya ia sembunyikan. "Silakan, Tuan. aku mau bersiap-siap dulu," sahut Nadine sambil berusaha melangkah pergi. "Tunggu!" panggil Keenan tiba-tiba, membuat langkah Nadine terhenti. Ada nada tegas di suaranya yang memaksa istrinya berbalik menghadapnya lagi. "Pipi kamu kenapa? Siapa yang melakukannya?" Pertanyaannya langsung menusuk tanpa basa-basi, seolah tidak memberikan celah untuk menghindar. Nadine merasa bingung, gugup, bahkan ada rasa ingin sembunyi dari tatapan Keenan yang intens. Bagaimana suaminya bisa tahu? Apa yang harus ia katakan? "Oh, ini bukan apa-apa kok, Tuan. Tadi malam aku nggak sengaja jatuh di tangga, jadinya sedikit memar," jawabnya sambil berusaha tersenyum. Hati kecilnya berontak—berbohong itu bukanlah sifatnya, tetapi apa lagi yang bisa Nadine lakukan sekarang? Jika jujur, itu hanya akan memperburuk keadaan. Keenan menatap tajam, ekspresinya seakan membaca kebohongan Nadine. "Apa kamu tidak menggunakan lift? Jangan berbohong. Katakan, siapa yang sudah menyakitimu? Atau ... ini ulah Nyonya Denada?" tanyanya, suaranya terdengar semakin serius. Menarik napas dalam, Nadine mencoba meredam gejolak emosi yang sudah bercampur dengan rasa takut. "Apapun yang terjadi denganku sekarang, bukankah itu sama sekali bukan urusan Tuan? Sama seperti Tuan yang tidak suka kalau aku ikut campur urusan Tuan," katanya tegas, mencoba memberi jarak. Ia merasa perlu melindungi diri—melindungi ruang pribadinya. "Jadi, aku minta Tuan jangan ikut campur juga urusanku," lanjutnya sebelum berbalik dan segera meninggalkan tempat itu. Hatinya berdebar, namun ia berusaha menyembunyikan kerentanannya di balik langkah-langkah cepatnya. Sedangkan Keenan masih diam terpaku, seolah memikirkan sesuatu yang mendalam. Dan tepat ketika Nadine kembali membelakanginya, samar-samar ia menggumam, "Aku harus cari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku yakin, pasti Denada yang sudah melakukan hal itu kepada Nadine." Ada ketegangan dalam suaranya—seolah dia merasakan ada sesuatu yang tak beres. Bersambung …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN