Bab 08. Bentuk Perhatian

1162 Kata
Semua terperangah ketika tiba-tiba seseorang melangkah cepat, menghentikan tangan Robert yang nyaris mendarat di pipi Nadine. Tetapi kejutan itu belum usai, karena di saat yang sama, munculnya Keenan di tengah situasi tersebut membuat suasana menjadi beku. "Beruang kutub? Bagaimana mungkin dia bisa tiba-tiba muncul di sini? Apa dia diam-diam mengikuti aku? Tapi tunggu, itu bukan masalah utama sekarang. Nadine … serius! Kamu masih bisa bercanda dalam situasi seperti ini? Kalau Tuan Keenan sampai tahu aku menyebut dia beruang kutub, bisa gawat. Bisa saja aku dicekik seperti waktu itu, atau lebih buruk lagi, dibunuh misalnya," ucap Nadine dalam hati, merasa ngeri. Namun, semua itu hanya bernaung dalam hatinya, tanpa suara, karena Keenan tetap tenang di depan matanya. Orang yang ternyata anak buah Keenan, melepaskan tangan Robert dengan menghempaskannya secara kasar Robert menahan rasa sakit dan emosi, ia menoleh ke arah Nadine, senyum sandiwara terbentang di bibirnya. "Nadine, kamu datang bersama suamimu? Kenapa kamu tidak mengatakannya pada Papa? Papa kira kamu datang sendirian," katanya lembut, tetapi ada sesuatu yang menggetarkan di balik senyum itu—seolah menyimpan rahasia gelap yang tak terucapkan. "Jika Nadine datang sendirian, bukan berarti Anda bebas melakukan apa saja, termasuk menyakitinya!" Keenan angkat bicara, nada suaranya datar namun tajam. "Maaf, Keenan, bukan seperti itu maksud Papa. Mana mungkin Papa mau menyakiti anak Papa sendiri," ujar Robert, mencoba membela diri. "Bagaimana kabar kalian setelah menikah? Sudah lama sekali Papa tidak bertemu dengan kalian." Ia sengaja mengalihkan arah pembicaraan, sambil melangkah mendekat ke arah menantunya. Nadine menatap ayahnya dengan dingin. "Cih, bisa-bisanya papa bersandiwara di depan Tuan Keenan. Apa maksud papa?" gerutunya dengan pelan, suaranya nyaris tak terdengar, seperti hanya bicara pada diri sendiri. Keenan yang berada di samping Nadine, menatap penuh tanya. Dia mulai curiga, ada sesuatu yang sedang ia coba pahami. Satu demi satu potongan teka-teki tentang Nadine dan keluarganya, perlahan mengisi ruang di pikirannya. Tentu, ia belum sepenuhnya mengerti apa yang terjadi, tetapi dia bukan orang bodoh. Diam-diam, dia sudah mulai mencari tahu, hingga akhirnya mengetahui sesuatu. Seperti tadi, Keenan sengaja memerintahkan seseorang untuk mengikuti jejak langkah Nadine. Ketika orang suruhannya tahu istrinya tersebut berada di rumah sakit dan langsung mengabarinya, hal itu langsung membuatnya khawatir. Dalam sekejap, ia menyusul. Walaupun dia tidak mendengar percakapan Robert dan dokter, tetapi Keenan bisa melihat semua hal yang tak bisa disembunyikan lagi sama. Ia bisa melihat bagaimana kejamnya seorang ayah memperlakukan anak kandungnya sendiri. Keenan memandang dengan ekspresi datar, tetapi di dalam hatinya rasa jengah menggelegak. Orang-orang seperti Robert, dengan sifat bermuka dua dan manipulatif, membuat darahnya mendidih. Kali ini, dia memilih diam dan berniat mencari tahu lebih lanjut tanpa perlu melibatkan emosi. Namun, ketika Nadine muncul di hadapannya, semua pertanyaan yang sempat mengambang di pikirannya kembali mengemuka. "Kamu sakit? Untuk apa kamu ke sini?" tanya Keenan pada istrinya, meskipun suasana di ruangan itu terasa menegang. Nada bicaranya dingin, sengaja ia kemas seperti itu agar tidak terlalu mencolok emosi sebenarnya. Nadine, seperti biasa, mencoba melucuti ketegangan dengan gayanya yang santai. "Tuan Keenan, kenapa kamu menyusul aku ke sini? Kamu khawatir, ya? Atau kamu lagi stalking aku?" ia membalikkan pertanyaan dengan nada seolah bermain-main, nyaris menantang. Keenan tak menjawab. Hanya tatapan tajam yang ia lemparkan pada Nadine, seolah menuntut sebuah jawaban yang lebih serius. Guratan-guratan kecil ketidaksukaan tak bisa disembunyikan. Melihat tatapan itu, Nadine tahu bahwa suaminya tidak sedang bercanda. Ia menarik napas dalam. "Maaf," katanya akhirnya, sedikit ragu. "Aku ke sini sebenarnya mau melihat nenek." "Nenek?" Keenan mengulangi ucapan istrinya, alisnya sedikit terangkat. Dia memang tidak tahu apa-apa soal ini. Rasa penasaran mulai menyusupi pikirannya. "Ya, Tuan. nenekku yang dirawat di sini," jawab Nadine. Ia lalu menoleh ke arah dokter yang berdiri tak jauh dari mereka. "Dok, nenek saya masih ada di dalam, 'kan?" tanyanya, suaranya berusaha tenang meski ada sedikit kegelisahan di balik tatapannya. Keenan masih tetap berdiam di tempatnya, mengamati Nadine yang sekarang tampak lebih terbuka. Tetapi apa maksud semua ini? Kenapa ia merasa seolah ada teka-teki baru yang harus dipecahkan? Dokter yang melihat kehadiran Nadine di sana pun merasa sangat lega, karena memang ia sudah lama tidak melihat Nadine dan hanya wanita itulah satu-satunya orang yang begitu peduli dengan pasien tuanya itu, yang sudah hampir 6 bulan berada di dalam ruangan tersebut. "Tentu saja. Silakan masuk, Nadine," ucap Dokter dengan ramah. Nadine melangkah masuk ke dalam ruangan, diikuti oleh Keenan yang mendorong kursi rodanya sendiri dengan tenang di belakangnya. Namun tidak dengan Robert, langkah kakinya terhenti oleh perintah Keenan yang membuat orang suruhannya segera menghalangi pria tersebut. * Dalam keheningan ruangan, hanya terdengar suara monoton layar monitor medis yang seolah menjadi latar bagi perjuangan seorang wanita tua yang sedang terbaring tidak sadarkan diri, berada di antara kehidupan dan kematian. Nadine mendekati tubuh renta itu, menggenggam erat tangan neneknya yang lemah. Rasanya ada sesuatu yang menghimpit dadanya hingga tak mampu ditahan lagi air matanya, jatuh satu per satu tanpa mampu terhenti. "Nenek ... apa kabar? Maaf, Nadine baru sempat datang melihat Nenek sekarang," ucapnya sambil tersedu. Ia menatap wajah sang nenek yang lemah, memohon dengan suara penuh harap, "Nek, kapan Nenek akan bangun? Nenek tahu 'kan, cuma Nenek satu-satunya orang yang benar-benar sayang dan peduli sama Nadine." Sebuah rasa perih menusuk hatinya saat kata-kata itu meluncur dari mulutnya. "Semenjak mama pergi entah ke mana, cuma Nenek yang peduli, yang mau merawat Nadine. Dan sekarang, Nadine benar-benar sendiri, Nek." Suaranya nyaris tak terdengar, tenggelam oleh tangis pilu yang kian menguat. Semakin lama, Nadine menggenggam tangan Melati lebih erat, seolah berharap ada keajaiban yang akan membuat neneknya itu membuka mata dan menyapanya kembali. Untuk pertama kalinya, Keenan melihat Nadine begitu rapuh. Rasa iba muncul di hatinya. Selama ini, istrinya itu selalu terlihat ceria. Namun kali ini, Nadine seolah tak mampu lagi menyembunyikan kenyataan pahit yang dialaminya. "Kenapa nenek kamu bisa seperti ini? Apa yang sebenarnya terjadi?" Keenan bertanya tiba-tiba. Nadine menoleh dengan mata yang tampak memerah, sorot kesedihan begitu tertera di wajahnya. "Enam bulan yang lalu, nenek mengalami kecelakaan," jawabnya pelan. "Nenek sempat sadar, tapi kemudian koma. Sampai sekarang belum ada perubahan apa-apa." Suaranya hampir bergetar, seolah menahan emosi yang terlalu berat untuk diungkapkan. Keenan menatap Nadine dengan saksama, mencoba memahami beban yang istrinya pikul. "Lalu, kenapa tadi kamu bertengkar dengan ayahmu? Dan kenapa dia memperlakukan kamu seperti itu?" tanyanya lagi. Meski pertanyaannya terdengar tajam, ada nada lembut yang terselip, seperti sebuah bentuk perhatian yang dia sendiri mungkin tak sadari. Nadine menghela napas panjang, lalu menjawab, "Papa tiba-tiba memutuskan untuk menghentikan seluruh pengobatan nenek." Ada luka di setiap kata yang terucap, membuat Keenan terdiam sejenak. "Padahal aku sudah melakukan semuanya, semua yang mereka minta." Suaranya terdengar semakin lemah. Keenan mengerutkan dahi. "Termasuk menikah denganku? Menjadi istri pengganti untuk adik tirimu?" Pertanyaan itu keluar seperti pisau tajam yang menembus lapisan pelindung hati Nadine. Ia terperangah, bibirnya terbuka tetapi tak ada kata-kata yang keluar. Haruskah ia menjawabnya? Haruskah ia memberitahu Keenan kebenarannya? Tetapi, apakah itu berguna? Apakah suaminya itu akan peduli dengan apa yang sebenarnya terjadi?. Tatapan Nadine kosong, pikirannya berkelindan antara keinginan untuk jujur dan ketakutan akan penilaian Keenan terhadap dirinya. Bersambung …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN