Bab 09. Perasaan Aneh

1288 Kata
Melihat Nadine hanya diam saja, Keenan pun kembali berbicara, "Tidak perlu diceritakan jika menurut kamu hal itu memang tidak bisa diceritakan." Nadine menghela napas panjang, menatap wajah suaminya dengan sorot mata sendu yang penuh keraguan. "Iya, salah satunya memang karena itu," ucapnya pelan, menahan air mata yang nyaris jatuh. "Tapi ... maaf, aku belum bisa mengatakan semuanya sekarang." Suaranya terdengar berat, dipenuhi penyesalan yang tak terelakkan. Keenan mengangguk pelan, tanpa mendesak. "Tidak masalah," sahutnya lembut, seolah memberikan ruang untuk istrinya bernapas lebih lega. Tetapi Nadine tahu, ada hal yang menggantung di antara mereka yang belum terpecahkan. Ia memalingkan wajah, mencoba memfokuskan diri kembali pada sosok wanita tua yang terbaring lemah di ranjang. Pandangannya mulai mengabur saat air mata kembali menetes tanpa bisa dicegah. Dalam hatinya hanya ada satu harapan, kecil namun bersinar terang. "Nek, Nadine harap ada keajaiban yang akan membiarkan Nenek bangun. Nadine mau kita hidup bersama lagi. Nadine punya banyak cerita, begitu banyak kisah yang mau Nadine ceritakan sama Nenek." Wanita itu meremas ujung selimut neneknya dengan erat, tekadnya menguat. "Tenang saja, Nek. Nadine janji akan melakukan apa pun untuk Nenek. Nggak peduli seberapa berat rintangan itu, Nadine nggak akan membiarkan siapa pun menghentikan pengobatan Nenek. Nadine akan berjuang. Nadine akan berusaha mencari uang untuk pengobatan Nenek. Nadine janji, Nek," ucapnya dengan suara bergetar, seakan meminta restu sang nenek dalam hening. Di balik semua kekacauan emosinya, Nadine bahkan tidak menyadari bahwa Keenan memanggil seseorang—orang suruhannya. Mereka tampak berbicara dalam bisik-bisik sebelum orang itu pergi meninggalkan ruangan tanpa suara. Nadine tak sempat menyadari apa yang baru saja terjadi. Pandangannya hanya terfokus pada nenek, doa-doanya terus bergema di dalam hati. "Tuan Keenan, apa boleh aku menggunakan uang yang Tuan berikan setiap minggu untuk pengobatan nenek?" tanya Nadine tiba-tiba, menurutnya hanya inilah solusi yang ia punya saat ini. "Tidak perlu," jawab Keenan dengan cepat. Nadine menundukkan kepala, menelan rasa berat di dadanya. Uang itu, jelas pemberian Keenan dan tanpa izin dari pria tersebut, tak berani dia menentang. Tetapi menyerah? Tidak, itu bukan Nadine. "Tuan, aku janji, aku akan mengembalikan uang itu. Aku akan cicil sedikit demi sedikit. Tapi sekarang, aku benar-benar butuh. Papa sudah berhenti membayar pengobatan nenek. Aku harus melakukannya, supaya nenek tetap bisa bertahan di sini. Tolong, aku mohon." Suara Nadine gemetar, tetapi matanya membara penuh harap. Keenan menatap istrinya dengan tatapan dingin yang menusuk. "Kamu boleh gunakan uang itu, tapi hanya untuk kebutuhan pribadi, bukan hal-hal seperti ini." Suaranya tegas, tanpa ampun. "Tapi aku tidak memakai uang itu untuk urusan pribadi!" Nadine mendongak, suaranya mulai bergetar menahan luka. "Semua yang aku butuhkan sudah tersedia di kediaman Lewis. Setiap hari aku pergi bersama Tuan Keenan, tidak pernah mengeluarkan uang sepeser pun. Jadi, kenapa aku dilarang menggunakan uang itu untuk pengobatan nenek?" Dia merasa heran dan hampir putus asa. Suasana menjadi berat, seakan badai emosi akan meledak di antara mereka. Nadine tahu, ini bukan hanya soal uang. Ini tentang harapan yang sedang diuji dan hati yang tercekik dalam diam. Di saat yang sama, orang suruhan Keenan muncul kembali di sana dengan langkah pasti dan langsung melapor kepada tuannya. "Tuan, semuanya sudah beres. Nenek Melati akan terus mendapat pengobatan di rumah sakit ini dan tidak akan ada satu orang pun yang berani mengganggunya. Untuk soal penjagaan Nenek Melati, saya juga sudah mengurusnya," katanya tegas. Nadine terkejut mendengar laporan itu. Ternyata Keenan sudah bergerak lebih dulu tanpa sepengetahuannya. Tetapi hal tersebut membuat hati kecilnya mendadak dipenuhi rasa syukur yang meluap-luap. Ia menatap Keenan, bibirnya sempat terbuka, namun tak ada kata yang mampu keluar. Seolah emosinya terlalu besar untuk dirangkai dalam kalimat sederhana. Dengan refleks, Nadine melangkah mendekat, tangannya menggapai dan memeluk suaminya. "Terima kasih banyak, ya. Aku … aku nggak nyangka kamu akan melakukan semua ini," bisiknya penuh rasa haru. "Aku janji, Tuan … aku pasti akan membalasnya." Dadanya terasa sesak oleh kebahagiaan yang menyeruak. Rasanya, seperti ada beban berat yang mendadak diangkat dari pundaknya. Sementara Keenan merasa terkejut karena mendapat perlakuan hangat dari istrinya yang tiba-tiba. Ketika Nadine memeluknya, entah mengapa ia merasakan sesuatu yang berbeda. Tubuhnya sedikit kaku, namun tidak menolak. Ekspresinya berubah sedikit gugup, ada sesuatu yang dia rasakan—sebuah getaran dalam hatinya. Dalam keheningan yang aneh itu, detak jantungnya juga seperti berkejaran, mungkin begitu kentara meski ia tak mengucapkan sepatah kata pun. Ada sesuatu yang bergejolak di dalam dirinya, tetapi apa itu? Ia tidak tahu. Yang pasti, ia merasa bahagia dan tak ingin moment itu segera berakhir. Tak lama, Nadine melepaskan pelukannya. Dia merasa gugup. "Maaf, Tuan. Aku terlalu senang. Maaf ya, aku sudah lancang peluk-peluk Tuan Keenan." Dia menyadari jika sikapnya sudah berlebihan. Walaupun merasa sangat senang dan tak mempermasalahkan hal itu, namun Keenan berpura-pura, karena gengsi dan demi mempertahankan harga dirinya. "Ya, lain kali kamu tidak perlu melakukan hal itu walaupun kamu merasa senang, apalagi terhadap pria lain. Bisa saja nanti kamu akan refleks melakukannya," ucapnya, lebih seperti memperingatkan. "Iya. Maaf ya, Tuan," ucap Nadine sembari mengangguk pelan, mencoba bersikap mengerti. Namun, dalam benaknya, pikiran mulai berkecamuk. "Tunggu, pria lain? Apa maksudnya ini? Jangan-jangan ... Tuan Keenan lagi cemburu?" Ia tak kuasa menahan senyum tipis yang perlahan terulas di sudut bibirnya, mengingat kemungkinan itu. "Kenapa kamu senyum-senyum seperti itu? Apa yang lucu?" tanya Keenan, sorot matanya tajam menatap Nadine, seolah berusaha membaca pikiran istrinya tersebut. "Memangnya nggak boleh senyum? Sejak kapan senyum itu dilarang?" sahut Nadine ringan, masih mempertahankan senyumnya. Dalam hati ia merasa geli—cemburu? Benarkah dia sampai terpikir hal itu? "Dasar aneh," gerutu Keenan, nada suaranya sinis namun tetap mengundang perhatian. "Baru saja kamu nangis-nangis, sekarang malah senyum-senyum sendiri. Mungkin kamu perlu pergi ke psikiater untuk memeriksakan otakmu." Kata-kata itu terdengar kejam di telinga siapa pun, tetapi Nadine tak merasa tersinggung sama sekali. Ia malah melihat Keenan dengan senyuman, berusaha memahami cara suaminya berbicara yang selalu dingin dan tanpa filter. Namun di balik semua itu, ia merasa seolah-olah mulai melihat sisi Keenan yang lain—sisi yang tidak biasa pria itu tunjukkan pada orang lain. Sementara itu, Keenan terlihat semakin salah tingkah, seperti ada sesuatu yang bergejolak di dalam dirinya. "Kenapa senyumnya begitu mengganggu?" pikirnya dalam hati. "Aku baru sadar, ternyata Nadine benar-benar cantik saat tersenyum seperti itu." Ia mengerjap, sedikit tertegun dengan pikirannya sendiri. Apa ini artinya? Atau ia mulai jatuh cinta pada istri cupunya itu? *** Seharian ini, tubuh Nadine terasa seperti runtuh dihantam badai yang tak berkesudahan—lelah yang merambat bukan hanya di otot, tetapi juga menyesak di hati dan pikirannya. Maka dari itu, setelah makan malam yang nyaris tak mampu dinikmatinya, ia menyerah dan merebahkan diri di atas sofa luas yang sudah menjadi saksi bisu perjuangannya selama sebulan terakhir. Pelukan empuk sofa itu seolah memberi perlindungan kecil di tengah kehampaan yang menggerogotinya, meski tubuhnya tetap terkurung dan terpaksa pasrah pada letih yang merenggut. Beberapa saat setelah Nadine terlelap dalam mimpinya, Keenan mengamati istrinya itu dengan mata yang tak bisa sembunyikan rasa pedih yang tak ia mengerti sendiri. Dengan hati-hati, ia merapikan selimut yang melorot dari tubuh sang istri, sebuah gestur kecil namun sarat makna. Senyum tipis muncul di bibirnya, perasaan aneh muncul dan membingungkan, seperti benih rasa yang baru tumbuh tanpa bisa ia bendung. "Cih, mana mungkin aku jatuh cinta pada wanita cupu dan bodoh seperti dia?" batin Keenan, berusaha keras menolak perasaan yang semakin menguat, mengoyak logikanya. Tanpa suara, ia kembali duduk di kursi roda dan keluar dari kamar, hendak mencari sosok Denada. * Untungnya setelah berada di lantai dasar, Keenan langsung bertemu dengan ibunya yang entah dari mana. "Keenan, Kamu mau ke mana? Kenapa kamu sendirian? Di mana Nadine?" tanya Denada seraya melangkahkan kaki menghampiri anaknya tersebut. "Kita perlu bicara," ucap Keenan, seperti biasa dingin dan datar. "Ada apa dengan anak ini? Apa yang mau dia bicarakan?" batin Denada, merasa ada sesuatu yang tidak beres dan membuatnya khawatir. Bersambung …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN