Kini mereka sudah berada di ruang keluarga. Denada yang mengajak Keenan ke sana, sebuah tempat yang tenang namun terasa mendadak tegang karena suasana di antara mereka. Padahal, Denada berharap suasana akan menjadi lebih santai dan bisa mempermudah pembicaraan mereka.
"Keenan, kamu mau Mama buatkan teh hangat?" tawar Denada lembut, tetapi nadanya terdengar canggung.
"Tidak perlu, ini sudah malam. Saya hanya ingin berbicara sebentar," jawab Keenan singkat namun cukup tegas.
Denada memandang Keenan dengan tatapan penuh tanya, mencoba menilai apa yang pria itu pikirkan. "Ya sudah. Apa sebenarnya yang mau kamu katakan? Kenapa kamu terlihat serius seperti itu?" tanyanya, rasa penasaran bercampur kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya.
Keenan menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. Tidak ada gunanya berputar-putar, lebih baik ia berbicara langsung. "Jangan pernah mengusik Nadine atau memaksanya untuk melakukan sesuatu yang tidak mampu dia lakukan, karena itu semua akan percuma," katanya tanpa basa-basi, nadanya tegas namun masih terkontrol.
Wajah Denada berubah, seolah mencoba menyembunyikan sesuatu di balik senyum tipisnya. "Maksud kamu apa?" tanyanya, berpura-pura tidak mengerti.
Namun, Keenan tahu lebih baik dari itu. Ia memfokuskan tatapannya pada wanita tersebut, memastikan pesannya benar-benar sampai. "Jangan berpikir saya tidak tahu apa yang Anda rencanakan," ucapnya, menahan rasa getir di hati. "Anda meminta Nadine untuk segera hamil, padahal Anda juga tahu bagaimana kondisi saya. Itu sama saja dengan Anda sudah menghina saya." Suaranya bergetar, bukan karena takut, tetapi karena marah yang ia pendam selama ini.
Pandangan mereka bertemu dan Keenan tahu, Denada mendengar setiap kata yang dia ucapkan. Di balik rasa kesal Denada, Keenan berharap wanita itu paham bahwa ucapannya bukan sekadar amarah, melainkan peringatan untuk sesuatu yang lebih penting.
Denada tersentak mendengar ucapan Keenan. "Apa? Jadi Keenan sudah tahu? Dasar wanita tengik, benar-benar tidak tahu diri! Bisa-bisanya dia mengadu pada Keenan soal ini," umpatnya dalam hati. Namun, ia mencoba mengendalikan emosi dan menampilkan senyum kecil di wajahnya. "Keenan, kamu salah paham. Niat Mama itu baik—"
"Ingin menguasai harta saya," potong Keenan tajam. Kata-katanya seperti pisau yang menghujam hati.
Denada menahan napas sejenak, mencoba meredam gejolak di dadanya. "Keenan, kenapa kamu tega sekali bicara seperti itu?" Suaranya bergetar. "Kamu lupa? Mama yang merawat kamu sejak ibu kandungmu pergi untuk selama-lamanya. Mama yang mengurus ayah kamu saat dia sakit, sampai akhirnya papa kamu menitipkan kamu ke Mama sebelum meninggalkan kita." Air matanya tak bisa lagi dibendung, jatuh begitu saja membasahi pipinya. "Kenapa kamu bersikap seperti ini, Keenan? Kenapa kamu selalu menganggap Mama sebagai wanita jahat? Bahkan, kamu tidak pernah mau memanggil Mama dengan sebutan yang seharusnya."
Bukan iba, Keenan justru merasa muak. Ia menatap Denada datar. "Jangan buang-buang air mata buaya Anda, Tante," katanya tajam, penuh penekanan pada kata 'tante'.
Ucapannya begitu dingin, nyaris tanpa emosi, seolah wanita itu tak lebih dari orang asing baginya. "Dari awal, saya juga tidak pernah suka dengan Anda. Kalau bukan karena papa, saya bahkan tidak sudi menganggap Anda bagian dari hidup saya. Ingat, Anda itu hanya ibu tiri, jadi jangan pernah mencoba mengatur hidup saya. Dan sekarang Nadine, Anda juga tidak akan pernah bisa mengendalikan dia," lanjut Keenan, penuh penegasan.
"Apa-apaan ini? Apa sekarang Keenan sudah mulai peduli dengan wanita itu? Apa wanita itu sekarang sudah berada di bawah kendali Keenan? Tidak! Ini tidak bisa dibiarkan. Rencanaku harus berhasil," batin Denada, khawatirnya semakin bertambah.
"Keenan, maksud Mama itu baik. Mama hanya ingin kamu menjadi pria sejati seperti dulu, menjadi pria normal saat berada di dekat seorang wanita. Bukannya selama ini selalu gagal, karena kamu juga tidak mau 'kan, dekat dengan wanita yang bukan siapa-siapa kamu? Nadine itu istri kamu, tidak salah 'kan, Mama menginginkan kalian punya anak," ujar Denada, mencoba untuk membela diri.
"Berhenti menyebut diri Anda, 'mama'! Anda bukan ibu saya!" Keenan melotot, suaranya meninggi dengan amarah yang membara. "Anda sudah dengan lancang mengatur pernikahan saya dengan Nadine. Jadi dengar baik-baik, jangan pernah lagi ikut campur dalam urusan saya maupun urusan Nadine. Cukup sampai di sini, atau Anda akan tahu seperti apa akibatnya!" Ancaman itu terucap dengan dingin dan menusuk, sebelum ia mendorong kursi rodanya dengan keras, menjauh dari sana, meninggalkan Denada dalam kesendirian yang pekat.
Sementara Denada hanya terpaku di tempatnya berdiri, memandangi punggung Keenan yang semakin menjauh. Kata-kata anak tirinya tadi berputar-putar di kepalanya seperti belati tak kasat mata yang terus menerus menusuk.
Denada mengatupkan bibirnya, matanya membara penuh dendam. "Dasar kurang ajar! Berani sekali kamu, Keenan! Tunggu saja," gumamnya pelan, namun penuh tekad membara. "Aku tidak akan diam begitu saja. Setelah semua yang aku lakukan untuk kamu dan ayah kamu, kamu malah mencoba menyingkirkan aku dengan tangan kosong. Warisan ayahmu harus menjadi milikku seutuhnya. Istri yang berhak memegang segalanya adalah aku, bukan kamu."
Kegelapan menguasai hatinya, niat jahat yang lama direncanakan, semakin menggila dan menguat. Denada sudah pasang badan, dia tak akan berhenti sampai semua yang diinginkannya terkabul, dengan cara apapun.
***
Keenan melangkah masuk ke kamarnya, tanpa perlu lagi berpura-pura lumpuh di hadapan Nadine sejak salah satu rahasianya itu terbongkar. Tetapi, kelegaan itu tidak serta-merta mengusir rasa bosan yang belakangan sering menghantuinya di kamar. Ia masih memiliki rencana, tentu saja. Rencana besar sebelum waktunya tiba untuk mengungkap semuanya di depan orang-orang.
Pandangan Keenan bergerak ke sofa di sisi ruangan. Dahinya mengernyit ketika tidak menemukan sosok Nadine di sana. Nalurinya menyuruhnya mencari, matanya menyapu setiap sudut kamar hingga akhirnya menangkap pemandangan yang hampir membuatnya tertawa. Di atas lantai, wanita itu terbaring dengan santainya. Rambutnya berantakan, tetapi napasnya teratur. Nadine benar-benar tertidur pulas seperti anak kecil yang tidak peduli dunia.
Melihat akan hal itu, bibir Keenan tanpa sadar melengkungkan senyum tipis. "Benar-benar wanita bodoh," gumamnya pelan, meski tak ada nada mengejek dalam ucapannya
Entah kenapa, tingkah polos dan konyol Nadine belakangan ini selalu berhasil mencuri perhatiannya, bahkan membuatnya merasa hangat. Namun, senyuman itu perlahan memudar. Pikiran Keenan mendadak dipenuhi pertanyaan yang tak nyaman. Apakah selama ini ia terlalu keras pada Nadine? Apakah semua yang ia lakukan pada istrinya terasa kejam? Selama sebulan ini, ia membiarkan wanita itu tidur di atas sofa, sementara dirinya menikmati kemewahan kasur King size yang luas dan empuk. Tidakkah itu terlalu tidak adil?
"Apa dia merasa nyaman? Apa dia pernah mengeluh saat aku tidak mendengarkannya?" tanya Keenan dalam hati, perasaan bersalah perlahan muncul, menghantui hatinya yang selama ini selalu dingin.
Akhirnya, Keenan menendang kecil kaki Nadine, berniat untuk membangunkan istrinya itu. "Nadine, bangun," panggilnya.
Namun boro-boro bangun, sepertinya Nadine sama sekali tidak mendengar dan masih terlelap dalam mimpi.
"Nadine, bangun!" Suara Keenan lebih keras, hingga pada akhirnya Nadine menggeliat karena mendengar suara itu.
Nadine terjaga tiba-tiba, matanya membulat saat melihat sosok suaminya berdiri di dekatnya. "Tu-Tuan Keenan?" Suaranya gemetar, setengah tak percaya. Mata mengantuknya seketika terbuka lebar, menatap penuh keheranan. "Ada apa, Tuan? Ada yang bisa aku bantu?" Ia bertanya pelan, masih bingung.
Keenan menjawab dengan suara tenang namun nyata, "Aku hanya melihatmu tidur di lantai."
Nadine tercekat, benar-benar tak menyadarinya. Dengan langkah terbata, ia bangkit lalu beringsut naik ke sofa, berusaha mengulur waktu dan kembali merebahkan tubuhnya.
"Lebih baik kamu tidur di kasur," ucap Keenan dengan nada yang tak memberi ruang tawar.
Hati Nadine berdentang kencang. "Hah?" Ia bingung, terkejut akan ketegasan yang tiba-tiba itu.
"Penawaran tidak akan datang dua kali. Kalau kamu menolak, ya sudah," ujar Keenan sambil berbalik ingin pergi.
"Eh, Tunggu. Tuan Keenan, tunggu!" Nadine buru-buru bangkit mengejar Keenan, tetapi ia malah tersandung dan tubuhnya terhuyung.
Untungnya Keenan melihatnya dan sigap menangkap tubuh sang istri, berusaha menahan agar tidak terjatuh. Namun entah bagaimana, tubuh Nadine malah ikut terbawa jatuh ke lantai dan dalam sekejap, bibir mereka bertemu, membekukan waktu dalam keheningan yang mendebarkan.
Bersambung …