Baik mata Keenan maupun Nadine sama-sama terbelalak, terperangah dengan apa yang sedang terjadi. Keduanya tidak tahu bagaimana menjelaskan hal ini—untuk pertama kalinya, bibir mereka bertemu. Karena ketidaksengajaan, sebuah momen yang begitu singkat namun meninggalkan hentakan keras di d**a.
Namun, alih-alih menjauh seperti seharusnya, Nadine yang berada di atas tubuh kekar Keenan, seolah menolak untuk bergerak. Ia memutuskan sesuatu tanpa berpikir panjang dan dengan gugup, ia membuka mulutnya, melumat bibir sang suami dengan perlahan.
"Apa yang aku lakukan?" bisik Nadine dalam hati, tetapi entah kenapa ia terus melanjutkan.
Keenan tampak terkejut. Wajahnya memerah, matanya sempat memancarkan kebingungan, namun yang lebih mengejutkan, entah kenapa ia tidak menolak. Bahkan, dia malah menarik tengkuk Nadine dengan lembut, seolah menyalakan sesuatu yang terkubur dalam hubungan mereka selama ini. Sentuhannya membuat jantung Nadine berpacu.
Dalam beberapa detik, ciuman itu berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih dalam, penuh gairah yang selama ini Keenan anggap telah hilang dalam dirinya. Tapi kemudian, semuanya berhenti begitu saja. Keenan tiba-tiba menjauhkan tubuh Nadine dengan gerakan yang kasar, membuat istrinya itu terpental dan terlentang di sampingnya, terengah-engah.
Nadine merasa heran, perasaan campur aduk melingkupi dirinya—antara rasa malu, sakit dan bingung. Ia tidak langsung bicara, tidak tahu apa yang ada di pikiran suaminya itu. Apakah Keenan marah? Apakah pria itu jijik padanya? Atau mungkin ini semua hanya khilaf? Namun, satu hal yang ia tahu, momen itu barusan memecahkan sesuatu di dalam dirinya—sesuatu yang tak pernah ia sadari begitu menginginkan kehadiran Keenan, kehangatan pria itu, suaminya. Tapi mengapa ia justru merasa begitu terbuang saat ini?
"Kenapa sih, Tuan Keenan selalu saja bersikap kasar seperti ini? Memangnya aku salah apa?" tanya Nadine, sembari meringis menahan sakit di bokongnya.
Keenan, yang kini telah berdiri, menatap Nadine dengan tajam. "Sudah jelas kamu salah. Jangan pernah melakukan hal seperti tadi lagi," ucapnya dingin tapi tegas, tanpa sedikit pun rasa iba. Ia membalikkan tubuhnya dan hendak meninggalkan Nadine.
Merasa tak terima disalahkan, Nadine memandangi Keenan, heran sekaligus bingung. "Memangnya salah ya, kalau suami istri melakukan hal itu? Apalagi kita ini pasangan yang sah. Orang yang berpacaran saja banyak kok yang berciuman, bahkan melakukan hal lebih dari itu," ujarnya, sambil mencoba memahami reaksi Keenan.
Pernyataan Nadine membuat Keenan tersentak. Dia memutar tubuhnya kembali, menunduk sedikit dan tatapannya langsung menusuk tajam ke arah Nadine. "Apakah kamu tipe orang yang berpacaran seperti itu? Atau ... jangan-jangan sebenarnya kamu sudah tidak perawan lagi?" ujarnya dengan nada penuh tuduhan. "Tampaknya wajahmu saja yang polos, tapi kamu sama saja dengan wanita nakal di luar sana." Kata-katanya begitu tajam, seolah menusuk relung hati Nadine yang terdalam.
Nadine terkejut, matanya terbelalak mendengar penghinaan yang baru saja keluar dari mulut suaminya sendiri. Kata-kata itu menghantam egonya, tetapi ia tak bisa tinggal diam. Meski tubuhnya masih gemetar karena rasa sakit, ia memaksa dirinya untuk bangkit. Kini, ia berdiri tegak dan membalas tatapan Keenan dengan penuh keteguhan. Jika Keenan mengira ia akan menyerah, itu salah besar. Seorang Nadine tidak akan membiarkan dirinya diperlakukan seperti itu tanpa perlawanan.
"Kamu jangan asal bicara! Aku bukan wanita seperti itu!" Nadine menatap Keenan lebih tajam, nadanya terdengar penuh tantangan. "Kalau kamu mau bukti, ayo kita lakukan sekarang!"
Mendengar hal itu, Keenan menelan ludah dengan berat, tak tak harus menjawab apa.
"Kenapa? Kamu takut 'kan, Tuan Keenan? Takut kalau aku benar? Takut kalau aku ini masih perawan?" Nadine melanjutkan, nada suaranya semakin memojokkan Keenan. "Kamu ini laki-laki atau bukan sih? Kalau tidak mencobanya, bagaimana kamu tahu kalau sebenarnya kamu bisa sembuh?" Nada geram dalam suaranya menusuk langsung ke jantung, membuat d**a Keenan bergemuruh.
Keenan mengepalkan kedua tangannya erat-erat, mencoba menahan emosi yang nyaris meluap.
Tetapi, Nadine seakan tak puas, terus menyerang. "Kenapa, Tuan? Belum melakukannya saja kamu sudah menyerah? Dasar laki-laki pengecut!"
Kata-kata itu seperti sebuah duri tajam yang menghujam, menusuk ego dan harga diri Keenan. Napasnya tersengal, perasaan marah dan tak terima mendominasi pikirannya. Nadine, wanita itu seolah sengaja menyalakan api yang dipaksa untuk ia endapkan.
Meski Keenan tahu ia harus menahan diri, ia tahu ini hanya perang kata yang tak perlu diikuti. Tetapi, harga dirinya, gengsinya sebagai laki-laki, dipermainkan seperti itu? Entah bagaimana, sebelum akal sehatnya sempat menahannya, Ia sudah meraih tengkuk Nadine dengan keras. Emosi yang menggelegak mengambil alih dan bibirnya menyambar bibir istrinya dengan kasar. Bukan karena cinta, tetapi karena dorongan emosi yang tak terkendali.
Nadine terhenyak, terombang-ambing antara keterkejutan dan rasa bahagia. Ucapannya tadi, entah bagaimana, berhasil menyentuh hati Keenan, membuat pria itu membalas ciumannya dengan lebih intens, lebih dalam. Dalam sekejap, mereka terhanyut dalam gelombang kehangatan itu, napas mereka memburu dan ada dorongan mendalam yang tak bisa diabaikan dalam d**a masing-masing.
Akan tetapi, semuanya berubah secepat angin berganti arah. Nadine bahkan belum sempat menenangkan pikiran ketika suaminya tiba-tiba menghentikan segalanya. Keenan menuntun istrinya itu hingga terbaring di atas kasur.
Jantung Nadine berdetak kencang, penuh harap yang tak tertahan. "Apakah ini saatnya? Akhirnya, aku dan dia ...." batinnya.
Namun, harapan Nadine terpotong oleh sikap Keenan yang berbalik 180°. "Apa-apaan ini?" Keenan memegangi kepalanya, suara napasnya berubah berat, kacau. Dia berteriak, keras dan penuh amarah, "Argh, b******k! Sudahlah! Kamu tidur saja! Jangan menggangguku lagi, atau kamu akan menyesal!" katanya tajam, suaranya seperti pisau yang menyayat harapan.
Setelah itu, Keenan segera melaju dengan kursi rodanya, meninggalkan kamar begitu saja, meninggalkan Nadine yang terdiam, penuh tanya dan kesal.
'"Kenapa? Kenapa seperti ini lagi? Padahal hampir berhasil." Nadine mengepalkan tangannya, menahan rasa marah bercampur kecewa. Padahal, semua tampak begitu baik, hampir sempurna. "Apa sebenarnya yang membuat kamu ragu, Keenan?" Hatinya terus bertanya-tanya, tetapi jawabannya selalu kabur, tak pernah muncul. Rencananya lagi-lagi berakhir gagal, meninggalkan luka yang lebih dalam.
***
"Ma, aku nggak mau tahu ya, kalau Mama sayang sama aku, pokoknya Mama harus minta uang lagi sama papa. Bukannya uang dari hasil pernikahan Nadine dan miliader itu banyak banget, ya? Tapi, masa iya sih Mama terima, papa cuma kasih kita 30 % saja. Aku itu butuh uang, Ma. Aku mau shopping, jalan sama teman-teman aku," ujar Bianca, kesal kepada ibunya.
"Ya ampun, Sayang ... kamu ini kenapa sih, boros sekali!" ucap Rossa sambil menghela napas panjang. "Uang yang papa kamu kasih untuk kita berdua, itu sudah lebih dari cukup. Sudah sesuai dengan perjanjian. Lagi pula, mana mungkin sih papa kamu ada uang lagi? 'Kan kamu juga tahu kalau uang itu untuk menyelamatkan perusahaannya. Bagaimana kalau perusahaan itu bangkrut? Kita juga yang akan kena imbasnya." Ia berharap Bianca, putri kecil kesayangannya, akan mengerti.
Namun, reaksi Bianca sungguh di luar dugaan. "Ya ampun, Ma, uang segitu di zaman sekarang nggak ada apa-apanya! Aku punya ide. Gimana kalau kita minta uang saja langsung dari Nadine?" ujarnya santai, tapi penuh keyakinan.
Mata Rossa menyipit. "Minta uang dari Nadine? Kamu pikir semudah itu?"
Bianca mendengus, seperti meremehkan ketidakpercayaan ibunya. "Dia pasti kasih, Ma. Asalkan Mama mau menjalankan rencanaku dengan baik," katanya sambil menyeringai kecil.
Kini, Rossa mengerutkan kening, merasa bingung sekaligus curiga. "Rencana apa? Maksud kamu apa, Sayang?"
Alih-alih langsung menjelaskan, Bianca justru mencondongkan tubuhnya mendekat. Dengan wajah yang penuh percaya diri, dia membisikkan sesuatu ke telinga ibunya.
Mendengar bisikkan itu, Rossa terpaku sejenak akan ide yang dilontarkan anaknya. Lalu, tanpa sadar bibirnya ikut tertarik membentuk senyuman kecil. Entah sejak kapan putrinya jadi secerdik, lebih tepatnya selicik itu. Rossa tahu seharusnya ia ragu, tetapi ... ia menyetujui usul Bianca sambil melirik putrinya itu dengan rasa bangga sekaligus was-was.
Bersambung …