BAB KE SEBELAS: NAMANYA TARAKA?

1080 Kata
"Ah, Sialan! Kenapa dia selalu dapet apa yang aku mau? Kenapa dia selalu dibela oleh semua orang?" ucap Zahra dengan frustasi. Melihat Runa dan Abel yang berjalan menjauh, Zahra hanya bisa melototi mereka dari jauh. Tidak bisa berbuat apapun kepada Runa saat ini. Jangankan ada Abel, bahkan tanpa ada lelaki itu pun, Zahra masih tidak bisa melakukannya. Ada banyak bodyguard bayangan di sekitar Runa. Benar-benar tidak bisa ditembus. Lelah, Zahra berpikir untuk kembali ke tenda yang disiapkan stasiun televisi untuknya. Baru sekarang Zahra merasakan bahwa angin dermaga benar-benar dingin untuknya. Dia juga baru ingat bahwa bajunya harus segera diganti. Meski tidak lagi basah karena terlalu lama terkena angin di kapal, tapi tetap saja akan membuat masuk angin. Jadi, Zahra berbalik dan berjalan ke arah berlawanan. Tenda itu yang digunakan oleh Runa dan Zahra secara bersamaan. Berdampingan dengan tenda yang disiapkan untuk Abel dan Juna. Meski mereka tidak bermalam, tapi tetap ada tenda untuk meletakkan barang bawaan. Seperti make up dan semacamnya. Lagi pula, suasana dermaga di malam hari tidak akan sesibuk siang. Akan ada reporter dan kameramen lain yang akan berjaga di sini. "Tapi bagaimana Runa bisa berkenalan dengan Pak Biru? Apakah ini karena dia bertugas di dermaga? Seharusnya aku yang tugas di sini. Jika enggak diganti, harusnya aku yang berkenalan dengan dia, kan?" gumam Zahra dengan dongkol. Zahra mulai menyesali keputusannya. Jika Runa tetap di tugaskan untuk ikut tim pencarian, pasti dia tidak akan bertemu dengan Biru. Setidaknya peluang untuk bertemu akan sangat kecil. Dan pertemuan hari ini akan menjadi miliknya. Ini benar-benar membuat Zahra merasa marah. Zahra sebenarnya ikut tim pencarian agar bisa mendekati tentara atau polisi yang sedang bertugas. Bukan hanya sebatas pada Raka dan Saka. Setidaknya akan ada perwira lain yang mungkin akan tertarik dengannya. Yang jabatannya sama dengan Saka dan Raka, atau malah lebih tinggi. Dengan ini, Zahra bisa mengangkat kepala kepada Runa. Namun, bukan dapat gebetan, Zahra malah terjatuh ke laut. Dan yang menolongnya hanya seorang tamtama. Jika para tentara itu mendengar pikiran Zahra, Zahra mungkin akan diamuk. Seolah-olah bahkan para prajurit itu akan menolehnya meskipun memiliki jabatan terendah sekalipun. Zahra masih fokus dengan pemikirannya hingga dia tidak berpikir tentang omongan Raka. Yang mungkin akan membuat Zahra tidak akan bisa menjadi bagian peliput berita di pencarian ini. Entah itu bandara, posko dermaga, atau mengikuti kapal tim pencarian. "Aduh! Kamu kalau jalan, matanya dipakai buat ngeliat. Jangan cuma pakai kaki aja!" Zahra melompat kaget ketika dia mendengar suara wanita memarahinya. Dan saat dia mengalihkan fokusnya, terlihat seorang wanita terduduk di tanah. Lalu ada wanita lain yang membantunya berdiri. "Kalian yang berdiri di jalanan," ucap Zahra tidak mau mengalah. Jangankan mengalah, dia tidak akan mengakui bahwa dirinya salah. Jika masih bisa berdebat, Zahra akan terus berdebat hingga mulutnya berbusa. "Ternyata seorang reporter bisa memiliki image seperti ini. Image elegan di televisi hanya tempelan belaka. Kamuflase sepertinya udah kayak bunglon," ejek Gina. Ya, yang ditabrak oleh Zahra sebenarnya adalah Fai. Mereka berdua baru saja keluar dari tenda, dan Zahra sudah menabrak Fai dengan keras. Bahkan posisi Zahra sedang berjalan santai, bukan sedang berlari untuk mengejar sesuatu. Itu tandanya memang Zahra sedang memikirkan sesuatu. Dan hal seperti ini memang sangat berbahaya. Bukan hanya karena ini adalah dermaga, tapi juga karena aktivitas di sekitar sini lebih sibuk dari pada biasanya. "Sudahlah. Ayo pergi, Gin. Katanya kamu mau coba lihat ke depan ada yang jualan makanan atau enggak. Dokter Yisma kan sedikit datang terlambat. Takutnya semakin malam semakin susah carinya. Aku takut kamu kelaparan," ucap Fai menenangkan Gina. Dia sebenarnya tidak ingin ribut sekarang. Lagi pula, Fai juga merasa dirinya salah. Sehingga perdebatan ini lebih baik untuk tidak dilanjutkan. "Ayo pergi. Tidak ada gunanya juga berdebat dengan orang tidak tahu malu," balas Gina. Zahra merasa dirinya akan meledak sekarang juga. Namun, meskipun dia sudah mengoceh, dua wanita tadi bahkan tidak menoleh sama sekali. Zahra malah melihat dua wanita itu mengobrol dan sesekali tertawa. Yang mana membuat Zahra semakin panas. Emosi di kepala benar-benar akan meledakkan otaknya. "Ah, b******k semua!" *** Fai terduduk di bangku yang berada di sekitar dermaga. Gina sedang pergi untuk mencari makanan. Rasa pusing yang tiba-tiba Fai rasakan membuatnya tidak bisa menemani Gina untuk terus berjalan ke depan. Jadi, Fai hanya bisa menunggu di sini sampai Gina kembali. "Mak, apakah Mamak kedinginan? Semua orang yang melakukan pencarian berkata bahwa pesawat yang Mamak tumpangi jatuh. Atau mungkin malah meledak di udara. Mak, apakah Mamak baik-baik saja di sana?" gumam Fai. Dia menatap ke arah lautan yang gelap, tidak ada cahaya sedikitpun yang menyorot. Hanya cahaya bulan yang tidak terlalu terang, yang bisa membuat Fai melihat gulungan demi gulungan ombak. "Fai rindu Mamak. Ini baru sehari dan Fai tidak bisa menahannya. Bagaimana Fai bisa melanjutkan hidup?" ucap Fai dengan terbata. Para anggota keluarga sebenarnya disarankan untuk kembali ke rumah dan datang lagi besok. Namun beberapa dari mereka benar-benar tidak bisa pulang. Selain rasa khawatir, mereka pasti tidak bisa menenangkan pikirannya. Seperti Fai, jika dia kembali ke tempat kosnya yang sempit, Fai mungkin tidak bisa mengontrol dirinya sendiri. Lagi pula, masih ada kenangan yang hangat di sana tentang Mamak. "Jangan menangis atau itu akan memberatkan." Fai mengangkat kepala ketika dia melihat sebuah sapu tangan terulur. Seorang tentara yang menggunakan pakaian tentara lengkap terlihat berdiri di sana. Jika ini adalah saat yang biasanya, Fai benar-benar akan mengagumi keindahan di depannya ini. Sayangnya, Fai tidak memiliki tenaga lebih untuk mengagumi. "Kita belum tahu tentang keberadaan pesawat, meskipun sudah ada tebakan tentang pesawat yang mungkin jatuh. Belum ada penemuan black box juga. Kamu masih bisa berdoa," ucap lelaki itu. Fai tidak bisa melihat nama yang terpasang di seragam lorengnya. Karena ada sebuah sarung yang dikalungkan di leher. Ini menutupi nametag yang terpasang. Meski Fai tidak berniat berkenalan, dia ingin tahu siapa lelaki ini. Yang akan menghiburnya ketika dalam keadaan terpuruk seperti ini. "Jika kamu muslim, jangan lupa untuk sholat isya. Ada masjid di sebelah sana," ucap lelaki itu. "Ka! Ayo!" Sebelum lelaki itu bisa melanjutkan ucapannya, ada tentara lain yang tiba-tiba memanggilnya. Fai tidak terlalu peduli dengan tentara yang baru saja tiba itu. Karena dia terfokus pada sapu tangan berwarna biru dongker. Dengan corak garis-garis yang saling memotong. Saat Fai mendongak, lelaki di depannya sudah tidak ada. Mungkin tadi dia pamit, tapi Fai tidak mendengarkannya. "Dia bernama Taraka?" gumam Fai penuh pertanyaan. Itulah nama yang Fai lihat di sapu tangan. Ya, ada sulaman di sapu tangan itu, tepatnya di bagian pojok bawah sebelah kanan. Sepertinya ini adalah nama dari lelaki itu. Taraka, nama yang cukup cantik dan unik. Dia lelaki yang baik juga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN