"Jangan takut! Mereka akan menangkapmu jika keberanianmu menciut. Jika nggak bisa, setidaknya kamu bisa berpura-pura!"
❣❣❣
Aku menekuk wajahku dengan kesal, emosiku masih belum juga surut. Rasanya apa yang dilakukan Die tadi sungguh adalah keputusan yang tergesa-gesa. Lagipula dia belum mendiskusikan soal itu padaku. Tsabit bahkan nyaris pingsan mendengar berita itu. Sorot matanya menunjukkan rasa terkhianati karena mengira aku telah merahasiakan soal itu darinya selama ini.
"Kamu masih marah Pol?" tanya Die dengan nada suara dan wajah nggak berdosa.
Sebal rasanya mendengar dia bicara begitu dengan suaraku. Aku jadi terkesan seperti lelaki b******k yang egois dan berhati dingin.
"Kamu serius berkata begitu padaku Die? Setelah apa yang kamu lakukan?" sindirku.
Die menghela napas ringan.
"Ayolah," katanya santai. "Situasi tadi mengharuskan aku melakukannya."
"Hah?" seruku kaget dengan sikapnya yang terlalu santai itu.
Die menggaruk pelipisnya saat tahu aku menatapnya dengan tajam.
Wajah yang terpatri di lensa mataku saat ini sungguh ingin aku tonjok seandainya itu bukan wajahku, tubuhku. Keadaan ini membuatku nyaris gila karena aku seperti sedang bicara di depan cermin dengan diriku sendiri. Walau tentu saja yang ada di depanku sudah jelas bukan aku. Dia adalah Die, gadis misterius yang selama ini mengusik rasa ingin tahuku.
"Apa kamu lupa? Manik mataku akan berubah sesuai dengan situasi, Pol. Satu bola mataku akan menjadi merah jika ada setan tingkat rendah yang nggak berbahaya di dekatku. Kedua bola mataku akan menjadi merah jika ada lebih dari satu setan di dekatku. Namun, akan menjadi sangat merah menyala jika setan yang aku temui berbahaya. Roh jahat misalkan," jelasnya dengan wajah serius.
"Selama ini nggak ada yang memperhatikan perubahan bola mataku, Pol. Aku juga nggak bergaul dengan siapapun. Jadi rasanya akan sangat aneh jika aku menutup kedua matamu tadi padahal kita nggak dalam hubungan yang cukup akrab untuk melakukan itu!" Die melanjutkan.
"Kamu mengerti maksudku kan?" tanyanya dengan sorot mata yang entah kenapa melemahkan aku. Rasanya, aku melihat pancaran mata Die dari mata yang aku miliki. Aku harap ini bukan pertanda bahwa kami akan terus bertukar tubuh seperti saat ini.
"Gosip akan menyebar, Die!" ucapku dengan lesu.
"Nggak apa-apa, Pol. Setelah semua kembali normal, kita bisa berpura-pura sudah putus. Kamu bisa kembali menjalani hidup lamamu, begitu pula aku!" kata Die meyakinkan aku.
"Kamu tahu itu nggak mudah, Die."
Die menatapku dengan ekspresi dingin yang selalu dipahat dengan wajahnya. Ekspresi itu bahkan tetap sama meski kini dia memakai wajahku untuk melakukannya.
"Baiklah," ucapku dengan pasrah. Terpaksa mengalah daripada dimakan bulat-bulat olehnya yang masih saja memiliki aura menekan yang tinggi.
Die tersenyum senang setelah mendengar jawaban dariku.
"Tapi, ada hal lain yang harus kamu lakukan lebih dulu jika nggak mau kita ketahuan sampai kita bertukar tubuh kembali, Pol!" katanya.
Dahiku mengernyit. Firasatku sedikit buruk jika menilai dari nada suara yang digunakannya.
"Apa itu?" tanyaku.
"Life," jawabnya.
"Heh?"
"Kamu belum bertemu dengannya bukan?" tanyanya.
Aku mengangguk mengiyakan.
"Life adalah kakak lelakiku yang selalu dingin dan nggak mudah dihadapi. Walau begitu, dia selalu peka terhadap setiap perubahan perilakuku. Apa kamu sanggup berpura-pura menjadi aku?" tanyanya dengan cemas.
"Aku hanya perlu nggak berinteraksi dengannya bukan?" tanyaku meremehkan soal ini.
Die tampak cemas. Bibirnya sedikit terbuka seolah ingin mengutarakan sesuatu yang sangat berat.
"Kamu harus berinteraksi dengannya, Pol!" katanya.
"Heh?"
"Hanya Life perlindunganmu dari mereka saat di rumah," katanya. "Tapi,"
Jantungku berdebar nggak karuan menatap Die yang sengaja menggantungkan kalimatnya.
"Tapi apa Die? Katakan padaku," desakku.
Die menelan ludah.
"Jika dia merasa kamu bukan aku, dia akan mengira kamu adalah setan yang berpura-pura dan,"
Argh. Aku nyaris frustrasi karena Die lagi-lagi menggantungkan kalimatnya.
"Dan apa Die? Katakan padaku!" pintaku lagi, nggak sabar untuk tahu kelanjutan dari ucapannya.
"Dia akan mengusirmu pergi!" jawab Die dengan lirih.
"Heh?"
Die mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Dia terlihat lebih frustrasi dan putus asa. Tiba-tiba dia bergerak, memegang tanganku dan menatapku dalam jarak yang sangat dekat.
"Di luar sangat berbahaya, Pol. Terlebih saat malam, sebelumnya aku bahkan bisa melihat banyak hantu beterbangan di langit!" katanya yang membuatku menelan ludah sekali lagi.
"Lalu aku harus bagaimana Die?" tanyaku mulai merasa ketakutan.
"Intinya, kamu harus berhati-hati, Pol! Jangan sampai kamu melakukan sesuatu yang membuat Life meragukan identitasmu!" pesannya.
"Kamu mengerti?" tanya Die.
Aku mengangguk mengiyakan.
"Jika ada apa-apa, hubungi aku! Aku akan segera datang mencarimu!" katanya.
Aku mengangguk.
Setelahnya, Die mengantarku pulang ke rumahnya. Saat hendak melepasku untuk masuk ke dalam rumah, Die tampak ragu dan khawatir. Jadi, aku berikan dia pelukan untuk sekadar menenangkannya. Awalnya aku memang takut tetapi melihat Die se takut itu, aku merasa harus melindunginya. Walau tentu saja, tanpa ditanya aku sangat takut sekarang.
"Jangan khawatir!" ucapku sambil menepuk-nepuk ringan pundaknya.
"Tolong, Pol! Jangan sampai ketahuan!" mohonnya sambil meremas baju seragamku.
Aku mengangguk pasti.
"Nggak akan," janjiku.
Aku pun melepaskan pelukan Die lalu mendorong ringan tubuhnya, memintanya pergi. Aku bahkan sengaja melambaikan tangan. Die tampak belum mau pergi tetapi aku tetap memberikan isyarat padanya agar mau pulang. Die menyerah, pasrah. Dia pun pulang. Setelahnya, aku mulai masuk ke dalam rumahku. Rasanya, ini bukan hanya soal bagaimana tubuh kami ditukar tetapi bagaimana kami bisa bertahan hidup sampai kembali normal.
Aku baru akan meletakkan sepatuku di rak sepatu ketika menyadari seorang lelaki sedang berdiri menatapku.
Aku meletakkan sepatuku lalu memandang lelaki yang sedang berdiri di depanku. Ekspresinya sedingin es batu tetapi sorot matanya sangat tajam. Terlebih dengan mata sipit yang runcing di ujungnya itu, tentu saja sangat menakutkan dipelototi olehnya.
"Siapa itu Die?" tanyanya.
Aku hanya diam, mengamatinya. Selain untuk memastikan apakah dia manusia atau setan, aku juga belum tahu harus merespon bagaimana.
"Kamu punya pacar?" tanyanya yang aku balas dengan ekspresi dingin pula.
Aku merasa urat-urat di wajahku menegang dan membeku. Sudut mataku menyipit dan penglihatanku jadi sedikit dengan memasang ekspresi begini. Rasanya, Die terlalu hebat untuk terus memasang tampang dingin begini.
"Life?" panggilku ragu.
Dahi lelaki itu mengernyit. Tatapannya semakin menukik hingga membuat dadaku sakit seolah ditendang.
Apa aku salah memanggilnya? Apa Die biasa memanggilnya dengan abang? Kakak? Mas? Ah, bagaimana ini?
"Makanan sudah siap," katanya lalu berbalik.
"Ganti bajumu lalu makanlah!"
Aku hanya diam, menatap punggung lelaki itu. Saat aku akan memulai langkah pertamaku, lelaki itu menoleh ke belakang membuatku mengurungkan niatku untuk maju.
"Aku suka gaya rambutmu hari ini," katanya.
Aku terdiam. Berpikir sejenak lalu sedikit tergagap saat ingat bahwa hari ini aku hanya mengikat satu rambutku. Nggak ada waktu dan memang nggak pernah tahu untuk menata rambut jadi aku hanya mengikatnya satu dengan tali rambut yang nggak sengaja aku temukan di jalan.
Lelaki yang entah benar adalah Life atau bukan itu kemudian berjalan, menyusuri lorong dan masuk ke kamar dimana aku tahu itu adalah kamar Life. Jadi, benar dugaanku. Lelaki itu adalah Life, kakak Die.
Aku nggak ketahuan bukan?
Aku pun segera masuk ke dalam kamar, mengganti bajuku dengan baju biasa. Sebuah kaos hijau dan rok pendek di bawah lutut menjadi pilihanku. Kali ini, aku menggerai rambutku. Aku rasa jika Life menganggap gaya rambutku yang berganti sudah aneh, aku harus bertindak lebih aneh lagi agar dia nggak curiga.
Aku keluar kamar dan agak kaget saat mendapati Life sudah berdiri di depan pintu kamarku. Ekspresinya sama sekali nggak berubah, beku dan aku terlalu bersemangat untuk berkompetisi dengannya. Ekspresi beku yang secara alami terlukis di wajah Die ini telah menyelamatkan aku untuk setidaknya menyamakan level dingin dengan Life.
"Kamu mengganti model rambutmu lagi," nilainya.
Aku hanya diam, mencoba menetralkan detak jantungku yang berpacu ngawur. Jantungku seakan ingin berontak keluar dari tempatnya lalu kabur.
"Siapa namanya?" tanya Life lagi tanpa menunggu jawaban atas pertanyaan pertama yang diajukannya.
"Kamu bisu?" tudingnya karena aku nggak menjawab.
Pori-poriku seakan berkhianat. Keringat dingin sudah menetes dan terasa merembes turun dari pelipis dan keningku.
"Kenapa? Apa kamu melihat sesuatu hingga kamu berkeringat?" tanya Life.
Aku masih diam, bibirku entah kenapa nggak mau terbuka. Rasanya ada lem besar yang menempel sehingga menjaganya tetap rapat dan tertutup sempurna.
"Apapun yang kamu lihat, jangan takut! Mereka akan menangkapmu jika keberanianmu menciut. Jika nggak bisa, setidaknya kamu harus Berpura-pura berani menghadapinya!" nasehat Life.
Aku menegakkan punggungku lalu berjalan menuju Life. Saat sudah berada di depannya, aku mendongakkan kepalaku sedikit untuk bisa menatap langsung wajahnya. Dia lebih tinggi dari Die sehingga perlu usaha jika ingin mata kami bertemu dalam jarak dekat.
"Aku takut padamu," ucapku yang membuat jeda panjang di antara kami.
Life memiringkan sedikit kepalanya, menatapku lekat dengan ekor matanya yang tajam. Sudut bibirnya terangkat sedikit, mungkin dia berniat untuk tersenyum walau yang muncul malah seringai menakutkan.
"Itu sudah seharusnya," katanya lalu berbalik membelakangiku.
"Makanlah!" suruhnya.
"Jika kamu ingin berpacaran, sebaiknya kamu hentikan saja. Kamu akan membuatnya mati jika terus memaksakan diri," ucapnya yang membuat bibirku yang tertutup mendadak menganga.
Life melirik ke arahku, dari posisi kepala menyamping bisa aku lihat seringai penuh misterinya.
"Atau, dia yang akan membuatmu mati. Dengar Die, Jangan bermimpi terlalu tinggi. Kehidupan normal terlalu mahal untuk kamu miliki," lanjutnya.
Aku mematung beberapa saat, tanganku terkepal marah. Walau begitu, aku tetap pergi ke ruang makan agar Life nggak curiga. Aku menyantap semua makanan yang disajikan olehnya walau sama sekali nggak bisa menikmatinya.
Apa maksud ucapan Life barusan? Mengapa dia bicara begitu?
Sungguh, dia kakak terburuk yang pernah aku jumpai. Lagipula, mengapa aku harus mati hanya karena ini? Menyebalkan.