"Jangan bermain-main karena saat kamu ketahuan, mereka akan terus berdatangan."
❣❣❣
Saat aku membuka mata, jam pelajaran sudah usai. Sebagian siswa sudah nggak ada di dalam kelas. Sedangkan sebagian yang lain terlihat sibuk dengan urusannya masing-masing. Sepertinya saat ini tengah jam istirahat. Aku melirik bangkuku, kosong. Die nggak ada di sini.
Kemana dia?
Tak ingin menebak-nebak, aku memutuskan untuk mencari Die. Aku keluar kelas, menyusuri lorong kelas saat jam istirahat terlebih dengan tubuh orang lain ternyata nggak gampang. Beberapa kali, aku nyaris menyapa beberapa teman yang aku kenal. Untungnya, aku segera menyadari bahwa saat ini aku berada di tubuh Die. Jadi, nggak terjadi hal bisa membuatku dicurigai. Lagipula, apa-apaan dengan rok ini? Aku harus menutupi bagian belakangku setiap kali naik tangga atau ada angin berhembus. Menyusahkan!
Pencarianku pada Die berakhir di kantin saat sepanjang kelas 12, aku nggak bisa menemukan keberadaannya. Jika dia sedang berpura-pura menjadi aku maka tempat pertama yang akan dikunjunginya adalah kantin.
Tsabit selalu mengajakku ke kantin, lebih tepatnya memaksaku untuk menemaninya makan. Pemuda itu nggak bisa makan sendirian, imbasnya dia selalu mentraktirku makan saat di sekolah. Ya, dia anak tunggal yang suka ditinggal pergi kedua orangtuanya sehingga mencari perhatian dari orang lain. Untungnya, dia menganggapku sebagai sahabat, bukan korban yang harus dibengkokkan ( homo ).
Aku menggaruk pelipisku saat nggak menemui Die di kantin. Tsabit juga nggak kelihatan, sepertinya mereka nggak lagi di kantin. Aku menghela napas saat menangkap beberapa tatapan tajam dan kurang menyenangkan dari banyak mata. Ya, Die memang nggak pernah ke kantin. Jadi wajar saja jika keberadaanku di sini menjadi sesuatu yang asing dan mengundang pertanyaan.
Aku berbalik pergi, menghindari kemungkinan untuk menjadi topik terhangat. Die pasti akan marah jika aku menghancurkan imagenya. Bisa gawat jika dia balas dendam dan membuat tindakan yang aneh-aneh dengan tubuhku. Aku nggak mau itu terjadi, membayangkannya saja sudah mengerikan. Walau lebih mengerikan melihat setan-setan di rumah Die.
Shit. Aku nyaris mengumpat ketika tiba-tiba perutku terasa mulas. Aku ingin buang hajat. Oke, ini memang tubuh Die, tetapi soal urusan alam, baik menjadi perempuan atau lelaki, itu tetap menjadi sesuatu yang harus diselesaikan secepat mungkin. Aku pun berlari menuju ke toilet perempuan. Rasanya sempat ragu saat akan masuk, tetapi sekali lagi ini mendesak.
Aku memasuki salah satu kamar mandi yang pintunya terbuka. Toilet perempuan di sekolahku terdiri dari tiga bilik. Di dekat pintu masuk toilet, terdapat cermin besar dan juga tempat mencuci tangan. Sepertinya, di sanalah kebanyakan para gadis di sekolahku berdandan atau sekadar ngaca.
Aku keluar setelah urusan alamku selesai. Aku memang sudah lima belas tahun menjadi lelaki tetapi menjadi perempuan nggak buruk juga. Walau lebih ribet saat melakukan urusan alam.
Aku berjalan menuju kaca besar yang berada di dekat pintu. Aku putar krannya, hendak mencuci tanganku. Di sebelahku terdapat seorang gadis yang wajahnya tertutup sebagian rambutnya yang panjang. Bibirnya tampak putih pucat. Dia terus menatap cermin tanpa melakukan apa-apa. Aku yang berada di dekatnya berpura-pura nggak memperhatikannya. Walau ekor mataku meliriknya dengan diam-diam.
Mungkin untuk beberapa detik, dia tahu aku meliriknya. Jadi, aku segera membuang muka dan berjalan keluar dari toilet dengan langkah tergesa. Namun entah bagaimana, tanpa harus punya mata di belakang kepala. aku bisa merasakan bahwa gadis tadi mengikutiku. Bahkan suara langkah kakinya yang diseret terdengar jelas olehku.
Aku mempercepat langkahku, bahkan setengah berlari. Aku tak tahu mengapa aku bereaksi begini tetapi instingku mengatakan bahwa aku harus melarikan diri darinya saat ini.
Aku berbelok dan nyaris berteriak saat tanganku ditangkap masuk ke dalam lab. Die meletakkan jari telunjuknya di bibirku begitu mata kami bertatapan. Aku hanya diam menuruti aba-abanya, bahkan aku nggak bernapas untuk beberapa saat.
Die melepaskan genggaman tangannyan di tanganku setelah merasa aman. Entah dari siapa. Apa mungkin dari gadis barusan? Ah, entahlah.
Die tiba-tiba memelototi aku, marah.
"Pol!" panggilnya dengan nada suara menyiratkan kekecewaan.
"Kenapa?" tanyaku merasa bingung dengan nada suara dan ekspresi wajahnya saat ini. Maksudku, ini salahnya bukan karena sudah menghilang begitu saja dan membuatku mencarinya?
"Kamu dikejar seorang gadis yang ngaca di toilet?" tanya Die.
Aku mengangguk.
"Kok tahu?" tanyaku dengan polosnya.
Die menyipitkan matanya.
"Gadis itu hantu, Pol," jawabnya yang seketika membuat bulu kudukku berdiri.
"Heh? Tapi dia terlihat normal!" kataku sedikit nggak percaya.
"Apa kamu sudah memeriksa wajahnya yang ditutupi?" tanya Die.
"Eh?"
"Mungkin terdengar konyol, tetapi dia tewas karena terpeleset dan kepalanya membentur tembok. Wajah bagian kirinya rusak karena sebagian kepalanya hancur," jelas Die.
"Aku sudah sering melihatnya jika ke toilet selama ini. Dia sering memintaku untuk menemaninya di sana ( untuk mati ). Jadi saat aku melihatmu ke toilet aku mengikutimu. Karena aku yakin kamu pasti akan dikejarnya!" Die melanjutkan.
"Lantas, mulai sekarang kalau aku kebelet gimana?" tanyaku.
"Tahan, bahkan meski kantung kemihku harus hancur, aku rela!" jawab Die yang membuat bulu kudukku berdiri lagi. Jawaban darinya sungguh terdengar sangat horror.
"Ingat Pol, jangan bermain-main dengan ini. Karena jika kamu ketahuan, mereka akan berdatangan untuk meminta bantuan!" ujar Die dengan wajah serius.
Aku menelan ludah pahit. Entah kenapa rasanya menjadi Die sangat berat dibanding harus mengikuti lomba tingkat Nasional.
"Oh ya, kamu kemana tadi kok nggak ada di kelas? Aku cari ke kantin juga nggak ada," tanyaku penasaran.
"Tadi aku diajak Tsabit ke ruang guru," jawabnya santai.
"Untuk apa?" tanyaku.
"Mereka membicarakan soal lomba dan entahlah, aku nggak begitu memperhatikan," jawabnya dengan nada acuh tak acuh.
Beberapa saat aku terdiam lalu berteriak histeris.
"Ya ampun, Die!" pekikku.
"Kenapa?" tanya Die keheranan.
"Beberapa hari lagi aku akan mengikuti lomba olimpiade," jawabku.
"Hah?"
Aku mencengkram kuat lengan Die, bahkan menatapnya lekat meski harus menatap diriku sendiri.
"Bahkan meski kamu harus mati, kamu harus belajar dan memenangkan lomba itu," tegasku.
Dahi Die mengernyit.
"Tapi, kamu tahu kan? Aku nggak pandai di pelajaran," ucapnya santai.
Kakiku seketika melemas. Aku terkulai lemas dengan punggung bersandar ke tembok dan mata yang menerawang jauh.
Selamat tinggal pialaku.
"Jangan patah semangat begitu, kamu bisa mengajariku mulai hari ini. Masih ada waktu bukan?" usul Die.
Aku hanya mendesah kasar.
"Bagaimana bisa kamu bicara begitu santai? Kamu Pol, si juara olimpiade selama dua tahun berturut-turut. Lomba besok menentukan apakah aku bisa dapat rekomendasi untuk masuk ke kampus yang aku mau atau nggak dan sialnya, aku malah terjebak di tubuhmu," ratapku dengan sedih.
"Kenapa? Aku cantik dan menarik. Apa kamu nggak lihat betapa aduhainya tubuhku?" katanya.
Aku meringis.
"Heh? Kamu belum melihat tubuhku?" tanyanya merasa heran.
Bagaimana bisa aku lihat tubuhnya saat para setan selalu bergelayutan manja di depanku? Aku bahkan nggak tahu lagi, mana yang setan mana yang manusia.
"Kalau kamu?" tanyaku.
Die tersenyum tipis.
"Sudah aku periksa semuanya. Selamat, kamu sehat," jawabnya enteng.
"Hentai ( p***o )," desisku.
Die tergelak pelan. Anehnya, aku merasa agak gimana gitu melihat dia tersenyum. Soalnya bagaimanapun yang aku lihat adalah potret diriku sendiri.
"Jadi, apa rencanamu?" tanya Die.
"Soal apa?" tanyaku balik.
"Menyerah untuk dapat rekomendasi atau kamu mau mengajariku?" jawabnya memberikan pilihan yang nggak mudah untuk dipilih.
"Apa nggak ada cara yang membuat tubuh kita bertukar lebih cepat?" tanyaku putus asa.
Die menggeleng pelan.
"Nggak ada," jawabnya. "Maaf!"
Aku menghela napas lalu berdiri, mencoba sabar dengan kenyataan yang memang selalu pahit.
"Baiklah. Aku rasa mengajarimu lebih baik daripada harus menyerah tanpa berjuang dulu!"
Die menepuk pundakku, memberikan dukungan.
"Bagus. Aku juga akan berusaha agar kamu diterima," janjinya.
Aku hanya mengangguk walau nggak ingin berharap banyak pada Die, gadis yang mendapat peringkat terakhir di sekolah. Setelah itu, kami pun keluar dari lab.
"Berjalan cukup jauh dariku, aku nggak mau timbul gosip yang nggak-nggak," kataku memperingatkan Die.
"Ya, aku pun juga nggak mau terlihat denganmu," ujar Die.
"Ya sudah."
Aku mulai berjalan setelah membiarkan Die jalan lebih dulu. Ada jarak beberapa meter di antara kami.
"Pol!"
Suara panggilan dari Tsabit yang berada di depan kami membuatku bereaksi.
"Hai, Bit!"
Tsabit melongo, Die menoleh ke arahku dengan melotot sedangkan aku hanya berpura-pura bicara sendiri.
"Hei, dia bersuara tadi!" bisik Tsabit pada Die.
Aku melewati mereka berdua dimana Tsabit merangkulkan lengannya ke pundak Die. Rasanya aku harus berhati-hati setelah ini. Aku berjalan cepat untuk segera pergi dari sana.
Tolong aku!
Aku membeku, nyaris menoleh ketika tiba-tiba mataku ditutup oleh kedua tangan dari belakang.
"Jangan menatapnya, Pol. Dia akan membunuhmu begitu kamu melihatnya," bisik Die.
Die pun menuntun aku untuk berjalan menjauh. Setelahnya Die melepas tangannya yang menutup tanganku. Aku menganga, masih ada Tsabit di dekatnya.
"Bit," panggil Die.
"Ya?" sahut Tsabit yang masih shock dengan apa yang dilihatnya.
"Kami pacaran," kata Die.
"Hah?"
Mata Tsabit seakan mau keluar mendengar pernyataan itu. Sedangkan aku nyaris menendang diriku saat Die berkata begitu.
Apa-apaan dia itu?