"Mereka ada, bahkan meski kamu menolak untuk percaya."
❣❣❣
Jam setengah enam pagi aku sudah berada di sekolah. Aku memakai pakaian yang sama, seragam sekolah. Aku belum menggantinya sejak kemarin. Hanya sempat berganti sepatu dengan sandal dan kini sudah memakai sepatu yang sama lagi. Sepatu yang aku ambil penuh perjuangan karena harus menahan mual karena melihat seorang anak kecil menggorok lehernya sendiri di depan pintu dimana rak sepatu diletakkan di dekatnya. Aku mengutuk siapapun yang meletakkan rak itu di sana.
Sepertinya semakin lama menjadi Die, kewarasanku menjadi sesuatu yang harus dipertanyakan. Walau jiwaku tetap Pol, tetapi mengalami serangkaian peristiwa aneh yang nggak pernah aku alami sebelumnya sungguh memberikan tekanan yang dahsyat pada batinku. Aku seakan kehilangan tempat untuk bisa bernapas.
Bagaimana Die bisa hidup selama tujuh belas tahun dengan semua makhluk-makhluk itu? Dia sungguh mengagumkan.
Aku merebahkan kepalaku di bangku, kepalaku sakit. Bagian belakang kepalaku bahkan terasa kaku dan berat. Aku juga merasa nggak nyaman karena badanku lengket-lengket, belum mandi.
Tadi aku sudah berniat mandi. Sayangnya batal terlaksana karena aku melihat seorang lelaki dengan pisau di kamar mandi sedang mengiris pergelangan tangannya lalu menikam perutnya berkali-kali hingga ususnya terjulur keluar. Dia melakukannya terus-menerus dengan mulut tersenyum lebar. Aku yang melihatnya begitu jadi ingin muntah. Lagipula siapa yang mau mandi dengan hantu lelaki di kamar mandinya? Bagaimanapun aku ini adalah seorang perempuan sekarang. Aku harus melindungi tubuh Die seperti tubuhku sendiri.
"Ah," seruku sambil memegangi perutku yang terasa mulas.
Entah ini karena lapar atau butuh ke kamar mandi. Aku nggak bisa membedakan rasa mulasnya. Semua ini terlalu membebaniku. Berulang kali aku juga menguap bahkan sampai mengeluarkan airmata, ngantuk berat. Aku ingin tidur.
Suara ketukan membuat mataku yang nyaris tertutup mulai terbuka. Aku memasang telingaku baik-baik, mencoba untuk mempertajam indera pendengaranku.
Beberapa saat, nggak ada suara apapun yang terdengar. Mungkin hanya perasaanku, aku mencoba meyakinkan hatiku. Aku memejamkan mataku lagi, hendak tidur. Namun suara ketukan itu terdengar lagi. Kali ini aku mencoba mengabaikannya.
Suara ketukannya sekarang menjadi lebih keras dan terdengar lebih dari sekali. Aku tetap memejamkan mata walau jantungku berdegup lebih kencang dari sebelumnya. Aku tetap bertahan dalam hening walau kemudian menjadi penasaran. Aku membuka mataku perlahan dan tertegun saat melihat seseorang duduk di bangkuku dengan punggung yang membelakangiku.
Aku melihatnya mengetuk meja dengan tangan yang penuh darah. Aku pun segera menutup mataku lagi. Rasanya aku harus pergi dari sini sebelum dia tahu kalau aku menyadari keberadaannya. Tapi bagaimana caranya aku pergi?
Kepalanya memutar cepat dan untungnya aku telah sigap dengan menutup mata, pura-pura tidur. Semoga dia segera pergi atau setidaknya akan ada murid yang datang dan memberiku cukup waktu untuk melarikan diri dari sini.
Suara ketukan masih terdengar bahkan semakin banyak dan keras. Aku tetap memejamkan mata seraya berdoa kalau dia akan segera pergi.
Bertahanlah, Pol.
Aku bangun seketika dan langsung lari dari sana tapi dia sudah berada di depanku. Dia mengenakan seragam sekolah dengan lidah terjulur, mata melotot dan leher yang terikat tali. Walau bukan paranormal, menurutku dia seperti korban bunuh diri atau korban pembunuhan yang digantung sampai mati.
Dia mendekat, membuatku berjalan mundur. Aku mulai menjerit tanpa suara saat dia mulai menunjukkan wajah beringas seolah dia adalah Setan bengis yang siap menelan jiwaku hingga habis.
Suaraku terkikis, dia seolah mengendapkan ruangan kelasku. Dengan tangan beku yang terasa sangat dingin dia menyentuh pundakku lalu berbisik,"Tolong aku". Setelahnya, aku mendengar ucapannya yang tenggelam dalam otakku seolah sengaja ditanamkan agar nggak bisa dilupakan dengan mudah.
"Pol!"
Panggilan itu membuat Setan itu menghilang tanpa bekas dalam sekejap.
Aku segera menghela napas lega saat melihat Die berlari mendekatiku. Dia memapahku dan membawaku duduk di bangku. Dikeluarkannya tisu dari saku seragamnya untuk membersihkan mukaku yang berkeringat dan penuh dengan air mata. Sungguh, aku sangat takut.
"Kamu baik-baik saja, Pol?" tanya Die merasa khawatir.
Aku tatap dia. Rasanya ini pertama kalinya aku melihat bagaimana pantulan wajahku tanpa harus menggunakan kaca. Terlebih, aku baru tahu wajahku sendiri saat merasa cemas seperti apa.
"Jadi begini," gumamku.
"Apanya?" tanya Die heran.
"Wajahku saat merasa cemas," jawabku.
Die memukul pelan bahuku.
"Kamu ini, masih bisa bercanda huh?" deliknya sebal.
Aku hanya tersenyum tipis sembari mencoba menghilangkan rasa takut yang masih bergelayut di hatiku.
"Kenapa kamu datang ke sekolah pagi-pagi? Apa kamu nggak menunggu Life datang dulu?" tanya Die.
Aku menggeleng.
"Aku terlalu takut di sana, ada banyak Setan berkeliaran," jawabku.
Die mengerutkan dahi.
"Setan? Di rumahku?" tanyanya heran.
"Ya, ada banyak Setan di sana dan membuatku takut sepanjang malam. Jadi, aku putuskan ke sekolah walau masih melihatnya di bangkumu tadi," jelasku.
Dahi Die masih berkerut seolah merasa asing dengan apa yang aku katakan.
"Pol, ada berapa Setan yang kamu lihat?" tanyanya dengan nada serius.
"Banyak," jawabku.
"Di rumahku?" imbuhnya dengan nada suara ragu.
"Ya," kataku lalu mulai berpikir keras untuk mengingat.
"Wanita di sofa ruang tamu, wanita di depan kamar, anak kecil, nenek di dapur dan lelaki di kamar mandi. Sekitar 5 Setan. Walau aku banyak melihat buntalan putih di kamarmu, Pocong maksudku," jawabku panjang-lebar.
"Apa kamu membuka gorden kamarku atau melihat pohon beringin di depan rumah?" tanyanya.
Aku mengangguk.
Die menepuk ringan jidatnya.
"Dengar, Pol! Mulai sekarang jangan pernah membuka jendela kamarku, jangan pernah! Pun ketika kamu pulang atau berangkat, jangan melihat ke pohon beringin itu. Jangan lupa tidur di salah satu sisi kasur. Jika itu terjadi, segera pindah ke kamar Life. Katakan padanya, kalau 'mereka' datang!"
"Life tahu bahwa kamu bisa melihatnya?" tanyaku cukup shock.
Die mengangguk. Jika dipikir lagi, itu wajar. Mereka adalah keluarga.
"Butuh waktu bertahun-tahun meyakinkan dia bahwa aku nggak sekadar mencari perhatian dengan mengatakan apa yang nggak bisa dilihat olehnya," curhat Die.
"Kamu tahu, mereka ada bahkan meski kamu menolak untuk percaya, Pol," ucapnya dengan sendu.
"Aku percaya padamu, Die," kataku.
"Karena kamu melihatnya sendiri?" sahut Die dan aku mengangguk mengiyakan, nggak menyangkal sama sekali.
"Oh ya, kamu bilang ada Setan di bangkuku, tapi bukankah secara normal ini adalah bangkumu?" tanya Die sambil menunjuk ke bangku di mana biasanya aku duduk.
"Ah," kataku baru sadar.
"Jadi selama ini ada Setan yang duduk di bangkuku? Apa itu yang penyebab mengapa aku suka merasa berat dan dingin di tengkukku?" tanyaku.
Die menggeleng.
"Bukan" sanggahnya. "Aku baru tahu ada Setab semacam itu di bangkumu hari ini."
Dahiku mengenyit.
"Jadi, dia baru?" tanyaku.
Die tampak bingung.
"Mungkin saja," katanya. "Lantas apa dia mengatakan sesuatu?" tanya Die.
Aku mengangguk mengiyakan.
"Apa itu?" tanya Die lagi.
"Dia ingin aku menolongnya," jawabku.
"Abaikan saja, Pol! Jangan terlibat dengan urusan mereka," saran Die.
"Tapi Die, dia hanya ingin aku-."
"Jangan membantah, Pol. Itu tubuhku, jika Setan itu mencoba mengambil alih tubuhku, bagaimana nasib kita? Jangan menjadi pahlawan, mereka bukan manusia," potong Die cepat.
Aku mendesah kecewa.
"Aku bukannya nggak peduli, Pol. Tapi jika terlibat dengan urusan satu Setan, maka Setan-Setan yang lain akan datang dan meminta bantuanku. Aku nggak mau itu terjadi. Terlebih, kamu yang harus menanggung semua itu sekarang. Kamu tahu kan, betapa mengerikannya saat mereka mendatangimu?"
Aku menelan ludah, teringat lagi akan peristiwa menyeramkan tadi malam. Aku benar-benar merasa ketakutan dan putus asa. Kini, aku jadi merindukan saat-saat dimana aku nggak bisa melihat mereka. Ternyata benar apa yang dikatakan orang, bahwa ketidaktahuan adalah kebahagiaan.
"Dengar, Pol!" kata Die menekankan. "Mari jangan terlibat apapun selama kamu di tubuhku. Aku nggak mau terjebak dalam tubuhmu selamanya, kamu paham?"
Aku mengangguk mengiyakan.
"Satu lagi, jangan terlalu akrab padaku dan ingat, kamu adalah Die. Kendalikan dirimu saat teman-teman yang biasa kamu ajak bicara kini akan bicara kepadaku. Kamu mengerti?" katanya mengingatkan aku sekali lagi.
Aku mengangguk lagi.
"Bagus," puji Die.
"Sekarang tidurlah! Ini saat yang tepat untukmu tertidur. Lagipula kamu harusnya sudah paham kapan aku harus tidur bukan? Kamu mengamatiku selama ini," katanya setengah menyindirku.
"Tapi kamu biasanya tidur setelah jam pertama," tukasku.
Die tersenyum. Ini pertama kalinya aku melihatnya tersenyum. Sayangnya, dia tersenyum dengan wajahku dan itu sedikit membuatku jijik karena melihat wajahku tersenyum manis pada diriku sendiri.
"Aku akan tidur lebih awal," kataku lalu merebahkan tubuhku di meja.
Perlahan aku mulai mengantuk, mataku terpejam dan hal terakhir yang aku ingat adalah panggilan dari Tsabit.
Sorry, Bit. Untuk sementara, yang mendengar ocehanmu, bukan aku lagi.