Empat

1256 Kata
"Jangan tidur di salah satu sisi kasur, kamu akan menyesal jika melanggar!" ❣❣❣ Waktu terasa berjalan lambat sementara jantungku berdetak dengan cepat. Tubuhku berkeringat dan nyaris berkali-kali menjerit tetapi nggak sanggup dilakukan. Aku merasa takut tanpa alasan yang lugas. Die bilang kakaknya lelaki, lantas siapa perempuan yang aku lihat dan mengajakku menonton bersama itu? Berkali-kali aku menanyakan pertanyaan itu tetapi tak ada jawaban yang pasti. Aku hanya bisa berasumsi dan menggigil ketakutan sendiri dalam sunyi. Panggilan, suara dan juga ketukan pintu telah menghilang sejak tadi. Aku nggak tahu kapan pastinya semua itu berhenti. Aku hanya bisa bersyukur karena semua telah berakhir. Namun, aku masih belum berani membuka selimut yang aku kenakan untuk menutupi diriku. Bahkan mengintip pun, aku tidak sudi. Aku sempat ingin keluar saat mendengar suara mobil berhenti di depan rumah. Siapa tahu, itu Life, kakak Die. Namun batal dilakukan saat mulai mendengar langkah kaki yang menurutku nggak biasa di depan kamarku seolah ada seseorang yang berjalan bolak-balik di depan kamar. Aku terlalu penakut untuk mencari tahu. Walau itu bukan seperti sikapku yang awalnya selalu ingin tahu segala hal. Aku terus bertahan dalam kegelapan malam. Bahkan aku mulai mencintai keheningan dan berharap akan hening selamanya. Namun, napasku mulai nggak beraturan saat mulai merasakannya. Ada sesuatu yang tengah berbaring di sisi ranjangku yang lain. Aku mencoba merapatkan mulutku, berupaya untuk tetap diam. Aku nggak mau berakhir konyol dengan menganggap hal itu hanya sekadar perasaanku lalu kena serangan jantung dan mati setelah melihat 'sesuatu' itu. Aku berusaha keras untuk nggak gemetar, pun ketika sesuatu itu mulai mengeluarkan suara napas yang berat. Aku tetap mencoba sekuat tenaga untuk nggak melakukan gerakan apapun. Bahkan, aku ingin menahan napas seandainya itu bisa membuatnya pergi. Namun, aku nggak mau menarik perhatian. Aku harap, dia tetap di sana. Jangan mendekat padaku! Aku merapatkan mataku yang terpejam. Dahiku sangat merasakan kerutan yang aku buat saat tiba-tiba sesuatu itu mulai berguling mendekat ke arahku. Rasanya hidungku mulai mencium bau aneh seiring rasa dingin yang mulai terasa di kaki dan tanganku. Aku terpaksa menggigit lidahku agar nggak menjerit saat sesuatu itu sudah sangat dekat denganku. Aku bisa merasakan desahan napasnya di tengkukku. Daun telingaku juga membeku seiring tiupan aneh yang berhembus secara nggak biasa. Ini aneh, karena aku berada di dalam selimutku yang hangat dan menyumbang banyak untuk produksi keringat. Kamu hebat, Pol. Begitu aku mencoba memuji diriku, berupaya menghibur diri sendiri di tengah rasa takut dan galau yang bercampur menjadi satu. Kemudian, semua menjadi semakin menyeramkan ketika aku mulai merasakan kasur yang sedang aku tiduri bergetar. Semakin lama getarannya semakin kuat dan membuat kasurku bergoyang seolah ada seseorang yang tengah meloncat-loncat di atas kasur. Keringatku telah banjir, bahkan aku bisa merasakannya meluncur dari punggungku. Yang aku pikirkan saat ini hanya satu hal, semoga sesuatu itu nggak pernah tahu kalau aku sudah bangun. Bertahanlah, Pol. Bertahanlah! Aku agak kaget saat mendapat getaran dari handphoneku. Aku memberanikan diri mengambil handphoneku saat goyangan itu berhenti. Aku diam cukup lama untuk memastikan sesuatu itu sudah pergi. Setelah cukup merasa yakin bahwa sudah aman, aku membuka pesan itu dan mulai membacanya. Dari Die. Die Ada yang harus aku katakan, Pol. Aku lupa memberitahumu kalau jangan tidur di salah satu sisi kasur. Kamu akan menyesal jika melanggar. Tidurlah di tengah-tengah dan jangan sekali-kali melihat ke pojok ruangan. Dia ada di sana! Aku menelan ludah setelah membaca pesan dari Die yang cukup panjang itu. Dengan ragu, aku mulai bergeser dari sisi kiri ke tengah-tengah kasur. Aku menghela napas lega karena nggak terjadi apapun. Aku memeriksa jam di handphone, jam dua pagi. Masih ada beberapa jam lagi sampai matahari menampakkan diri. Die Kamu belum tidur? Apa semua baik-baik saja? Aku menatap layar handphone, rasanya terlalu malu jika aku bercerita padanya bahwa nggak bisa tidur karena ketakutan pada sesuatu yang bahkan nggak berani aku pastikan wujudnya. Pol Ya, aku baik-baik saja. Mengapa kamu belum tidur? Tak lama kemudian pesanku dibaca dan Die sedang mengetikkan balasan di sana. Die Aku nggak bisa tidur. Aku khawatir padamu. Seulas senyum tersinggung di bibirku.  Satu pesan dari Die telah melenyapkan ketakutanku. Ternyata memiliki seseorang yang menanyakan keadaan kita di saat sulit dengan tulus, sangat berefek positif. Aku nggak tahu kalau Die akan sangat berharga. Aku bersyukur memilikinya. Aku tahu kamu menyukainya, Pol. Aku kembali teringat ucapan Tsabit membuatku segera menggelengkan kepalaku untuk melenyapkan pikiran konyol itu dari kepalaku. Aku nggak boleh memikirkan itu karena dibandingkan soal itu, ada masalah lain yang harus aku pikirkan. Aku mendesah pelan dan berhenti saat mendengar suara-suara. Aku segera mengetikkan balasan pada Die. Pol Die, kapan Life pulang? Die segera membaca dan membalas pesanku. Terlihat dia masih typing. Die Sekitar jam tujuh. Kenapa? Apa terjadi sesuatu? Kamu baik-baik saja kan? Aku menelan ludah, terasa selimutku ditarik perlahan. Dengan lambat selimutku bergerak turun, hingga kini aku merasakan desahan napas itu menguat. Selimutku telah jatuh dan aku mulai merasakan rasa dingin yang teramat sangat di sekujur tubuhku. Tanganku mulai gemetar sementara mataku telah terpejam sempurna. Beruntung aku telah menjawab pesan dari Die dengan mengatakan padanya bahwa aku baik-baik saja. Walau tentu, jika dia cukup cerdas untuk tahu kalau aku nggak baik-baik saja. Angin dingin dan kering berembus dan mengenai tubuhku. Napasku menjadi makin nggak beraturan karena itu. Tentu saja, aku takut. Darimana angin itu? Jendela dan pintu kamarku tertutup rapat. Atap kamarku juga baik-baik saja. Nggak ada lubang atau celah yang bisa membuat sang angin masuk dan menyapu tubuhku. Semua menjadi semakin mengerikan saat aku mulai merasakan ada yang berbaring di kasurku, bukan satu tapi dua.. Tidak. Ada tiga... empat... dan semakin bertambah banyak. Aku memberanikan diriku untuk beringsut ke tepi kasur, terus bergerak tanpa memperdulikan apapun. Terdengar suara gedubrak saat tubuhku terjatuh dari kasur. Sakit tapi nggak begitu terasa karena rasa takut yang terlampau besar. Aku terus beringsut hingga tubuhku mentok di pintu kamar. Aku duduk di sana dengan membenamkan kepalaku di antara kedua lutut. Kemudian aku mulai membaca segala doa yang aku tahu, berharap apapun yang tengah duduk di setiap sisi tubuhku akan menghilang. Aku ingin mengintip, percayalah menahan kelopak mataku untuk tetap terpejam itu sangat sulit dilakukan. Belum lagi bau anyir, busuk dan kemenyan yang tercium kuat membuatku ingin muntah. Aku semakin membenamkan kepalamu, bahkan memeluk lututku dengan putus asa saat suara-suara jeritan itu makin terdengar dan memekak telinga. Aku mulai menangis lagi. Terlebih handphoneku terlepas dari tanganku. Sekarang aku nggak bisa meminta bantuan Die. Life, hanya itu harapanku. Jika keajaiban itu ada, aku hanya ingin Life datang, meski hanya semenit lebih awal. Aku ingin Life pulang! Tolong aku! Aku masih menangis saat sentuhan dari tangan yang terasa amat dingin di tengkukku membuatku menjerit. Aku nggak tahan lagi. Aku bangun, berdiri dan berbalik badan. Aku pegang knop pintu dan berusaha membukanya tetapi nggak bisa. Saat aku membuka mataku, pupil mataku melebar. Ada banyak sekali sesuatu yang dibalut kain putih, berbaring di setiap sudut kamarku hingga menyisakan satu tempat di mana aku duduk. Aku menutup kembali mataku dan berusaha membuka pintu dengan mulut yang menjerit tanpa suara. Suaraku seolah sirna dan tanpa peduli setelah ini aku akan bisu atau nggak, aku tetap menjerit walau yang tampak saat ini, aku hanya membuka mulutku dengan lebar. Aku membuka mataku saat tanganku berhasil membuka pintu kamar. Aku berlari keluar. Di ruang tamu, ada wanita itu. Aku merubah arah, ke pintu depan, ada anak kecil bersimbah darah berdiri di sudut. Aku mengurungkan niatku keluar rumah. Aku menyusuri setiap ruangan dan berakhir di kamar Life. Nggak ada pemandangan aneh di kamarnya. Aku menghela napas lega dengan tetap waspada. Pun ketika aku mendengar suara garukan di pintu, suara orang yang memainkan bibirnya atau langkah kaki dari balik pintu kamar Life, aku tetap diam di pintu, nggak beranjak dari sana. Setidaknya sampai pagi atau Life datang. Selama ini aku bertanya-tanya mengapa Die selalu tidur di kelas. Juga penasaran mengapa lingkar dan kantong matanya selalu membesar setiap hari. Kini, aku tahu alasannya. Die nggak pernah bisa tidur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN