Empatbelas

1727 Kata
"Akan selalu ada keinginan yang nggak bisa diwujudkan walau sudah diusahakan." ❣❣❣ “Pembunuh.” “Itu ayah.” Kata-kata life masih tergiang-giang di kepalaku. Rasanya, semua jadi tampak jelas walaupun sebenarnya buram. Jadi, apa maksud Life, Die yang membunuh ayahnya? Kenapa? Apa itu mungkin? Aku pernah bertukar tubuh dengan seseorang, Pol. Ayahku. Kata-kata Die waktu itu juga tumpang-tindih setelah perkataan Life membuatku berpraduga yang nggak-nggak tentang gadis itu. "Arrgh." Aku meremas kesal rambutku, frustrasi. Rasanya ini terlalu nggak masuk akal. Aku tahu sikap Die sangat dingin, tetapi tidak berpikir kalau dia tega membunuh ayahnya sendiri. Di mataku, dia adalah seorang gadis baik. Mustahil dia bisa melakukan hal sekejam itu. Tapi, kebencian Life pada Die tentu bukan hal yang main-main. Lelaki menyebalkan itu nggak mungkin membenci Die tanpa alasan. Jika alasannya memang begitu, aku rasa wajar saja jika Life membenci Die sedalam itu. Aku menghela napas, berat dan dalam. Pertukaran tubuh ini nggak hanya membuatku harus berubah menjadi seorang perempuan, tetapi juga terlibat dalam konflik keluarga yang begitu rumit dan ambigu. Aku ingin keluar tetapi nggak bisa. Apa aku jujur pada Life bahwa aku ini Pol? Tapi, apa dia akan percaya? Pikiranku bubar seiring suara pesan masuk di handphoneku. Dari Die. Die Pol, pengumuman olimpiadenya sudah keluar. Kamu nggak ingin tahu hasilnya? Aku melebarkan pupil mataku. Gara-gara Life aku nyaris lupa tentang urusan hidup-matiku yang satu itu. Aku segera mengetikkan balasan pada Die. Pol Aku segera ke sana. Setelah memastikan Die membaca pesanku, aku segera bersiap-siap untuk menemuinya. Aku mengganti bajuku, juga sedikit memoles wajahku dengan bedak yang biasa Die pakai. Soal memakai bedak, aku nggak butuh tutorial. Die hanya memakai bedak bayi. Setelah mengikat rambutku satu di bagian tengah dengan ikat rambut merah yang ternyata disimpan di laci meja belajar, aku keluar. Di ruang tamu, aku bertemu Life yang sedang duduk di sofa. Sepertinya lelaki itu sudah lebih baik. Syukurlah, aku nggak perlu khawatir.  Wait, untuk apa aku mengkhawatirkan dia? Dia bukan siapa-siapaku. "Aku akan pergi," kataku yang masih berbaik hati berpamitan. "Ke mana? Bukankah seharusnya kamu diam di rumah?" Pertanyaan itu menghentikan langkahku lalu menatapnya dengan tajam. "Aku ada urusan." Life menyunggingkan senyuman mengejek. Bahkan mendecih dengan jelas. "Bertemu pacarmu?" tebaknya. "Itu bukan urusanmu," sahutku. Aku melangkahkan kaki, pergi meski Life bertingkah menyebalkan dan membuat moodku berantakan. "Jangan lupa, Die. Waktu perubahan untuk matamu, bukankah sudah tiba? Bahkan sudah lewat bukan?" Aku diam, beku. Life juga tahu soal itu? Ah, tentu saja. Dia kakak Die. "Apa kamu sudah bertukar tubuh dengan seseorang sehingga matamu nggak berubah orange?" Jantungku benar-benar butuh perawatan. Nggak hanya para setan, tebakan Life juga nggak bagus untuk kesehatan jantungku. "Kenapa diam saja, Die? Apa kamu mengabaikanku? Atau, kamu berencana menyerangku agar bisa bertukar tubuh denganku?" katanya dengan sinis. "Ingat Die, sudah takdirmu untuk bersama orang mati." Tanganku terkepal. Life sudah keterlaluan. Aku berbalik badan, berjalan dua langkah lebih dekat dan menatap marah pada Life. Aku sudah nggak bisa lagi sabar menghadapinya. "Kamu menyebalkan, Life! Apa bagusnya bertukar tubuh denganmu huh? Kalau aku mau, aku bisa bertukar tubuh dengan orang lain yang lebih bisa bersikap baik dari pada kamu," omelku panjang-lebar. Pernyataan jujurku itu membuat Life tertegun beberapa saat. Namun, setelahnya lelaki itu tertawa keras-keras membuatku hanya mampu mengernyitkan dahi, merasa heran dengan sikapnya itu. "Kamu sudah gila? Atau para setan sudah membuatmu berhalusinasi, Die?" ejek Life. "Bertukar tubuh dengan siapapun yang kamu mau? Jangan bercanda, kamu tahu persis syarat untuk bisa bertukar tubuh itu apa," katanya. Eh? Syarat? Ada yang seperti itu? "Kenapa? Kamu pura-pura lupa?" tanya Life saat menangkap rasa kebingungan di wajahku. "Baiklah, jika memang kamu berakting lupa, aku akan memberitahumu," katanya dengan senyuman culas menyebalkan. "Pertama, itu hanya bisa dilakukan di antara anggota keluarga. Kedua, kamu hanya bertukar tubuh dengan orang yang pernah memiliki hubungan hidup dan mati denganmu," jelas Life. Heh? "Jadi jangan mencoba memanfaatkan pacarmu, Die. Dia nggak akan bisa bertukar tubuh denganmu, kecuali kamu benar-benar ingin membunuhnya," ucap Life yang membuat kepalan tanganku melonggar, bahkan syaraf-syarafku seperti nyaris terlepas. Apa yang dia katakan itu? Apa syarat yang dia katakan itu benar? Jika iya, kenapa aku bisa bertukar tubuh dengan Die padahal aku nggak memenuhi syarat? "Apa maksudmu Pol akan mati jika aku bertukar tubuh dengannya?" tanyaku, mencoba mengabaikan jutaan pertanyaan yang muncul di benakku saat ini. "Ya," jawab Life yakin. "Jika dia nggak memenuhi syarat, dia akan mati begitu kamu mencoba untuk bertukar tubuh. Kamu tahu itu, jadi jangan mencoba menipunya." Aku tercekat, air mataku meleleh tanpa sadar. Life berdecak. "Kamu berakting lagi, sudah kubilang jangan menangis. Aku nggak akan menghiburmu." "Aku pergi," kataku lalu berjalan cepat meninggalkan Life. Bahkan Meski dia memanggilku, aku hanya terus berjalan. Pun hantu anak kecil di pohon besar dekat rumah itu berlarian di sekitar pohon sambil memanggil namaku, aku tetep terus berjalan, bahkan berlari. Napasku seakan mau lepas setelah terus berlari dalam setengah perjalanan menuju ke rumahku sendiri. Mungkin ini adalah efek dari menjadi perempuan, atau karena aku berlari dalam keadaan menangis. Entahlah, aku menjadi sangat cengeng sejak menjadi Die. Rasanya, ungkapan bahwa perempuan terlalu mengedepankan perasaan dibanding logika itu benar. "Die." Panggilan itu membuatku tercekat, Tsabit sedang melihatku dari atas sepeda motor bebek miliknya. "Ngapain?" tanyanya karena melihatku berdiri dengan keadaan kacau di pinggir jalan. Aku menyeka air mata di pipi dan pelupuk mataku. Bahkan menghisap ingus yang belum keluar tetapi menumpuk di hidung. "Kamu baik-baik saja?" Aku mengangguk. "Kamu mau ke rumah Pol?" tanyanya. Aku mengangguk lagi. "Mau bareng?" ajaknya menawarkan. Aku diam, ragu-ragu. "Ah, tenang saja. Aku sudah punya SIM, aman," katanya sambil tersenyum ramah. "Naiklah!" suruhnya. Aku mengangguk lalu naik ke sepeda motor miliknya. Bonceng samping. "Sudah?" tanya Tsabit. "Ya, sudah," jawabku. "Oke, berangkat," seru Tsabit lalu mulai melajukan sepeda motornya. Tsabit mengendarai sepeda motornya dengan santai, itu cukup memberiku waktu untuk menenangkan diri. Angin malam membelai kulit wajah dan rambutku membuatku merasakan rasa dingin yang mampu mendinginkan kepalaku. Kami melewati rumah kak Sandra. Aneh, perempuan itu nggak tampak lagi. Dia tak ada di tempat dia berdiri. Garis polisi juga sudah lenyap dari sana. Apa kasusnya sudah ditutup? Apa pembunuh itu sudah ditangkap? Aku mengabaikan jutaan pertanyaan itu, hanya mendongakkan kepala ke atas, menikmati langit yang mendung. Sepertinya akan segera turun hujan. Nggak ada satu setan pun yang terlihat. Ini sungguh menyenangkan. Sepeda motor Tsabit berhenti, kami sudah tiba di rumahku. Aku turun lalu mulai berjalan ke pintu rumah, disusul kemudian oleh Tsabit.  Aku memencet bel, Die yang membukakan pintu. Dia cukup terkejut saat tahu aku datang bersama Tsabit. "Kami bertemu di perjalanan," kata Tsabit seolah memahami pikiran Die. "Ah," gumam Die singkat. "Kamu nggak senang aku datang, Pol?" tanya Tsabit. Die hanya menoleh ke arahku, mengabaikan pertanyaan bahkan kehadiran Tsabit. "Lihat!" tunjuknya pada kantong matanya yang tampak bengkak "Ada apa dengan matamu?" tanyaku heran. "He's fail," jawab Han, sepupuku yang sedang berjalan menuruni tangga, menuju ke arah di mana kami berada. Fail? "Aku dapat juara ketiga," ucap Die yang membuat tubuhku seketika membeku. Ketiga? "Sorry," kata Die lagi. Aku tertegun. "Hah? Pol gagal? Kok bisa?" pekik Tsabit yang segera mendapat tendangan di tulang keringnya. Tsabit mengaduh bahkan mengangkat satu kakinya yang ditendang Die. Aku terduduk lemas, syaraf kakiku benar-benar lepas sekarang. Air mataku sudah mengering untuk bisa dikeluarkan lagi. Aku tahu bahwa aku nggak boleh terlalu berharap pada Die, tetapi tetap saja, ini membuatku sedih. "Jadi, kantong matamu bengkak karena menangis?" tanyaku pada Die. Die mengangguk. "Karena gagal mendapatkan rekomendasi?" tanyaku lagi. Die menggeleng. "Bukan," sanggahnya. "Hah? Trus kok nangis?" tanyaku heran. "Aku nggak akan bisa ke pantai bersamamu," jawabnya yang membuatku hanya tertawa geli. Dia memang gadis yang susah ditebak. Aku berjalan mendekati Die lalu mengelus lembut kepala Die. Sepertinya aku sudah biasa melihat Die dengan tubuhku sehingga nggak terlalu merasa jijik seperti pertama kali bertukar tubuh. "Jangan khawatir, aku masih akan mengajakmu ke pantai," kataku. "Benarkah?" tanya Die. Aku mengangguk. "Meski aku hanya juara ketiga?" tanyanya belum yakin. "Juara ketiga juga termasuk juara, kamu berhasil. Selamat," kataku meyakinkan Die. Die tersenyum lalu memelukku. "Aku mencintaimu, Pol," katanya. "Aku juga mencintaimu, Die," balasku. Kami saling berpelukan cukup lama membuat Han dan Tsabit berdehem. Deheman itu membuatku dan Die menghentikan pelukan kami. Han dan Tsabit melihat kami penuh selidik. "Mengapa kalian mengungkapkan cinta secara terbalik? Apa itu sedang tren?" tanya Tsabit curiga. Aku membeku, baru ingat bahwa kami salah menyebutkan nama. Nggak, maksudku sudah benar hanya saja di mata orang lain, penyebutan nama kami salah. "Anu..itu…" Aku menggaruk-garuk kepalaku yang nggak gatal. Bingung. "Oh ya, kasus kak Sandra ditutup sebagai bunuh diri," celetuk Die yang membuatku menoleh ke arahnya. "Eh?" "Semua bukti, saksi, hasil autopsi dan sebagainya mengarah pada satu kesimpulan, dia bunuh diri," kata Die menerangkan lebih lanjut. "Ah, Sandra who stay at house near here? I heard that she was suicide because a man that she love will marrying other woman," kata Han menimpali. "Eh?" "Ya, dan aku dengar pemilik kosnya mengadakan ritual penyucian karena arwah Sandra gentayangan dan menghantui penghuni kos lain." Tsabit ikut menambahkan, sepertinya dia sudah lupa soal pertanyaan yang dia ajukan padaku dan Die. "How it possible?" tanyaku nggak percaya. Die menepuk ringan pundakku. "Dia nggak dibunuh, tapi bunuh diri," kata Die menegaskan. "Nggak, dia dibunuh! Dia mengatakan sendiri padaku, bagaimana bisa kamu percaya begitu saja?" tanyaku merasa kecewa pada Die. "Ada bukti kuat, hasil otopsi juga sudah keluar. Kasus selesai!" Aku terdiam, rongga dadaku mendadak sesak. "Dia berbohong padamu." Air mataku menetes lagi. Shock. "How can be like that? Why she's liying? Why? Padahal, aku sudah menyusun rencana untuk menolongnya. Aku…" Aku melipat bibirku, rasanya sakit. Baik oleh manusia atau setan, dibohongi itu tetap menyakitkan. Tsabit dan Han diam, menatapku yang terus menangis dan mengeluh seperti anak kecil. Aku tahu, sikapku ini bukan childish tetapi selfish. Die maju, memelukku sekali lagi. "Jangan menangis, Pol," bisiknya pelan. "Akan selalu ada keinginan yang nggak bisa diwujudkan walau sudah diusahakan. Kamu beruntung belum terjebak dalam kebohongannya. Makanya, sudah aku peringatkan bukan? Mereka punya sejuta cara untuk menangkap jiwamu, termasuk berbohong." Berbohong? "Bagaimana denganmu?" tanyaku dengan nada suara dingin. Die melepas pelukannya, memandangku dengan bingung. "Apa maksudmu?" tanyanya heran. "Mengapa kamu berbohong padaku?" tanyaku. Die mengerutkan dahi. "Aku nggak berbohong padamu," elaknya. "Benarkah?" Die menatapku tajam. "Ada apa? Apa Life mengatakan sesuatu yang buruk tentangku?" tebak Die. Aku hanya diam, menatapnya dengan ekspresi dingin yang menusuk hingga relung jiwa. "Hei, kenapa kalian? Dari romantis tiba-tiba begini? Ada apa?" Tsabit mencoba mencairkan suasana. "Yeach, what happens? There is something wrong here?" Han ikut bertanya, sepertinya dia merasa cemas. "Ada apa?" tanya Die lagi. "Katakan!" Aku diam, menatapnya dengan ekspresi yang sama. "Aku pulang," kataku lalu berbalik badan. Aku berlari sekuat tenaga meninggalkan rumahku. Hatiku hancur, remuk. Dua orang yang aku percaya sudah membohongiku. Apa aku terlalu mudah dibohongi? Kenapa semua yang aku kira orang baik ternyata munafik? Apa dunia memang sekejam ini? Aku tercekat. Tanganku ditangkap. Die berhasil menyusulku. "Ada apa, Pol?" tanyanya. "Kenapa kamu berbohong, Die?" "Soal apa?" "Syarat untuk bertukar tubuh," jawabku. Die mengubah ekspresinya, sepertinya dia tahu tentang apa yang akan aku tanyakan. "Mengapa aku nggak mati saat kita bertukar tubuh, Die? Kenapa? Padahal aku nggak memenuhi syarat dan kamu tahu itu, mengapa kamu melakukannya? Apa kamu memang mau membunuhku?" tanyaku bertubi-tubi. Die melepas genggaman tangannya. "Aku juga nggak tahu," jawab Die lalu menunduk dalam. Bedebah. Aku pergi, meninggalkan Die dan jawaban terbullshitnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN