Tigabelas

1752 Kata
"Setiap pertemuan memiliki sebuah tujuan. Kamu dan aku juga demikian." ❣❣❣ "Apa kamu dan Pol bertukar tubuh?" Mataku membulat sempurna, menyisakan rasa sesak dalam d**a yang terasa menyakitkan. Berkali-kali aku menelan ludah, gelisah. Aku nggak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan seperti itu. Rasanya, pertanyaan dari Tsabit jauh ebih susah dan berat dibanding soal olimpiade tingkat nasional. Apa-apaan dia itu, kenapa mendadak pintar? "Haha, wajahmu tegang amat Die," kata Tsabit lalu tertawa dalam situasi yang menegangkan ini. "Aku bercanda, jangan bereaksi berlebihan," katanya sambil mengibas-ngibaskan tangannya. Aku menyeka keringat di keningku. Rasanya, aku baru saja berhasil melewati fase kritis, bagian punggungku saja terasa basah karena keringat yang membanjir. "Kamu ini malah nganggap serius, makanya dari awal, aku pikir itu pemikiran yang gila, ya kan?" katanya. Aku hanya diam, menetralkan detak jantungku yang seakan mau keluar lewat mulut. "Jangan bilang pada Pol soal apa yang aku katakan barusan, dia pasti akan menertawaiku," imbuh Tsabit yang membuatku menghela napas kasar. "Maaf jika aku sok akrab. Aku hanya ingin tahu bagaimana pacar Pol. Dia satu-satunya temanku, sahabatku. Jadi aku nggak mau dia disakiti!" "Kamu baik, Bit," kataku, setengah memujinya. "Benarkah?" tanya Tsabit ragu. Aku mengangguk. "Pol beruntung memilikimu," lanjutku. "Kamu bisa memilikiku kalau mau. Pacar Pol adalah sahabatku juga," kata Tsabit bertingkah sok keren, memamerkan diri dengan menyisir rambutnya ke belakang. "Kamu minta ditampol?" delikku. Tsabit tertegun sebentar lalu tertawa geli. "Tuh kan? Kamu benar-benar mirip Pol. Dia selalu begitu kalau kesal," katanya yang membuatku memalingkan wajah darinya. "Jangan marah, Die," bujuk Tsabit. Aku hanya diam. "Yuhu, anak-anak," sapaan itu membuat Tsabit segera bangun dari bangkuku lalu menuju ke bangkunya sendiri. Bu Fia sudah datang, pelajaran siap dimulai. "Yak, masukkan semua buku, kecuali alat tulis di atas meja. Kita ulangan," kata Bu Fia yang langsung mendapat sorakan 'huuu' dari teman-temanku. "Terserah ya, Ibu sudah buatin soalnya. Kalian tinggal mengerjakan. Yang nilainya nol, harus ikut remidial!" Suara huu menggema lagi tapi Bu Fia nggak peduli. Dia memang guru yang terlalu cuek, meski di mataku sangat keren. Dia adalah tipe orang yang akan bertindak sesuai dengan keinginannya, tanpa mempedulikan anggapan orang lain. Aku iri dengan tipe manusia yang seperti itu. Bebas, lepas dan mengeluarkan semua beban di hatinya dengan puas. Aku menghela napas, mencoba fokus. Saat lembaran soal diterima, aku mulai memindai soal-soal yang harus dikerjakan. Sekali melihat, aku sudah tahu jawabannya. Tanpa perlu banyak waktu, aku pasti akan mendapat nilai sempurna. Wait! Saat ini aku Die, bukan Pol. Bagaimana ini? Tek tek tek Aku tercekat beberapa saat, meja ku bergetar dan terdengar suara ketukan yang seolah berasal dari kolom meja. Aku diam, ragu. Haruskah aku intip? Aku menelan ludah, mencoba menetralkan rasa takut yang terus keluar tanpa izin. Kemudian, aku meraih bulpenku, mencoba mengabaikan getaran dan suara itu dengan memfokuskan diri pada soalnya. Namun, tiba-tiba muncul tiik hitam di tengah kertas ujianku. Titik itu membesar dan membesar. "Aw!!" jeritku sembari melempakertas ujian itu dari tanganku. Rasanya, aku akan menelanku juga jika dibiarkan. "Kenapa Die?" tanya Bu Fia saat mendengarku berteriak. Aku menelan ludah, menatap Bu Fia dan juga teman-temanku yang kini menatapku. "Nggak apa-apa, Bu. Ada serangga," jawabku berbohong. "Jangan membuat keributan Die. Jika kamu nggak suka dengan ulangan mendadak dariku, kamu boleh keluar atau mengosongkan jawaban seperti yang selalu kamu lakukan," sindir Bu Fia. Aku hanya diam, memperbaiki letak dudukku. Aku melihat kertas ujian itu dan cukup heran dibuatnya. Kertas ujian itu kembali seperti semula. Nggak ada noda apapun di atasnya. Aku mengambilnya lagi, memegangnya dan mencoba mengerjakan soalnya. Namun getaran di meja semakin menguat membuatku nggak bisa menulis apapun. Aku jengkel, jadi kuputuskan untuk mengintip apa yang ada di dalam kolong meja. Aku nyaris terkena serangan jantung saat melihat sebuah kepala dari seorang gadis dengan mata terbelalak dengan tatapan bengis, mulut terbuka penuh darah dan lidah yang menjulur keluar terlihat. Aku berteriak sekuat tenaga hingga bangun mendadak dan jatuh terduduk. "Pergi! Pergi! Pergi!" teriakku saat melihat kepala itu perlahan keluar dan melayang-layang di depanku. "Ada apa lagi, Die?" tanya Bu Fia jengkel, merasa marah karena ketenangan kelas terganggu. Aku nggak menjawab, hanya memejamkan mata sambil menjerit dan terus meminta Setan kepala itu untuk pergi. "Sudah! Pergi kamu. Keluar!!" bentak Bu Fia yang langsung aku jawab dengan berlari keluar dari kelas. Setan kepala itu sungguh menakutkan. Mataku sampai berair dan kakiku terasa lepas.  Kini, aku tahu alasan kertas ujian Die selalu kosong. Dia.. bahkan nggak bisa membaca soalnya. s**t. Aku rindu diriku yang dulu. *** "Hai Pol, bagaimana harimu?" tanya Die yang sudah pulang dari olimpiade dan kini menjemputku ke sekolah dengan baju bebas. Aku hanya diam, menekuk kedua lutut untuk merapatkan tubuhku. "Kenapa meringkuk di sini? Apa kamu melihat sesuatu?" tanyanya sembari duduk di sebelahku yang sedang duduk menyudut di tembok parkiran. "Bagaimana kamu menemukanku?" tanyaku mengabaikan pertanyaan dari Die. Die mengulas senyum. "Aku memang nggak bisa melihat Setan dan menyadari keberadaan mereka lagi, Pol. Tetapi untuk menemukan keberadaan tubuhku, aku masih bisa," katanya. "Oh," sahutku ber-oh ria. "Kalau kamu? Mengapa kamu di sini?" tanya Die penasaran. Aku mendesah kasar. "Tadi ulangan," jawabku. "Ah, kamu bertemu Setan kepala?"  tebaknya. "Binggo," seruku mengiyakan. "Kenapa kamu nggak pernah bilang soal Setan kepala itu, Die? Aku nyaris terkena serangan jantung karenanya," omelku. Die hanya terkekeh pelan. "Manusia susah diyakinkan, Pol. Mereka harus merasakan lebih dulu untuk bisa percaya," jelas Die. "Tapi aku nggak begitu, aku percaya padamu," elakku. Die menoleh ke arahku dengan sorot mata yang susah diterjemahkan, antara berterima kasih dan merasa bersalah. "Separuh kepercayaanmu karena kita saling berbagi penderitaan, Pol. Atau mungkin kamu yang menanggung semua penderitaanku sedangkan aku bersenang-senang," katanya. "Aku terdengar sangat jahat jika menyadari itu. Rasanya hidupku memang menyedihkan, benar kan?" lanjut Die dengan senyuman yang penuh kesedihan. Aku menegakkan punggungku lalu menggeleng pelan. "Nggak, Die! Kamu salah," sanggahku. "Kita berbagi penderitaan, juga kebahagian. Remember our promise? We will happy together," kataku mencoba menghibur Die. "Ya, mungkin kamu benar." “Äku memang benar, Die.” Die melengkungkan senyuman, sekilas aku melihat bayangan wajahnya meski saat ini dia menjadi aku. Dia jadi terlihat sangat cantik. Ya, dia memang cantik dari dulu. "Kamu cantik, Die," pujiku membuat Die tertawa. "Saat ini aku menjadi dirimu, Pol." "Aku tahu, tapi kamu tetap cantik di mataku." Die mengedipkan matanya. "Kamu bisa ngengombal juga huh?" ejeknya. Aku tertawa kecil. "Tentu saja, aku ini lelaki," sahutku. "Kamu tahu, Pol, setiap pertemuan memiliki tujuan. Kamu dan aku juga demikian. Karenanya aku percaya, apa yang terjadi pada kita sudah ditakdirkan. Meski, tetap saja, aku merasa sangat bersalah kepadamu." "Jangan merasa bersalah, Die! Kita akan melaluinya bersama," kataku lalu mengulurkan tanganku. "Berjanjilah untuk jangan menyerah, okey?" Die mengangguk. "Janji!" Kami saling berjabat tangan sebentar sebelum akhirnya dilepaskan dan tertawa bersama. "Jadi, gimana olimpidemu?" tanyaku. Die nyengir. "Jangan khawatir, nggak apa-apa meski kamu gagal," kataku mencoba untuk ikhlas jika gagal. "Bisa, kok. Rasanya meski jiwa kita bertukar, tubuhmu masih mengingat bagaimana mengerjakan soal-soal. Otakku membuat tanganku bergerak tanpa perlu berpikir. Untuk pertama kalinya, aku jadi seperti orang genius," jelas Die panjang-lebar. "Benarkah?" tanyaku ragu. Die mengangguk mengiyakan. "Aku yakin hasilnya memuaskan," kata Die dengan penuh percaya diri. "Baiklah, aku percaya padamu." "Ayo pulang!" ajaknya kemudian. Aku mengangguk mengiyakan. Die mengantarku pulang dengan sepeda. Seperti biasa, hanya mengantar sampai depan rumah. Setelah memberikan beberapa pesan, termasuk bagaimana menghadapi Life, Die pergi. Aku melihat Die sampai nggak kelihatan lagi baru memutuskan untuk masuk. Tentu saja tanpa melihat ke arah pohon besar di depan rumah Die. Di sana, ada Setan anak kecil yang akan melahap jiwaku jika berhasil membawaku ke pohon keramatnya. Aku belum siap untuk menjadi makanannya, nggak akan pernah siap. Aku membuka pintu rumah, Setan anak kecil di rak sepatu nggak kelihatan. Itu artinya, ada Life di rumah ini. Entah Life itu tulang apa sehingga para Setan begitu nggak menyukainya. Jangankan Setan, aku juga nggak suka padanya. Dia menyebalkan. Aku berjalan menuju kamarku, hendak memutar knop pintunya saat mendengar suara gelas jatuh dari kamar Life. Spontan, aku segera berlari masuk ke dalam kamar Life. "Life," pekikku saat melihat lelaki menyebalkan itu terduduk di lantai dengan pecahan gelas di sampingnya. "Kamu kenapa, Life?" tanyaku sembari mencoba membantunya bangun. Life menepis tanganku. "Pergi!" usirnya. Aku nggak peduli dengan ucapannya. Aku dekati dia, membantunya berdiri sekali lagi. Bahkan meski dia mendorongku, aku tetap bertahan. "Duduklah!" kataku saat tubuhnya berhasil aku papah untuk duduk di kasurnya. "Tunggu!" Aku berlari ke dapur, mengambilkan segelas air lalu kembali. "Minumlah," kataku seraya mendekatkan gelas itu ke mulut Life. "Pergi!" Life masih keras kepala. Dia terus menolak hingga gelas yang aku bawa menghantam lantai dan pecah. Aku tertegun, menatap lelaki menyebalkan berwajah pucat dengan keadaan lemah yang menyedihkan. "Kenapa kamu nggak mau dibantu? Apa kamu sadar keadaanmu?" tanyaku dengan marah. Life hanya menatapku dengan sinis. "Jangan berpura-pura baik, Die. Aku muak dengan aktingmu. Hentikan itu dan pergi dari kamarku," usirnya. Aku mengepalkan tinjuku, rasanya menghajarnya saat dia lemah begini pasti sangat menguntungkan. Life tiba-tiba jatuh pingsan, bahkan sebelum aku meninjunya. Dasar menyebalkan. Aku menghela napas, mencoba menenangkan diriku. Setelahnya, aku pergi ke dapur untuk mengambil peralatan untuk membersihkan gelas yang pecah. Setelahnya, aku berikan kompres di kening Life. Lelaki itu sepertinya terkena demam. Badannya terasa panas sekali, bahkan telur pasti akan matang jika direbus di atas jidatnya sekarang. Setelah itu aku membuatkan Life bubur dan teh hangat. Keluargaku adalah tipe manusia yang selalu penasaran dengan sesuatu. Jadi wajar saja jika memasak juga menjadi salah satu hal yang harus dipelajari. Lagipula, buku memasak akan sangat berguna jika sambil diterapkan. Bukan cuma dibaca saja. Sembari menunggu Life bangun, aku membereskan kamar Life yang hari ini tampak berantakan. Biasanya, kamar Life bersih dan rapi tetapi hari ini sungguh sangat berantakan. Saat membersihkan meja kerja Life, aku menemukan sebuah album foto. Iseng, aku mulai melihat kumpulan foto di dalam album itu. Aku tersenyum, menatap Die versi kecil. Die tersenyum, cemberut, menangis dan bahkan terlihat marah. Nggak ada ekspresi dingin yang biasa dia tunjukan selama ini di sekolah. Die jadi terlihat seperti manusia normal. Aku tertegun, menatap foto anak lelaki berusia remaja dengan seseorang yang seperti mirip dengan lelaki yang pernah aku lihat tempo hari. "Ini-…" "Apa-apaan kamu!" Aku terperanjat kaget saat album foto di tanganku direbut secara tiba-tiba. Aku menelan ludah menatap Life yang sudah berada di depanku dengan wajah merah padam. Aku tahu itu bukan wajah merah karena demam, tetapi amarah yang memuncak. "Tenang Life, aku hanya-.." "Keluar!" bentak Life membuatku benar-benar akan kena serangan jantung jika dia terus berteriak seperti itu padaku. "Maaf, aku hanya penasaran dengan lelaki yang ada di foto," kataku. "Hah? Apa yang kamu bicarakan? Keluar!" Aku menyerah, bicara dengannya saat ini rasanya hanya akan memperburuk situasi di antara kami. "Oke, aku keluar," kataku lalu berjalan pergi. Aku berhenti setelah beberapa langkah, berbalik badan menatap Life yang menatapku dengan tubuh yang bernapas saja masih nggak beraturan. "Laki-laki di foto, aku melihatnya di pemakaman. Ada rantai melilit lehernya dan.." "Arrgh…" Aku meronta saat tiba-tiba Life menyerangku. Lelaki itu mengempaskan tubuhku ke tembok dengan satu tangan mencekik leherku. Sekarang, aku yang nggak bisa bernapas dengan benar dan teratur. "Jangan berpura-pura, Die. Kamu tahu? Lelaki yang ada di foto, kamu yang mengirimnya ke alam baka!" Life melepaskan cekikan di lehernya membuatku segera mengais udara untuk bernapas. "Keluar!" Aku segera berjalan menuju pintu. Saat akan menutup pintu kamar Life, dengan tangan yang masih berada di knop pintu, jawaban itu terdengar. "Itu ayah!" Pintu tertutup.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN