"Aku belum bisa melawan Tuhan hanya demi sekecap bahagia di dunia dan penderitaan yang menyakitkan di neraka."
❣❣❣
Pol
Semangat Die.
Kamu pasti bisa.
Begitu pesan yang aku kirimkan pada Die tadi sebelum mandi. Namun gadis itu belum juga membalas pesanku, dia bahkan belum membacanya.
Pergi kemana dia? Ah, sungguh ini membuatku frustrasi.
Hari ini adalah hari besar untukku dan Die. Kejuaraan olimpiade yang akan menentukan apakah aku bisa mendapat rekomendasi atau nggak untuk ke kampus yang aku mau ditentukan sekarang. Aku memang nggak terlalu berharap pada Die tetapi semoga dia mampu. Setidaknya meski bukan juara satu, Die bisa juara dua. Karena yang mendapat rekomendasi hanya untuk juara 1 dan 2. Sedangkan untuk juara 3 dan harapan nggak dapat rekomendasi. Hanya dapat hadiah uang dan sertifikat.
"Ada apa? Kenapa makananmu nggak dimakan?"
Pertanyaan itu membuat kepalaku mendongak, menatap Life yang sudah duduk di depanku. Saat ini kami sedang di ruang makan, sarapan bersama. Aku sengaja memasak untuk sarapan pagi tadi. Bukan untuk mengakrabkan diri dengannya. Hanya nggak bisa tidur sehingga lebih memilih untuk memasak di dapur.
Aku memang lelaki. Namun soal urusan memasak, nggak bisa diremehkan. Terlebih nenek yang selalu berdiri di dapur akhir-akhir ini nggak menunjukkan wajah yang mengerikan. Dia hanya berdiri di sana dan sesekali mengajakku bicara. Awalnya aku takut padanya tetapi sekarang nggak terlalu. Lagipula, kenyataan bahwa dia sudah di sana sejak zaman Belanda membuatku lega. Setidaknya, dia nggak akan memintaku mencari pembunuhnya.
"Nggak apa-apa," kataku menjawab pertanyaan Life sembari mengambil sesendok nasi. Nggak berniat memakannya hanya berpura-pura ingin memakannya. Selera makanku mendadak buruk.
Life tampaknya nggak terlalu ingin berdebat denganku hari ini. Dia melanjutkan makannya dengan mata yang terkantuk-kantuk. Wajar saja dia begitu. Sekitar jam dua dini hari dia baru saja pulang bekerja. Jujur, aku nggak tahu apa pekerjaannya. Aku juga belum sempat menanyakan apapun soal Life pada Die.
"Lain kali nggak usah ngajak sarapan," kata Life yang membuat suasana hening di antara kami terasa begitu canggung.
Aku meletakkan sendokku membuat Life juga melakukan hal yang sama. Kepala kami saling menoleh hingga membuat mata kami bertemu dan saling memandang satu sama lain.
Mata Life yang bahkan nyaris tertutup karena sipit dan ngantuk itu tampak melebar menimbulkan kesan geli dan horor pada saat yang bersamaan.
"Kita nggak cukup akrab untuk itu," katanya.
"Lantas, kenapa mau sarapan bersama?" tanyaku menantangnya.
Life tersenyum.
"Karena ini pertama kalinya kamu mengajakku makan, biasanya kamu hanya makan sendirian," jawabnya.
"Benarkah?"
Life mengangguk.
"Kenapa? Apa kepalamu terbentur hingga lupa ingatan?" sindir Life.
Aku mengeleng.
"Bukan begitu," sanggahku.
"Oh ya, apa pacarmu membuatmu berubah seperti ini?" tanya Life yang membuat satu alisku terangkat.
"Maksudku," ucap Life dengan nada menggantung. "Sekarang, kamu terkesan seperti manusia, Die."
Seperti manusia? Die itu memang manusia!
"Jangan tersinggung, ini bukan sindiran hanya ungkapan syukur karena aku turut senang," jelas Life yang sepertinya tahu bahwa aku merasa marah dengan kata-kata darinya barusan. Walau tetap saja, aku merasa nggak percaya dengan kata-katanya itu.
Aku nggak merespon apapun tentang pernyataan Life. Aku hanya meraih sendokku, mengambil sesuap nasi lalu memasukkannya ke mulutku.
Tiba-tiba Life tergelak pelan dimana kemudian dia mulai tertawa terpingkal-pingkal. Aku jadi nggak bisa mengunyah makanan di mulutku karena sikapnya itu. Kenapa dia tertawa? Apa ada sesuatu yang lucu?
"Kamu percaya itu?" tanya Life dengan nada menusuk sesaat setelah tawanya menghilang.
Tentu saja nggak. Dasar menyebalkan!
Aku menghela napas berat. Meski sulit, aku menelan makanan yang belum sempat terkunyah sempurna di mulutku. Hal itu membuat tenggorokanku terasa sedikit sakit.
"Apa maksud ucapanmu?" tanyaku dengan dingin.
"Hentikan aktingmu sebagai manusia," jawabnya dengan ekspresi yang nggak kalah dingin, bahkan bisa dibilang hampa.
"Aku benci melihatmu baik-baik saja," lanjutnya.
"Jika memang begitu, kenapa kamu mengkhawatirkan Die?" tantangku yang membuat Life mendecih kesal.
"Jangan bercanda," elaknya. "Kapan aku mengkhawatirkanmu?"
"Saat di sekolah dan juga di pemakaman," jawabku cepat.
Life tertawa, kali ini tawanya penuh dengan rasa geli dan juga nggak percaya.
"Aku datang karena bagaimanapun aku adalah walimu. Di pemakaman, kamu yang mendatangiku dan memohon bantuan. Lagipula, apa-apaan air mata yang kamu keluarkan itu? Apa kamu sengaja melakukan itu untuk menipu dayaku?" oceh Life panjang-lebar.
"Dengar, Die," tekannya. "Kamu adalah seseorang yang akan aku benci selamanya. Jadi jangan berharap belas kasihan dariku karena itu nggak bisa menghapus dosamu!"
Kami saling diam sambil menatap. Seringai menyebalkan Life terlihat lagi membuatku ingin sekali melempar nasi yang ada di piringku ke wajahnya.
Dosa apa yang Die lakukan sehingga Life bersikap begini? Apa ini ada sangkut pautnya dengan kata-katanya yang mengatakan Die adalah seorang pembunuh?
"Bertahun-tahun tinggal bersama, mengapa kamu begitu membenci Die?" tanyaku membuat Life kehilangan seringainya. Lelaki menyebalkan itu meneguk minumannya.
"Aku sudah selesai," ucapnya pelan.
"Jawab aku!" Aku mencoba memaksanya.
Life nggak menjawab, malah berniat kabur. Dia berdiri dari duduknya.
"Aku belum tidur semalaman, jadi sebaiknya jangan membuat suasana hatiku tambah buruk," katanya memperingatkan sebelum aku sempat membuka bibirku untuk mencegahnya pergi dari ruang makan.
"Lebih baik kamu berhenti menunjukkan sisi rapuhmu. Aku nggak akan menolongmu lagi!" kata Life sebelum akhirnya pergi meninggalkan aku yang hanya bisa mengepalkan tinju kuat-kuat.
Menolongku? Aku juga nggak butuh bantuan darimu!
***
"Lihat! Dia terlihat marah hari ini!"
"Apa karena Pol nggak ada?"
"Hm, apa menurutmu dia bisa melakukan ilmu sihir sampai membuat Pol mau berpacaran dengannya?"
Ucapan-ucapan penuh dengan sindiran dan miring itu membuatku yang sudah bad mood semakin mendidih. Rasanya kepala, hidung, bahkan seluruh tubuhku sudah berasap karena mendengar kata-kata miring itu.
Aku menoleh ke segerombolan anak perempuan yang sedang bergosip itu. Mereka segera memalingkan wajah ke arah lain dan mengganti topik pembicaraan.
"Jika kamu melotot begitu, matamu bisa sakit!"
Teguran itu membuat menoleh ke kiri. Tsabit segera menyapa dengan mengangkat tangan kanannya. "Hai."
Aku hanya diam, menatapnya dengan lekat.
"Ayolah, Die," katanya sok akrab. "Boleh aku duduk di tempat Pol?"
Aku berpikir sebentar. Ragu.
"Aku hanya akan duduk selama satu menit jika kamu keberatan," imbuhnya lagi.
Aku masih diam.
"Aku teman yang menyenangkan," bujuknya.
Aku mengalah, mengizinkannya duduk dengan sebuah anggukan kepala. Tsabit mengulas senyum, senang. Pemuda itu duduk di bangkuku.
"Jadi, apa kamu sudah mendengar kabar dari Pol?" tanyanya.
Aku menggeleng.
"Benarkah?" tanyanya dengan girang.
Aku menautkan alis, heran.
Tsabit yang menyadari keherananku hanya mengulas senyuman yang lebih lebar.
"Pol memgirimiku pesan, katanya dia akan juara hari ini," kata Tsabit yang membuatku langsung memukul meja. Iri.
"Hah?!! Apa-apaan sikapnya itu!!"
Teriakan serta dentuman keras akibat meja yang dipukul itu membuat sebagian teman yang berada di kelas menoleh ke arahku. Aku yang merasa jadi pusat perhatian hanya memalingkan wajah.
"Hei, Die, jangan cemburu," tegur Tsabit.
"Aku nggak sedang pamer, hanya ingin menyampaikan pesan darinya untukmu," elak Tsabit berusaha menenangkan aku.
"Pesan?"
Tsabit mengangguk kecil.
"Dia bilang akan sangat gugup jika mengirimimu pesan secara langsung. Jadi dia mengirim pesan padaku. Dia memintaku untuk menyampaikan padamu bahwa dia akan baik-baik saja. Jadi, jangan khawatir!" ujar Tsabit panjang-lebar.
Aku menarik napas lega.
"Sepertinya dia sangat menyukaimu Die," kata Tsabit yang membuatku tertegun.
"Kenapa? Apa kamu merasa Pol berubah sejak pacaran?" tanyaku saat menangkap wajah murung Tsabit.
Tsabit menggeleng.
"Nggak, kok. Aku justru senang dia memiliki pacar, kamu tahu kan? Dia itu selalu belajar," sanggah Tsabit.
"Bagaimana denganmu? Apa kamu punya pacar?" tanyaku.
Tsabit terkekeh.
"Aku nggak ingin punya pacar sekarang, Die," katanya.
"Kenapa?" tanyaku penasaran.
Tsabit nggak menjawab.
"Apa kamu homo?" tanyaku membuat Tsabit menoleh kaget ke arahku.
"What the f*ck with your assumption, Die?" elaknya sambil pura-pura muntah. "Homo? Tentu saja nggak!"
"Jangan malu, Bit. Aku nggak akan menjudgemu jika memang kamu homo asal nggak sama aku," kataku.
"Hah? Kamu cewek, gimana bisa aku jadi homo kalau sama kamu?" kilah Tsabit yang membuatku hanya nyengir.
Ups, keceplosan.
"Maksudku, kamu sama Pol," ralatku.
"Nggak akan, tenang saja Die," kata Tsabit dengan senyuman lebar. "Pol temanku yang berharga. Dia adalah hadiah dari Tuhan untukku. Dan aku nggak berniat melawan Tuhan demi sekecap kebahagian di dunia dengan penderitaan yang menyakitkan di neraka," jelas Tsabit.
"Teman yang berharga?"
Tsabit mengangguk mengiyakan.
"Kamu tahu, Pol itu adalah tipe manusia yang terlewat pintar. Populer, baik dan juga tampan. Tipe yang sempurna," katanya. "Jadi, aku membencinya."
Heh?
"Jangan kaget begitu," kata Tsabit sambil mengibaskan tangannya di depanku. "Dulu, aku membencinya. Apalagi saat dia bilang padaku bahwa teman yang aku miliki palsu. Aku marah dan memukulnya. Bukan karena apa yang dia ucapkan melainkan karena apa yang dia katakan benar. Temanku hanya datang jika perlu uang. Bagi mereka, aku hanya mesin ATM. Segala hal negatif mereka cekokkan padaku. Aku berada di titik terendah hidupku, nggak punya teman, keluarga broken home dan seorang yang menyedihkan di pelajaran," jelas Tsabit.
"Tapi kamu tahu? Pol sama sekali nggak membalas pukulanku. Saat aku lelah karena melampiaskan amarahku padanya, dia hanya tersenyum dan berkata apa aku sudah merasa baik atau nggak,"
Tsabit menyeka air mata di pelupuk matanya. Entah kenapa dadaku terasa sesak. Entah karena aku terharu atau merasa nggak bisa bernapas karena nggak biasa memakai bra.
"Jadi, aku akan bersahabat dengannya selamanya," tegas Tsabit sambil tersenyum dengan meneteskan air mata bahagia yang bercucuran.
"Hei, ngapain kamu nangis?" kata Tsabit saat tanpa sadar aku juga menangis.
"Aku juga akan menjadi temanmu selamanya Bit," kataku.
"Hah?"
Tsabit tertawa.
"Kenapa?" tanyaku.
"Entah kenapa, akhir-akhir ini aku merasa mulai gila," kata Tsabit yang membuatku tertegun.
"Gila? Apa kamu ada masalah lagi dengan ayahmu?" tanyaku yang membuat Tsabit mengernyitkan kening.
"Darimana kamu tahu bahwa aku sering ada masalah dengan ayahku, Die?" tanyanya yang membuatku melipat bibir.
Keceplosan lagi.
"A...anu, hm.."
"Pol yang cerita?" tebak Tsabit yang langsung aku jawab dengan mengangguk cepat.
"Oh," gumamnya.
Aku nyengir. Ternyata benar, aku payah dalam berbohong.
"Kamu tahu alasan mengapa aku merasa mulai gila, Die?" tanya Tsabit sambil menatapku lekat.
"Kenapa?" tanyaku balik.
"Aku merasa akhir-akhir Pol berbeda. Parahnya, aku melihat Pol di dalam dirimu," katanya yang membuat mulutku terbuka sedikit. Shock.
"Dari semua asumsi gila yang terpikir mengapa aku merasa begitu, ada satu yang paling mungkin," katanya yang membuatku menelan ludah. Keringat dingin merembes turun dari keningku. "Apa kamu dan Pol bertukar tubuh?"