Sebelas

1604 Kata
"Mereka akan datang, entah sekadar lewat, mengganggu atau memiliki suatu tujuan. Jika tujuannya yang ketiga, kamu harus bijaksana." ❣❣❣ Aku sudah berada di depan rumahku sendiri, hendak belajar bersama dengan Die. Bagaimanapun masa depanku bergantung pada olimpiade yang akan diadakan besok. Aku akan mengajari Die, apapun hasilnya nanti, setidaknya gadis itu harus berusaha tampil baik sebagai diriku, Pol Junior, si genius yang mendapat akselerasi hingga sudah kelas 12 di usia 15 tahun. Kejadian tadi siang bersama Life tentu masih menimbulkan trauma untukku. Terlebih setan mengerikan yang aku temui di pemakaman membuatku berdelusi. Seingatku, setan itu menghancurkan jendela mobil Life, tetapi saat kami kembali, kaca mobil Life baik-baik saja. Itu sangat aneh. Mengenai setan yang selalu berada di belakang Life, aku nggak melihatnya lagi setelah kami meninggalkan pemakaman seolah dia memang hanya ada di sana dan nggak bisa kemana-mana. Aku sangat merasa lega dengan kenyataan itu. Setidaknya, aku nggak perlu melihatnya. Anehnya, setan itu sama sekali nggak mempedulikanku meski tahu aku bisa melihatnya. Apa memang ada jenis setan yang seperti itu? Ah, entahlah. Selama dia nggak mengganggu, itu nggak masalah. Life mengantarku ke rumahku barusan. Dia memang secara terang-terangan mengatakan bahwa dia nggak suka aku dalam versi Die, tetapi dia juga mengatakan hal yang ambigu. Life bilang, dia melihat Die versi dulu di dalam diri Pol. Ya, tentu saja dia merasakan itu. Karena memang, yang ada di dalam tubuhku adalah Die, adiknya. Aku menekan bel rumahku sendiri setelah merasa siap. Rasanya ini terlalu membuat gugup mengingat aku akan bertamu ke rumahku sendiri dalam versi orang lain. Sejujurnya, aku sangat merindukan keluargaku, terutama papa dan mamaku. Juga, kakak sepupuku yang tinggal di rumahku untuk sementara karena berkuliah di sini. Walau tentu, dia bukan sepupu yang bisa diandalkan. Tipe menyebalkan walau nggak selevel dengan Life dalam urusan menyebalkan. Pintu rumahku terbuka setelah beberapa saat, seorang wanita yang sudah aku rindukan sosoknya menyambut kedatanganku. "Sore, perlu sama siapa ya?" tanyanya dengan ramah. Aku nggak bisa menahan diriku, mataku seketika berkaca-kaca. Lalu tanpa sadar aku berlari dalam pelukannya. Aku peluk mamaku dengan erat. Mama yang dipeluk secara tiba-tiba hanya menjerit sembari mencoba melepaskan diri dariku. Mendengar teriakan mama, papa dan juga Die segera datang. "Help, help. Who is that?" ujar mama saat aku semakin mempererat pelukanku padanya. "Die! Die! Die!" teriak Die sambil menarik paksa diriku dari mama. Aku yang sudah menangis penuh haru hanya bisa menggigit bibirku saat mama melihatku dengan tatapan asing. Mama nggak mengenaliku. Ma, ini Pol. "Who is that? You know her, Pol?" tanya mama pada Die. Die memandangku dengan tajam. Aku bergidik ngeri, takut dimarahi. "She is my girlfriend!" jawab Die yang seketika membuat mama dan papa menganga kaget, nggak percaya. Ya, tentu saja mereka sangat shock. Bagaimanapun di mata mereka, Pol, anak lelaki satu-satunya hanyalah maniak buku yang nggak pernah menunjukkan ketertarikan pada perempuan. Walau, tentu saja, aku ini normal, bukan homo. "Really? You look so beautiful, interesting and sweet. How can you like Pol?" tanya papa yang membuatku menautkan alis. "Yeach, are you sure to be Pol's girlfriend?" imbuh mama yang membuatku entah kenapa merasa kesal. Apa-apaan pertanyaan yang seolah menjatuhkan aku itu? "He is perfect to me," jawabku yang membuat Die langsung bereaksi. Dia seakan mual dan nyaris muntah. Walau tentu saja, dia melakukan reaksi itu tanpa mama dan papa sadari. "We will study together. So, dont disturb us!" kata Die yang langsung menarik tanganku untuk pergi ke kamar yang berada di lantai dua. Mama dan papa nggak mengatakan apapun, keduanya masih sibuk membahas bagaimana seorang Die mau menjadi pacar anak mereka. Sungguh orang tua yang aneh. Saat aku dan Die menaiki tangga, kami berpapasan dengan Han, kakak sepupuku. Lelaki itu menghadangkan tangannya sehingga membuat langkahku terhenti. "Hei, girl!" sapanya. "I like you, wanna be my girlfriend?" imbuhnya dengan senyuman jail ala playboy. Aku meringis. "Stop it. You never can be my tipe!" jawabku. Han terkekeh, nggak menyangka langsung ditolak. "Come on, Bae. You know that I am more handsome than Pol," katanya penuh percaya diri. "Really? Pol never safe p**n videos at his computer!" balasku dengan senyuman miring. "Oii!" pekik Han yang seketika menoleh ke arah Die. "You told her about that?" tanya Han dengan perasaan marah dan malu yang bercampur menjadi satu. Die hanya menatapnya dingin. "Go to the hell!" katanya lalu memukul tangan Han agar menyingkir dariku. Han merintih saat tangannya dipukul. Sepupuku yang memang menyebalkan itu akhirnya berjalan pergi dengan bibir yang terus mengomel. Aku dan Die pun melanjutkan perjalanan kami menuju ke kamarku. Saat sampai disana, aku segera merebahkan diriku di kasur yang sudah beberapa hari ini aku tinggalkan. Aku berguling-guling, menikmati lembutnya kasurku. Bau kasurku sungguh membuatku rindu. Aku ingin tidur di sini lagi. "Hei, Pol! Kamu datang untuk mengajariku, mengapa malah tiduran?" tegur Die. Aku segera bangun dari kasurku lalu menatap Die yang kini sedang mengeluarkan buku-buku dari lemariku. "Kamu sudah bertingkah seperti ini rumahmu, seolah kamu memang tinggal di sini sejak lama," komentarku saat melihat nggak ada rasa canggung dari sikap Die. Die menoleh sebentar ke arahku lalu tersenyum tipis. "Jangan iri, Pol. Semua ini milikmu!" katanya yang membuatku menangkap sorot kesedihan di matanya. Ya, tentu saja. Ini milikku, hidupku. Namun seseorang yang bahkan nggak bisa tidur dan hidup dengan tenang sepertinya pasti sangat merindukan kehidupan normal seperti yang aku miliki sekarang. "Hei, Die!" panggilku. "Ya?" sahutnya. "Apa kamu bahagia?" tanyaku yang membuat Die menaikkan satu alisnya. "Ah, maaf!" ucapku. "Aku nggak bermaksud buruk, hanya ingin tahu apa kamu bahagia jadi aku," jelasku, mencegah agar dia nggak salah paham. Die tersenyum lagi. "Ya, sangat!" katanya. "Tapi aku akan lebih bahagia jika kita bisa kembali seperti semula, Pol. Bagaimanapun ini semua adalah milikmu!" katanya yang lagi-lagi membuat wajah sedih yang membuatku ikut sedih. Aku menghampiri Die lalu memeluknya. "Kita akan bahagia bersama, Die!" kataku. Die membalas pelukanku. "Jangan menjanjikan sesuatu yang nggak bisa kamu tepati, Pol!" katanya lalu berusaha mendorongmu pergi. Aku mempererat pelukanku. "Nggak, Die! Kita akan baik-baik saja san bahagia bersama!" janjiku. Die menyerah, dibiarkannya aku memeluk tubuhku sendiri. Ini memang menggelikan tetapi entah kenapa aku nggak merasa jijik melakukan ini. Aku melepaskan pelukanku sesaat kemudian. Kami pun mulai belajar bersama. Die menyimak dengan seksama apa yang aku ajarkan padanya. Mama sempat masuk ke kamar, mengantarkan minuman dan camilan. Aku nyaris memeluknya lagi tetapi Die berhasil mencegahku. Sekitar tiga jam otakku berusaha menerangkan dengan cara mudah rumus-rumus dan juga cara menyelesaikan soal pada Die, kami memutuskan untuk menghentikan belajar kami. Hari sudah malam dan akan sangat berbahaya jika aku pulang terlalu malam. Life nggak bisa menjemputku, lelaki itu memiliki shift kerja malam. Dia baru akan pulang sekitar dini hari. Setelah berpamitan, Die menawarkan diri mengantarku dengan sepeda. Untuk tawaran itu, aku setuju. Bagiku bersamanya jauh lebih aman. "Hei, Pol, jika besok aku bisa mengerjakan soal dengan baik dan menjadi juara, apa kamu mau mengabulkan satu permohonanku?" tanya Die sembari mengayuh sepeda. Dia memang perempuan tetapi sekarang dia sebagai lelaki. Jadi, maaf saja jika harus dia yang mengayuh sepedanya. "Apa itu?" tanyaku. "Aku ingin jalan-jalan," jawabnya. "Kemana?" tanyaku lagi. "Pantai," jawabnya. "Atau kolam renang!" Aku berpikir sejenak. "Apa kamu belum pernah kesana?" tanyaku. Die mengangguk. "Baiklah," jawabku tanpa berniat menanyakan alasan mengapa dia nggak pernah ke pantai atau kolam renang. Karena sepertinya, aku bisa menebak alasannya tanpa harus menanyakannya. "Apa kamu nggak masalah dengan itu?" tanya Die menanyakan kembali keputusanku. "Ya, tentu. Jangan khawatir." Die terdengar tertawa senang. "Janji?" "Ya, janji." Kami melewati sebuah kosan dan aku melihat kak Sandra, salah satu penghuni kosan yang selalu menyapaku berdiri membelakangi jalanan sambil menunjuk ke jendela kamar di depannya. Entah itu kamar siapa yang jelas, sepertinya itu bukan kamar kak Sandra. "Die, hentikan sepedanya!" pintaku. Die menurut. Dia menghentikan sepedanya membuatku langsung turun dan menatap kak Sandra yang masih berdiri dengan pose yang sama. Jarakku dan kak Sandra cukup jauh. "Ada apa, Pol?" tanya Die merasa heran. "Lihat Die!" tunjukku pada kak Sandra. "Sejak tadi dia berdiri di sana sambil menunjuk ke sebuah kamar, menurutmu mengapa dia begitu?" tanyaku merasa penasaran. Die menautkan alisnya. "Apa maksudmu?" tanyanya yang membuatku melongo. "Lihat Die! Ada kak Sandra sedang-" "Aaa!" pekikku saat melihat kak Sandra sudah berada di depanku dengan wajah menakutkan. Aku memejamkan mata, tak sanggup rasanya melihat kak Sandra yang aku kenal dalam keadaan seperti itu. Matanya terbebelak, lidahnya terjulur dan ada bekas jeratan di lehernya yang membuat mulut, mata dan hidungnya mengeluarkan darah. Walau bukan ahli forensik, aku perkirakan dia meninggal dunia karena digantung. "Ada apa Pol?" tanya Die merasa khawatir. Aku hanya berdiri gemetar dengan mata terpejam. "Jika maksudmu Sandra, kudengar dia temukan tewas kemarin pagi di kamar kosnya!" kata Die. Aku merutuki diriku karena gegabah melakukan sesuatu hingga nggak sadar bahwa yang aku lihat bukanlah manusia. "Ada apa? Kamu melihat setan?" tanya Die. Aku mengangguk cepat. Die tampak menghembuskan napas berat. "Mereka akan datang, Pol. Entah untuk sekadar lewat, mengganggu atau meminta bantuan. Jika tujuannya yang ketiga, kamu harus bijaksana. Pertolongan yang kamu berikan nggak boleh melibatkan nyawa!" nasehat Die. "Jadi, apa yang dia mau?" tanya Die. Aku berani membuka mataku saat aura gelap di sekitar kak Sandra menghilang. Dia menyambutku dengan wajah yang sama dengan saat dia masih hidup jika bertemu denganku. Wajah ramah dengan senyuman manis. Dia membisikkan sesuatu lalu menghilang. Die menepuk pundakku membuatku menoleh ke arahnya. "Apa yang dia mau?" tanyanya. "Menangkap pembunuhnya," jawabku. Alis Die tertaut sempurna. "Pembunuh? Aku dengar dia tawas gantung diri karena stress," jawabnya yang membuatku menggeleng pelan. "Nggak, Die! Dia dibunuh!" jawabku sembari melihat ke sosok lelaki yang baru saha keluar dari kos yang sama dengan kak Sandra. Die menatap sosok lelaki yang saat ini aku tatap. "Berhati-hatilah, Pol! Jika salah langkah, kita akan bernasib sama dengan Sandra!" Aku menelan ludah, menatap lelaki yang tampaknya sadar sedang diperhatikan. Dia melambaikan tangan ke arah Die membuat Die terpaksa membalas lambaian tangannya. "Kamu yakin dia pembunuhnya?" tanya Die. Aku mengangguk. "Kak Sandra bilang begitu," jawabku. Die menghela napas panjang. "Sebaiknya kita meneruskan perjalanan. Aku nggak mau mati konyol malam ini!" katanya yang membuatku terpaksa menuruti keinginannya. Pembunuh? Kata-kata Life waktu itu tergiang kembali di telingaku. "Hei, Die." "Ya?" Apa kamu pernah membunuh seseorang? "Ada apa?" tanya Die lagi. "Nggak ada," jawabku. "Dasar aneh," katanya lalu mulai mengayuh. Aku mendongakkan kepalaku ke atas dan melihat betapa banyak setan berkeliaran di atas bak bintang-bintang.                 Die aku berharap apa yang Life katakan waktu itu salah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN