"Jangan memanggilnya meski hanya dalam hati. Karena jika itu terjadi, kamu harus berhati-hati. Sebab dia akan datang meski nggak diundang!"
❣❣❣
"Kamu siapa?" tanya Life yang membuatku hanya mampu terdiam, beku.
Apa aku sudah ketahuan olehnya?
"Die!!"
Teriakan keras itu membuatku dan Life menoleh bersamaan. Die yang dalam wujud diriku datang dan langsung mendekat serta memeriksa keadaanku.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya dengan cemas.
Aku hanya tertegun, nggak tahu harus bereaksi seperti apa. Reaksinya berlebihan, Die sudah mirip seorang kekasih yang mencemaskan pasangannya.
"Aku nggak apa-apa, Di- Pol!" jawabku yang nyaris saja salah menyebut nama.
Die tampak lega, bukan hanya karena aku baik-baik saja melainkan juga karena segera meralat ucapanku. Dia mengeluarkan tisu, berpura-pura menyeka keringatku.
"Tanggapi Life dengan dingin, begitu caraku menghadapinya selama ini!" bisik Die lirih tepat di dekat telingaku.
Aku mengangguk mengerti. Tanpa menunggu waktu lagi, aku segera mengekspresikan diriku seperti Die yang biasa aku lihat selama ini. Entah apakah ekspresi yang aku hasilkan sama dengan wajah Die biasanya atau nggak, aku nggak tahu. Aku hanya bisa berusaha menirunya. Setidaknya agar Life nggak curiga.
Bagaimanapun akan sangat canggung jika dia tahu bahwa aku bukan Die. Lagipula, apa dia akan percaya jika aku katakan bahwa aku bukan Die tetapi Pol?
"Aku menelpon kakakmu tadi," ucap Die memberi informasi seolah dia sudah tahu bahwa aku akan sangat penasaran mengapa Life bisa berada di sekolah.
Aku mencoba melirik Life, lelaki itu hanya menatapku sebentar lalu menoleh ke arah lain.
See? Dia masih saja begitu menyebalkan.
"Pulanglah! Kamu dalam keadaan kurang sehat!" kata Die lagi. Nada suaranya terdengar memerintah bukan menyarankan.
Aku hanya mengangguk lalu menatap Life yang sudah berdiri. Lelaki itu tetap nggak mengatakan apapun, hanya menatapku dingin. Bibirnya tertutup rapat seolah dia nggak berniat mengatakan apapun.
"Ayo pulang!" ajak Life yang membuatku dan Die menatap heran ke arahnya bersamaan.
"Dan kamu!" tunjuk Life pada Die.
"Menjauhlah dari adikku!" kecamnya yang membuat Die dan Life bertatapan dengan dengan sorot mata yang nggak ingin aku terjemahkan.
Aku menelan ludah menatap kejadian itu. Entah kenapa aku bersyukur berada di dalam tubuh Die sekarang. Jika aku ditatap begitu oleh kakak dari kekasihku, maka aku pasti sudah lari sambil terkencing-kencing.
Wait? Kakak dari kekasihku? Sadarkan dirimu, Pol. Kamu dan Die hanya pacaran pura-pura!
"Aku sudah bicara dengan gurumu, jadi ayo pulang sekarang!" ucap Life lagi.
Aku mengangguk.
"Pol, Pol!"
Teriakan itu membuat kami bertiga menoleh, Tsabit datang dengan membawa tas milikku.
"Ini," katanya menyerahkan tas milikku pada Die. Sepertinya dia masih nggak berani untuk menghadapi Die secara langsung. Padahal tadi dia menjelek-jelekkan aku, sekarang malah menempel pada Die.
Dasar teman karbetan.
"Pulanglah!" suruh Die.
Aku mengangguk lalu mengulurkan tanganku, hendak menerima saat Die akan memasangkan tas miliknya padaku. Namun belum juga terpasang, Life sudah merebut paksa tas itu.
"Nggak usah perhatian, kamu nggak tahu apapun tentangnya!" ujar Life sambil menatap tajam ke arah Die.
Die sempat tercekat karena Life merampas secara tiba-tiba tas di tangannya. Namun sekarang, gadis itu tampak sudah lebih baik. Dia lebih tenang dan sebagai seorang Pol yang biasanya terlihat ceria dan penakut, ekspresi yang Die tunjukkan saat ini sebagai diriku sungguh ingin aku hadiahkan piala oscar. Nggak ada secuil pun ketakutan di dalam sorot matanya.
"Jangan memancingku, Life!" ucap Die dengan tegas.
Life berdecak.
"Aku belum mengizinkanmu untuk mengencani adikku, jadi perbaiki sikapmu!" sahut Life.
Die mendecih.
"Aku nggak perlu izin darimu untuk itu!" balas Die.
Mereka kembali bertatapan. Aku dan Tsabit hanya terdiam, bisa aku rasakan aura ketegangan yang begitu mencekik leher saat ini.
"Sebaiknya kamu pulang," celetuk Tsabit padaku.
Aku mengangguk setuju lalu segera keluar dari ruangan UKS. Tak lama kemudian aku mendengar langkah kaki dimana hanya perlu waktu singkat untuk sejajar denganku. Ya, itu Life, kakak Die.
Aku memberanikan diriku untuk menoleh ke arahnya. Awalnya kupikir wajah tegang menakutkan yang akan aku lihat, ternyata aku salah. Saat ini aku melihat Life tersenyum.
"Ini akan sangat menyenangkan," gumamnya yang membuatku bertanya-tanya.
Apa maksud ucapannya itu?
***
Aku dan Life sudah berada di dalam mobil. Selama dalam perjalanan, Life nggak mengajakku bicara. Aku juga nggak berniat untuk membahas apapun dengannya. Jadi, aku hanya duduk dengan punggung dan kepala yang bersandar pada jok kursi. Setelahnya, aku arahkan pandanganku ke jendela. Melihat pepohanan dan jalanan terasa lebih baik daripada harus melihat wajah Life.
"Kamu baik-baik saja?" pertanyaan itu meluncur dari bibir Life membuatku yang nyaris tertidur menoleh kaget ke arahnya.
"Mengapa kamu terkejut? Bukankah wajar jika aku mengkhawatirkan adikku?" kilahnya membuatku menaikkan satu alisku.
"Apa setan yang kamu lihat begitu mengerikan?" tanyanya membuatku hanya mampu mengerjabkan mata dua kali.
Life masih menatapku, menunggu jawaban dariku. Aku yang ditatap begitu hanya membeku. Sejujurnya, aku nggak tahu batas antara 'setan mengerikan' versi aku dan Die.
"Bagaimana?" tanya Life lagi seolah mendesakku untuk menjawab.
"Cukup mengerikan untuk membuatmu merasa ingin mati," jawabku pelan.
Life menyeringai.
"Ingin mati?" ulangnya seolah nggak percaya dengan apa yang aku katakan.
Aku mengangguk pelan.
"Bukankah kamu memang ditakdirkan untuk melihat orang mati, Die?"
Eh?
"Terima saja takdirmu dan berhenti menyusahkan orang yang hidup. Lagipula, cepat atau lambat, pacarmu pasti akan pergi meninggalkanmu begitu tahu bahwa kamu hanyalah petaka baginya," imbuhnya.
Aku mengepalkan tinjuku kuat-kuat. Rasanya aku ingin meloncat turun saat ini juga daripada harus satu mobil dengan lelaki menyebalkan sepertinya. Namun belum juga aku lakukan itu, mobil berhenti.
Aku menoleh ke daerah sekitar. Ada banyak bau busuk, anyir dan juga Kamboja yang tercium. Saat memastikan apa yang aku lihat, aku jadi merasa benar dengan dugaanku.
"Mengapa kita ke pemakaman?" tanyaku pada Life dengan nada suara yang tentu saja nggak enak didengar, seperti menghardik tetapi dengan suara rendah.
"Aku ada urusan," jawabnya enteng.
"Diamlah di sini, jangan kemana-mana!" katanya sambil melepas sabuk pengamannya.
"Aku ikut!" ucapku.
"Nggak!" sahut Life tegas.
Aku tatap Life yang kini menatapku dengan marah.
Ada apa dengannya? Mengapa dia berekspresi begitu?
"Mengapa aku nggak boleh ikut?" tanyaku bersikeras, mencoba mengabaikan tatapan marah darinya.
"Kamu lupa?" katanya.
Soal apa?
"Pembunuh sepertimu nggak pantas untuk menunjukkan muka di makam ayah," lanjutnya yang membuat kepalan tanganku melonggar.
Pembunuh? Siapa?
"Diam saja di sini dan jangan banyak bicara," ujar Life memperingatkan.
Aku hanya diam.
"Ah, satu lagi. Kamu tahu kan ini pemakaman? Jangan memanggilnya meski hanya dalam hati. Karena jika itu terjadi, kamu harus berhati-hati. Mereka akan datang, bahkan meski tanpa diundang," imbuhnya lalu keluar dari mobil.
Aku hanya menghela napas berat. Rasanya menjadi adiknya terlalu lama hanya akan membuatku segera mati. Life benar-benar menguji kesabaran.
Selepas Life pergi, aku hanya menyandarkan punggung dengan mata terpejam. Lama-kelamaan terasa panas jadi aku turunkan sedikit kaca jendela mobilnya. Namun bukannya angin segar yang aku rasakan, angin panas kasar yang terasa.
Aku melongok keluar jendela, menatap ke sekeliling. Pepohonan yang rimbun, batu-batu nisan dan juga langit yang rada mendung. Awan gelap dan angin dingin yang membuat badan terasa sakit membuatku menutup lagi jendela mobil.
Deg!
Aku memicingkan mata, menatap sesesok seseorang yang berdiri di bawah pohon Kamboja nggak jauh dari tempatku. Wajahnya buram mungkin karena jarak kami yang cukup jauh. Siapa itu? Setan?
Bulu kudukku meremang dengan pemikiran dari batinku sendiri itu. Entah kenapa rasa takut mencuat begitu saja. Aku pun memalingkan wajahku ke arah lain. Namun, pemandangan yang sama terlihat. Bedanya, jarak di antara kami terasa sedikit lebih dekat. Walau aku tetap saja belum bisa melihat wajahnya dengan jelas. Buram.
Aku memalingkan wajahku sekali lagi ke arah yang berbeda. Kembali, aku melihatnya. Kali ini dia berdiri tepat di luar mobilku. Aku menelan ludah, rasa takutku semakin membesar. Keringat dingin merembes dari punggungku. Rasanya aku nggak sabar agar Life segera datang. Walau dia menyebalkan, setidaknya dia manusia.
Aku bergidik ngeri saat sesosok itu benar-benar ada di jendela mobil. Aku menjerit ketakutan saat menoleh ke jendela sebelah kiri dan wajahnya sudah tertempel di sana seolah dia sengaja menunjukkan rupanya padaku.
Dia memiliki wajah yang bisa dibilang cukup aneh. Matanya hanya ada satu di sebelah kiri. Sedangkan di mata kanan nggak ada mata, lubang atau apapun. Hanya kulit polos seolah memang nggak ada apapun dari awal disana. Mulutnya lebar dengan gigi-gigi tajam bak gigi hiu. Mengerikannya, hidungnya nggak ada.
Aku beringsut menuju ke tempat duduk Life, berniat untuk keluar dari sana saat sosok mengerikan itu mulai mengangkat tangannya. Di tangannya hanya ada tiga jari di mana setiap jari memiliki kuku panjang yang mengerikan. Tiba-tiba kuku tangannya mencuat dan menghancurkan kaca jendela hingga terdengar bunyi pecahan kaca yang memekakkan telinga. Makhluk itu mengayunkan tangannya, hendak menancapkan kuku panjang dan menjijikkan itu padaku. Tepat sebelum kuku tajam itu menancap di tubuh, aku berhasil membuka pintu mobil.
Aku segera berlari menuju ke arah jalan yang tadi Life lewati. Saat aku mendapati lelaki menyebalkan itu sedang duduk di salah satu makam, aku segera menghampirinya.
"Life, Life, Life!" jeritku dengan histeris.
Life yang sedang berdoa menoleh ke arahku. Dia menautkan alisnya begitu aku datang dan menyerbu masuk ke dalam pelukannya. Aku meremas baju yang Life kenakan dengan kuat membuat lelaki yang hendak melepaskan diri dariku itu mengurungkan niatnya.
"Dia datang, benar-benar datang!" ucapku dengan air mata yang meleleh.
Entah kenapa sejak menjadi Die, aku menjadi seseorang yang cengeng. Life hanya diam, membiarkan aku menangis.
Setelah merasa aman, aku melepaskan diri dari Life. Lelaki yang biasanya menyebalkan itu hanya meraih tanganku dan mengandeng tanganku hingga mobil.
"Kamu sudah aman," katanya setelah membuka pintu mobil.
Aku hanya mengangguk lalu masuk ke dalam mobil.
Life menutup pintu mobil lalu berjalan memutar untuk menuju tempat duduknya. Aku meremas jemariku sembari menyeka air mata dan juga keringatku.
"Kita pulang!" ajak Life.
Aku hanya mengangguk dan nggak bicara apapun setelahnya. Walau aku bertanya-tanya, siapa lelaki berpakaian putih dengan rantai besar mengikat lehernya yang selalu berdiri di belakang Life sejak kami tiba di pemakaman.