Sembilan

1556 Kata
"Terkadang, kita harus melakukan kesalahan untuk tahu seberapa berharganya kehidupan." ❣❣❣ Die memberikku segelas air yang dibelinya di kantin. Aku menerima pemberian Dia lalu segera meneguknya hingga habis. Kami sedang duduk berdua di UKS saat ini. Die membawaku ke sini setelah insiden mengerikan sekaligus mengharukan itu terjadi. Die bilang di sini adalah tempat yang aman. Aman dari para setan, juga anak-anak yang lain. Akan sangat menyebalkan jika muncul gosip bahwa Die memeluk Pol sambil menangis. Bagaimanapun harga diri Die dipertaruhkan. Walau yang menangis sebenarnya adalah aku. "Kamu sudah merasa lebih baik, Pol?" tanya Die. Aku mengangguk lalu menyerahkan gelas air minum yang kosong. Die menerima gelas kosong itu lalu membuangnya ke tempat sampah. "Apa kamu butuh sesuatu?" tanya Die. Aku menggelengkan kepala. "Nggak ada," jawabku lirih. Sejujurnya, aku masih shock. Bahkan aku butuh terapi jika terus mengalami kejadian seperti tadi. Ini adalah pertama kalinya aku merasakan takut yang membuatku merasa akan mati. Saat aku pergi mendaki gunung, belajar sepeda motor atau naik wahana mengerikan sejenis tornado atau rollercoaster, aku nggak pernah se takut itu. "Pol," panggil Die sambil menepuk pundakku. Aku mendongak, menatapnya yang saat ini berdiri di depanku. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya merasa cemas. Aku mengangguk. "Aku hanya sedikit shock," jawabku mencoba memintanya memberikan waktu padaku untuk menenangkan diriku. Die mengangguk mengerti lalu duduk di sampingku sembari menggenggam erat tanganku. "Maaf, Pol!" ucapnya dengan nada yang menunjukkan rasa bersalah. "Untuk apa?" tanyaku. "Karena keegoisanku, kamu mengalami hal-hal mengerikan. Maafkan aku!" jawabnya. "Die," ucapku sembari membalas genggaman tangannya. "Aku nggak apa-apa," kataku berusaha menenangkannya. "Semua yang terjadi bukan salahmu. Aku saja yang terlalu penasaran hingga terjadi hal-hal yang di luar perkiraan!" imbuhku. Die menghela napas berat. "Ini semua salahku, Pol!" katanya masih menyalahkan dirinya sendiri. "Nggak, Die!" sanggahku. "Ini semua salahku. Aku berbuat kesalahan dan mengakibatkan hal buruk untukmu. Jika saja waktu itu aku nggak menciummu maka." "Die!" kataku memotong ucapannya. "Jangan begitu. Terkadang, kita harus melakukan kesalahan untuk tahu seberapa berharganya kehidupan. Jangan menyesal setelah semua yang terjadi. Kita hanya perlu memperbaikinya!" kataku. Die tampak masih murung. Aku melepaskan genggaman tangan kami lalu menangkupkan kedua tanganku di pipinya. Walau rada enggan karena melakukannya pada tubuhku sendiri, nggak mengapa jika ini diperlukan untuk menenangkannya. Mata kami beradu. "Dengar, Die. Jika kamu menyalahkan dirimu lagi, aku benar-benar akan sangat tersinggung. Anggap saja sekarang kita sedang menjalani kehidupan yang berbeda untuk sebuah penelitian. Jadi, tolong jadilah Pol yang lebih hebat dari sebelumnya!" kataku panjang-lebar. "Cintailah Pol seperti kamu mencintai dirimu sendiri! Dengan begitu aku akan mencintai Die seperti…." Aku nggak mampu menggenapi kata-kataku sendiri saat melihat Tsabit masuk tanpa aba-aba dan seketika menganga. Dia memergoki aku dan Die dalam pose yang sungguh membuat orang akan salah paham. Karena di matanya saat ini, dia sedang melihat seorang Die yang dingin melakukan pose romantis untuk seorang Pol. "Bit, ini nggak…" Aku merutuki diriku saat Tsabit menyipitkan matanya dengan bibir yang menyunggingkan sebuah senyuman lebar menyebalkan. "Maaf ganggu! Silahkan lanjutkan, Pol! Aku mendukungmu!" katanya sambil melirik Die yang saat ini hanya menatapnya dengan dingin. Tsabit hendak pergi meninggalkan kami tetapi Die bergerak cepat. Dia pegang tangan Tsabit dengan kuat memaksanya untuk tetap berada di sana. Tsabit yang nggak pernah diperlakukan begitu sempat terkejut. "Kami sudah selesai," kata Die tanpa tahu malu. Aku melebarkan pupil mataku, merutuki ucapan Die yang seolah mengakui bahwa kami sedang melakukan sesuatu seperti yang Tsabit pikirkan. Ini benar-benar konyol. Jika tahu begini, aku nggak akan melakukan apapun untuk menenangkannya. Dasar Die bodoh! "Bit, bisa kamu jaga Pol sebentar?" tanyanya. Tsabit menautkan alisnya, bingung. Aku pun segera menyikut lengan Die. "Ah, maksudku bisakah kamu menjaga Die sebentar? Ada sesuatu yang harus aku lakukan," pinta Die pada Tsabit. Tsabit sempat menggaruk kepalanya yang nggak gatal. Dia menatapku dulu sebelum memberikan jawaban. "Apa kamu nggak apa-apa bersamaku?" tanyanya padaku. Sebenarnya aku nggak masalah dengan Tsabit tetapi tentu saja dia menganggap suasana akan canggung. Karena bagaimanapun saat ini, aku berada di tubuh Die, gadis yang nggak pernah bicara dengannya selama tiga tahun meski bersekolah di sekolah yang sama. "Nggak masalah, kamu akan terbiasa dengannya!" sahut Die membuat pandangan Tsabit mengarah lagi kepadanya. "Bagaimana kamu seyakin itu Pol?" tanya Tsabit pada Die. Die nggak menjawab, hanya menepuk pundak temanku itu. "Tolong jaga dia!" pintanya lalu keluar tanpa menunggu jawaban dari Tsabit. Die tampak pergi dengan tergesa-gesa. Raut wajahnya kelihatan tegang membuatku merasa penasaran dengan apa yang akan dia lakukan. Nggak! Tenang saja, aku nggak sebodoh itu untuk melempar diriku pada ketakutan yang sama. Selepas Die pergi, Tsabit hanya berdiri tenang dengan punggung menyandar di tembok UKS. Sesekali dia melirikku walau kemudian memalingkan wajahnya begitu aku menoleh ke arahnya. "Ada apa?" tanyaku setelah merasa jengah karena diperhatikan terus-menerus. Tsabit hanya menggeleng lalu menoleh ke arah sembarang. "Ada apa? Kamu mau menanyakan sesuatu?" tanyaku, memaksanya untuk berhenti menahan diri dan lekas menanyakan apa yang ada di pikirannya sekarang. "Hei Die, boleh aku bertanya sesuatu kepadamu?" tanyanya merasa sedikit sungkan untuk segera to the point. Aku mengangguk mengiyakan. "Silahkan!" "Kenapa kamu mau menjadi pacar Pol?" tanyanya yang membuatku menatap tajam ke arahnya. "Mengapa?" tanya Tsabit merasa nggak enak ditatap begitu. "Apa pertanyaanku terlalu privasi?" imbuhnya. Aku hanya menggelengkan kepalaku pelan. "Nggak," jawabku. "Hanya saja aku rasa itu bukan sesuatu yang penting untuk ditanyakan." Tsabit menggelengkan kepala sembari menggerakkan satu jarinya kiri-kanan. "Itu sangat penting, Die," sanggah Tsabit. "Maksudku apa yang kamu suka dari cowok pelit, menyebalkan dan sok pintar seperti Pol?" tanyanya yang membuat tinjuku terkepal tanpa sadar. Jadi begitu dia menilaiku selama ini huh? "Jangan marah dulu, Die," kata Tsabit dengan kedua tangan di arahkan ke depan. "Aku bukan bermaksud buruk, hanya saja aku nggak mau Pol terluka. Jadi, jika kamu hanya bermain-main dengannya, putus saja darinya!" kata Tsabit yang membuat kepalan tinjuku melonggar. Jadi dia mengkhawatirkan aku? Aku menghela napas panjang lalu memalingkan wajahku ke arah lain. Awalnya berniat untuk menghindari tatapan mata Tsabit tetapi keputusanku salah. Ada seorang anak kecil di luar jendela UKS. Dia memakai pakaian yang entah dari zaman kapan, terlihat kuno sekali. Aku belum pernah menemukan pakaian sejenis itu. Rambutnya rapi dengan poni yang membuat wajahnya terkesan imut seandainya wajahnya bukan kulit pucat dan lingkar matanya nggak sehitam mata panda. Dia nyaris menangkap tatapanku seandainya aku nggak segera memalingkan wajah. Ada cermin tergantung dan bisa aku melihat perubahan warna mataku. Salah satu mataku sudah berubah menjadi warna merah. Ini gawat! "Die," panggil Tsabit. Aku segera menutup mata kananku. "Pergi!" usirku pada Tsabit. "Heh?" Tsabit melongo, raut wajahnya menunjukkan kebingungan. "Pergi, Bit!" usirku lagi. Tsabit mengerutkan dahi. "Ada apa dengan matamu? Apa kamu terluka? Tapi kenapa?" tanyanya bertubi-tubi. Rasa penasarannya memang tinggi walau nggak setinggi rasa ingin tahuku. Karena itu kami berteman, sama-sama memiliki rasa ingin tahu yang besar. Namun saat ini, aku membenci sifat ingin tahunya itu. "Pergi!" usirku sekali lagi. "Apa kamu marah padaku, Die?" tanya Tsabit masih nggak beranjak dari tempatnya berdiri. Bulu kudukku meremang saat mendengar jendela UKS diketuk. Setan anak kecil itu agaknya mulai mencoba untuk menarik perhatian atau mungkin menguji apakah aku bisa melihatnya atau nggak. "Pergilah, Bit!" mohonku putus asa. Tsabit menatap heran kepadaku. "Ada apa? Kenapa wajahmu terlihat ketakutan?" tanyanya kebingungan. Aku terpaksa menarik tangan Tsabit dan menyeretnya ke pintu UKS. "Wait! Wait! Ada apa ini, Die? Mengapa kamu menyeretku?" tanya Tsabit dengan panik. "Keluar! Keluar sekarang juga!" hardikku. Tsabit menautkan alis. "Mengapa matamu merah Die?" tanyanya. Aku panik hingga terpaksa mendorongnya keluar sehingga Tsabit terjatuh. Setelahnya aku menutup pintu UKS. Tsabit mencoba masuk tetapi nggak bisa. Aku nggak menguncinya. Penyebab Tsabit nggak bisa membukanya adalah mungkin karena sesuatu yang kini berada di belakangku. Aku menelan ludah. Memang, aku belum melihatnya tetapi dari aura jahat, besar dan muram itu terasa, pasti sesuatu itu adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Suhu ruangan di UKS mendadak sangat panas membuat keringatku bercucuran tanpa butuh waktu lama. Ketukan di jendela tak lagi terdengar, entah ke mana Setan anak kecil itu pergi. Yang jelas aku berharap dialah yang kini ada di belakangku. Aku nggak mau menghadapi sesuatu yang mengerikan lagi. Dengan keberanian yang sangat sedikit, nyaris habis bahkan, aku menoleh ke belakang dengan perlahan. Aku bernapas lega begitu nggak melihat apapun. "Nggak ada apa-apa," gumamku. Aku tersenyum geli karena ketakutan sendiri. Aku berbalik menuju pintu lagi dan keluar. "Aaaa!" jeritku panik hingga terjungkal ke belakang. Seorang perempuan berambut panjang dengan wajah pucat penuh dengan urat-urat serta bola mata yang tinggal putihnya saja sudah berdiri di depanku. Dia menghalangiku untuk keluar. Aku yang jatuh terduduk di lantai hanya bisa menyeret tubuhku ke belakang, mundur, saat perempun dengan gerakan patah-patah seolah tulang dan sendi darinya telah hancur, mulai berjalan menuju ke arahku. Tubuhku gemetaran dan air mataku tumpah saat dengan gerakan lambat kepala perempuan itu mulai memutar 360 derajat. Aku ingin menjerit lagi tetapi suaraku nggak keluar meski mulutku terbuka lebar. Lalu, perempuan itu tiba-tiba jatuh ke depan, dalam posisi yang seolah siap untuk merangkak. Seringai jahat terlukis di wajahnya, membuatku semakin takut setengah mati. Dia bahkan lebih mengerikan dari hantu yang aku temui di jalan waktu itu. Perempuan itu mulai merangkak maju, sedangkan aku mulai tersudut di pojok. Tubuhku beku saat dia mulai mendekat. Aku hanya mampu memejamkan mataku dan mengeluarkan bunyi gemertak dari bibirku. Napasku tersengal-sengal, turun-naik dengan cepat saat merasakan bahwa wajah perempuan yang merangkak itu kini sudah berada di depanku. Die. Die. Tolong aku! Batinku menjerit meminta bantuan. Namun rasanya kehadiran Die nggak akan membawa dampak apapun. Mungkin ini adalah waktunya aku mati. Selamat tinggal du-.. Bersamaan dengan pintu yang dibuka, aura kehadiran perempuan itu menghilang dalam sekejap. Untuk beberapa saat aku hanya diam dengan mata terpejam, tak berani membuka mata. Baru setelah terdengar langkah kaki yang mendekat dan berhenti tepat di dekatku, aku berani membuka mataku. Aku tercenung menatap seorang lelaki yang kini sudah berjongkok di depanku. Ya, itu adalah Life, kakak Die. Bagaimana bisa dia di sini? "Aku sudah lama mengenalmu, Die," katanya. "Ini pertama kalinya aku melihatmu ketakutan sampai menangis," lanjut Life sambil menatapku dengan penuh selidik. "Kamu nggak seperti adikku." Aku menelan ludah. Pahit. "Siapa kamu?" Aku membeku. Bingung. Apa aku sudah ketahuan olehnya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN