Esoknya, jam sepuluh malam. Selat lihat jam dinding. Kok, Ana belum pulang? Sengaja atau gimana, ya? Apa gara-gara marah? Susul ke butik atau telepon saja, ya, baiknya? Karena mau dikata apa pun, Ana adalah istrinya, tanggung jawabnya, terlebih Papi Langit rutin menerornya. Jadi, wajar kalau Selat cemas dan peduli terhadap Ana, meski nggak cinta. Yang baru akan Selat hubungi, pintu rumah sudah dibuka, memunculkan sosok Palung Mariana dari sana, tampak lelah wajahnya. "Mau aku bikinin s**u, gak?" "Makasih. Saya mau langsung istirahat." Tanpa menoleh dan berhenti melangkah. Punggung itu Selat pandangi. Seperti ada dinding yang sangat tinggi dan Selat merasa untuk melewati dinding itu, usahanya harus melebihi kata maksimal. Pintu kamar Ana ditutup dan orangnya sudah masuk. Ana menanggalk