Happy Reading
Rapat direksi pemegang saham PT Airlangga berlangsung dalam suasana tegang yang mencekam. Kehadiran Kania Putri Airlangga, putri tunggal pemilik perusahaan, menjadi pusat perhatian dan sumber ketegangan yang tak terduga. Para pemegang saham, yang terbiasa melihat Kania dalam balutan busana santai dan riasan tebal, terkejut melihat transformasi drastisnya.
Ia tampil dengan aura yang berbeda, jauh dari kesan manja yang selama ini melekat padanya. Kemeja putih yang dibalut jas hitam serta rok selutut berwarna senada, membuatnya terlihat profesional dan berwibawa. Ekspresi wajahnya datar dan tegas, tanpa senyum yang biasa menghiasi bibirnya. Perubahan ini menimbulkan bisik-bisik dan tatapan penuh tanya di antara para hadirin.
Julio Sanjaya, suami Kania dan CEO PT Airlangga saat itu, tercengang melihat penampilan istrinya. Ia tak dapat menyembunyikan keterkejutannya, mulutnya sedikit terbuka, mencerna perubahan drastis yang terjadi pada wanita yang dinikahinya setahun lalu itu. Ia terbiasa melihat Kania dengan dress pendek, atasan model sabrina yang memperlihatkan leher jenjangnya, dan riasan yang mencolok. Kini, di hadapannya, berdiri seorang wanita yang berbeda, seorang wanita dengan aura kepemimpinan yang kuat.
Di sudut ruangan, Feya, memandang Kania dengan sinis. Pikirannya dipenuhi rasa iri dan dengki. "Wanita bodoh itu! Apa yang dia lakukan di kantor? Bukankah sebaiknya dia di rumah saja?" batin Feya. Ia merasa terancam dengan kehadiran Kania.
Seorang pemegang saham, dengan nada heran dan sedikit merendahkan, bertanya kepada Kania, "Nyonya Sanjaya, apa yang membuat Anda hadir di rapat penting ini? Bukankah lebih baik Anda beristirahat di rumah?"
Pertanyaan ini mencerminkan pandangan umum para pemegang saham terhadap Kania, yang selama ini dianggap tidak kompeten dan hanya mengandalkan statusnya sebagai putri pemilik perusahaan.
Dengan suara tegas dan penuh percaya diri, Kania menjawab, "Saya hadir di sini untuk mengambil alih posisi CEO PT Airlangga, posisi yang sebelumnya dipegang oleh Tuan Julio Sanjaya."
Pernyataan ini bagai petir di siang bolong. Ruangan rapat menjadi hening seketika. Semua mata tertuju pada Kania, dipenuhi rasa tak percaya. Bagaimana mungkin wanita yang selama ini dikenal manja dan bodoh, berani mengambil alih posisi penting seperti CEO?
Pandu, direktur cabang Airlangga Corp di wilayah barat, mencoba membujuk Kania untuk mengurungkan niatnya. "Nyonya Sanjaya, sebaiknya Anda beristirahat di rumah saja. Tidak perlu repot-repot datang ke kantor. Tuan Sanjaya mampu memimpin perusahaan ini dengan baik," ujarnya dengan nada persuasif.
Julio, yang sedari tadi terdiam, terus mengamati istrinya. Ia menyadari ada perubahan besar dalam diri Kania. Dugaannya ini terbukti, Kania benar-benar telah berubah. Ia menunggu dengan sabar, menantikan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Tak lama kemudian, Alex Airlangga, pemilik PT Airlangga dan ayah Kania, memasuki ruang rapat. Semua orang berdiri dan memberi hormat. Alex berjalan menuju kursinya di tengah ruangan, matanya menatap Kania dengan penuh kasih sayang dan kebanggaan. Ia yakin dengan keputusannya untuk menyerahkan kepemimpinan perusahaan kepada putrinya. Ia tahu potensi Kania yang sebenarnya, yang selama ini tersembunyi di balik sikap manjanya.
Dengan suara lantang dan penuh wibawa, Alex mengumumkan, "Saya telah memutuskan bahwa posisi CEO PT Airlangga akan digantikan oleh putri saya, Kania Putri Airlangga. Julio Sanjaya akan menjadi wakilnya mulai hari ini."
Keputusan ini sudah bulat dan tidak dapat diganggu gugat.
Kania tersenyum tipis, tatapannya tertuju pada Feya. "Feya," ujarnya dengan suara tegas, "mulai hari ini, kau akan menjadi sekretarisku!" Pernyataan ini membuat Feya terkejut dan terdiam.
Feya membelalakkan matanya, ketidakpercayaan terpancar jelas di wajahnya. Ucapan Kania bagai petir di siang bolong, menggelegar dan tak masuk akal. Bagaimana mungkin wanita manja yang selama ini hanya dikenal dengan rengekan dan tuntutannya itu tiba-tiba ingin menjadikannya sekretaris dan, yang lebih mengejutkan lagi, berambisi mengambil alih tampuk kepemimpinan tertinggi perusahaan?
"Apakah Anda yakin ingin menjadikan saya sekretaris Anda, Nyonya Kania?" tanya Feya masih tidak percaya.
Selama ini, ia bekerja sebagai sekretaris Julio. Posisi itu ia manfaatkan untuk lebih dekat dengan Julio dan membuat pria itu terpikat dengannya.
Feya melirik Julio dengan tatapan memelas, berharap mantan atasannya itu mau membela dirinya, mempertahankan posisinya, dan menolak keinginan istrinya yang dianggapnya bodoh itu. Namun, Julio hanya diam membisu, tatapannya kosong, seakan masih mencerna kenyataan yang tak kalah mengejutkannya. Ia pun tak menyangka bahwa sang ayah mertua akan menyerahkan posisi CEO PT Airlangga kepada Kania, padahal wanita itu selama ini hanya dikenal dengan sifat manja dan ketidakmampuannya dalam menghadapi masalah.
"Apakah Anda benar-benar mampu memimpin perusahaan ini, Nyonya Kania?" Feya kembali bertanya, nada suaranya sedikit meninggi, mencoba memancing reaksi dari Julio dan orang-orang di ruangan itu. "Bukankah Tuan Julio lebih bisa diandalkan? Beliau telah membuktikan kemampuannya dengan membawa perusahaan ini ke jajaran atas, bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar di Indonesia. Pengalaman dan keahlian beliau tak perlu diragukan lagi."
Decakan kecil terdengar dari bibir Feya membuat Kania tersenyum sinis. Wanita itu ternyata adalah sumber dari semua masalahnya. Lihatlah sekarang, bagaimana dia menatap remeh dirinya, seolah-olah mengejek jika dia tidak memiliki kekuatan apa pun untuk membuat perusahaan maju. Ia juga menyadari tatapan serupa dari beberapa orang lain di ruangan itu, bisik-bisik yang terdengar semakin jelas setelah kepergian ayah mertuanya. Tatapan mencemooh dan sinis seolah menghujamnya dari segala arah.
Namun, Kania tetap berusaha tenang. Ia mempertahankan raut wajah datar, tak terusik oleh sikap orang-orang yang memiliki jabatan tinggi di perusahaan Airlangga Grup. Ia tahu, sekarang posisinya lebih tinggi dari mereka. Ia adalah CEO, pemimpin tertinggi perusahaan. Dan ia bertekad untuk membuktikan bahwa ia mampu mengemban tanggung jawab besar ini.
"Feya," ucap Kania dengan suara tegas, tatapannya tajam menusuk mata Feya, "jika kamu tidak bersedia menjadi sekretaris saya, sebaiknya kamu menulis surat pengunduran dirimu hari ini juga."
Peringatan itu tersirat jelas dalam nada suara dan tatapannya, meski sikapnya tetap tenang dan terkendali. Tidak ada riak emosi di mata Kania. Ia telah belajar mengontrol dirinya, berbeda dengan Kania yang dulu, yang selalu diliputi rasa takut dan ragu saat berhadapan dengan orang-orang seperti mereka.
Perubahan Kania lagi-lagi membuat Feya terkejut.
"Apa-apaan tatapan itu?" batin Feya geram. "Kenapa wanita ini sekarang jadi lebih berani?! Padahal kemarin aku sudah hampir bisa menyingkirkannya dan mengambil posisinya sebagai Nyonya Sanjaya!"
Rasa dendam dan iri hati semakin membara dalam d**a Feya. Ia tak akan menyerah begitu saja. Ia akan mencari cara untuk menghancurkan Kania dan merebut Julio.
Memang, niat Feya sangat kuat untuk menyingkirkan Kania. Di matanya, Kania adalah wanita lemah, bodoh, dan mudah disingkirkan. Feya yakin bisa memanipulasi situasi untuk keuntungannya sendiri. Rencananya berjalan lancar, dia telah berhasil meracuni pikiran Julio sedikit demi sedikit, menanamkan benih-benih kebencian terhadap Kania dengan menyebarkan gosip dan cerita bohong yang direkayasa dengan cermat. Setiap kata yang diucapkan Feya dirancang untuk merusak citra Kania di mata Julio, membuatnya tampak tidak kompeten dan tidak layak mendapatkan cintanya.
Feya semakin percaya diri saat melihat Julio mulai mempercayainya. Kemampuan aktingnya yang diasah sejak masa SMA, ketika aktif berpartisipasi dalam kegiatan teater, kini membantunya memainkan peran sempurna di depan Julio. Dia berpura-pura menjadi sekretaris yang peduli, sementara di balik topeng itu tersimpan niat jahat untuk menghancurkan rumah tangga Julio dan Kania. Feya menguasai seni manipulasi, memutarbalikkan fakta, dan menciptakan drama untuk mencapai tujuannya.
"Tuan, Nona Kania benar-benar tidak bisa di kasih tahu. Padahal saya sudah mengatakan jika dia harus di rumah saja, tetapi dia tetap nekat ikut Anda ke pesta ini. Saya hanya tidak ingin dia mempermalukan Anda dengan sikap yang kekanak-kanakan!" ucap Feya beberapa minggu yang lalu pada Julio yang tengah menghadiri pesta kecil koleganya.
Kata-kata itu diucapkan dengan nada prihatin yang dibuat-buat, seolah-olah Feya benar-benar khawatir akan reputasi Julio. Padahal, di dalam hatinya, Feya merasa puas melihat Kania hadir di pesta itu, karena itu memberinya kesempatan untuk semakin menjatuhkan Kania di mata Julio dan para tamu lainnya.
Padahal, kebenarannya adalah Julio mengajak Feya karena dia membutuhkan bantuannya untuk mempresentasikan proposal kerja sama dengan rekan bisnisnya. Kania, sebagai istri sah Julio, seharusnya menjadi prioritas, tetapi Feya berhasil memanipulasi situasi sehingga dia yang mendapatkan kesempatan tersebut. Feya memanfaatkan setiap kesempatan untuk mendekatkan diri pada Julio dan menjauhkannya dari Kania.
'Cih, kurasa wanita itu hanya pura-pura dan pasti sebentar lagi juga kembali ke sifatnya yang dulu! Dasar wanita bodoh!' batin Feya sambil menatap Kania yang kali ini terlihat tegas dan dingin.
Feya terkejut melihat perubahan sikap Kania. Biasanya, Kania tampak rapuh dan mudah terpengaruh, tetapi kali ini aura yang berbeda terpancar darinya. Kania tampak lebih percaya diri dan tidak lagi terintimidasi oleh permainan Feya.
Kania, yang sudah bisa membaca raut wajah Feya dan menyadari niat buruknya, akhirnya berdiri dan dengan tegas menunjuk pintu keluar. "Silakan pergi kalau kamu ragu padaku karena aku tidak butuh orang yang sikapnya buruk di perusahaan ku!" Suara Kania tegas dan penuh otoritas. Dia tidak lagi mau menjadi korban manipulasi Feya. Kania siap untuk mempertahankan haknya. Tatapan mata Kania tajam menusuk mata Feya, membuatnya terkejut dan untuk pertama kalinya merasa takut.
Bersambung