Author's POV
Lira mengedarkan pandangannya ke semua sudut kamarnya. Mereka telah pindah ke rumah Elang yang sudah selesai direnovasi. Kamarnya cukup luas dengan dipan yang cukup lebar. Spreinya begitu lembut dan berwarna biru muda. Ada satu lemari baju dengan satu buah cermin di pintunya, satu meja dan satu kursi. Jendelanya memiliki dua pintu dan tergantung tirai yang juga berwarna biru muda.
Lira menghempaskan badannya di atas ranjang. Tatapannya menerawang ke langit-langit. Tiba-tiba bayangan Elang saat berciuman dengan Raline melesat di pikirannya. Dia berpikir satu hal, kenapa orang begitu mudah berciuman? Bukankah itu sesuatu yang menjijikan? Bagaimana tidak menjijikan, bibir bertemu bibir, air liur bertemu air liur, bagaimana jika tertular penyakit? Tapi sepertinya mereka begitu menikmatinya. Ia bisa melihat mata Elang sempat terpejam. Lira memejamkan mata dan menggelengkan kepalanya. Dia mencoba mengenyahkan bayangan Elang dan Raline.
Kini pikirannya melayang pada ibunya. Dia begitu merindukan ibunya. Dia sangat mengkhawatirkan keadaan ibunya. Begitu banyak pertanyaan berkecamuk di dadanya. Apakah ibunya baik-baik saja? Bagaimana jika ayahnya memukulinya? Lira merasa cemas. Dia mulai meremas jari-jari tangannya. Dia kembali teringat bagaimana ayahnya memukulinya, berkata kasar padanya dan bagaimana ayahnya pulang malam dalam keadaan mabuk memecahkan barang-barang apa saja yang ada. Lira menekuk kakinya dan ia benamkan kepalanya di lututnya. Kedua tangannya melingkar memeluk kakinya. Tangisnya mulai terdengar lirih dan sesenggukan. Perlakuan kasar ayahnya begitu membekas dan membuatnya trauma berkepanjangan.
Dasar tak berguna..
Dasar lemah
Bisanya cuma menyusahkan..
Pecundang..
Bahkan ayahnya tak segan memakinya dengan kata-kata yang lebih kasar.. Anj***g
Makian dari ayahnya terus terngiang di telinganya.
Lira semakin tercekat dan tertekan. Dorongan untuk melalukan self harm semakin kuat. Hanya ada kegelapan di depan matanya. Dia tak bisa lagi berpikir jernih. Lira beranjak dan berjalan menuju meja di kamarnya. Ia buka laci meja itu. Diambilnya sebuah cutter dan satu diary kosong yang ia beli tanpa sepengetahuan Elang. Diary lamanya disimpan Elang.
Lira duduk tercenung mengamati cutter yang sedari tadi ia putar-putar dengan jarinya. Air matanya kembali tumpah. Di hati kecilnya selalu ada rasa sakit ketika hendak melukai dirinya sendiri, tapi ia sudah tak sanggup lagi menahan luka yang telah menggunung bertahun-tahun sejak ia kecil. Dia butuh pelampiasan untuk sedikit menenangkan pikirannya. Dia merasa dia tak pantas untuk hidup. Self harm selalu bisa membebaskan sementara akan rasa benci pada dirinya sendiri, rasa benci pada kehidupannya dan rasa benci pada ayahnya.
Lira memejamkan matanya dan membukanya lagi. Diirisnya jari telunjuk kanannya hingga terpercik darah segar. Dia menuliskan sesuatu di lembaran diarynya dengan darah yang menetes dari jari telunjuknya.
I miss you
Sebuah kerinduan mendalam untuk ibunya.
Tiba-tiba suara ketukan pintu mengagetkannya. Lira terkesiap. Dimasukkan kembali diary dan cutternya ke laci. Dihapusnya air matanya. Rambutnya ia tata sedikit menutupi mata sembabnya agar tak terlihat habis menangis. Lira berjalan mendekat ke arah pintu dan memutar kenop pintu. Elang berdiri mematung di hadapannya.
"Gue mau pergi dulu ya. Mau ke restaurant cabang. Mungkin pulang sore, mau ngecek kontrakan juga,” ucap Elang mengalir datar.
Dia hendak berbalik namun ada sesuatu yang membuatnya menghentikan langkahnya. Elang melihat ceceran titik-titik merah di lantai. Darah? Ditatapnya Lira begitu tajam. Dia baru menyadari mata Lira terlihat sembab.
"Lo nglukai diri lo lagi?" Tatapan mata Elang begitu dingin, seperti tatapan maut yang mematikan dan membuat Lira tak berkutik.
Lira tak menjawab. Ia tak tahu bagaimana Elang bisa tahu bahwa dia baru saja melukai jarinya.
"Lihat jejak-jejak darah itu.." Elang mengamati tetes-tetes darah itu.
Lira begitu terperangah melihat jejak-jejak darahnya. Bagaimana bisa darah lukanya menetes sampai lantai?
"Di mana lo bikin luka?" Elang meninggikan volume suaranya.
Lira agak kaget mendengarnya. Kedua tangannya ia sembunyikan di balik punggung. Dengan sigap, Elang meraih tangan Lira. Lira tersentak dibuatnya.
Elang mengamati tangan Lira. Kepalanya terasa pusing, pening melihat darah menetes dari jari Lira. Elang mengelap darah itu dengan jarinya.
"Tunggu sebentar." Elang berbalik dan mengambil sesuatu dari kotak obat.
Elang kembali ke kamar Lira dan meminta Lira duduk. Dengan hati-hati Elang membersihkan luka Lura dengan cairan alkohol 70 persen yang diteteskan ke kapas, lalu ia tempel-tempelkan ke luka itu. Lira hanya diam tertegun merasakan sensasi dingin cairan alkohol yang menyentuh ujung jarinya. Selanjutnya Elang mengobati luka di jari Lira dengan obat luka, terakhir ia membalutnya dengan plester. Lira tak berkutik mengamati perlakuan Elang padanya yang begitu lembut. Untuk pertama kali dalam hidupnya ada seseorang yang begitu peduli mengobati lukanya. Lira terpekur dan mengamati detail wajah Elang yang begitu serius mengobati lukanya. Dia begitu tampan dengan mata tajamnya.
"Tunjukin di mana lo nyimpen cutter atau alat lain yang lo pakai buat nglukai jari lo." Ucap Elang datar.
Lira tak bergeming.
Tanpa menunggu jawaban dari Lira, Elang membuka lemari baju Lira dan mencari di tumpukan baju, tapi dia tak menemukan apa-apa. Berikutnya Elang membuka laci meja. Matanya terbelalak melihat sebuah cutter dan diary. Masih ada jejak darah di cutter itu. Diambilnya dua barang itu. Elang membuka lembaran diary yang masih baru. Dibacanya sebuah tulisan yang baru ditulis Lira, jejak darahnya masih terlihat segar.
"I miss you.. Lo kangen ama siapa?"
Lira menatap Elang yang masih terpaku menatapnya dengan ekspresi wajah yang tak bisa dijelaskan.
"Ibu.." Jawab Lira datar.
"Besok kita cari cara ketemu ama ibu lo." Elang keluar dari kamar Lira sambil menenteng diary dan cutternya. Lira mengikutinya dari belakang.
Elang memasukkan diary dan cutter itu ke dalam kantong kresek lalu membuangnya ke tempat sampah. Saat ia berbalik, Lira terpekur di hadapannya. Elang hendak melangkahkan kakinya ke depan namun Lira menghalanginya.
"Aku minta maaf." Ujar Lira dengan tatapan mata sembabnya.
"Minta maaf ama Allah, ama diri lo sendiri, bukan ama gue." Sahut Elang masih dengan tatapan dinginnya. Selanjutnya dia melangkah melewati Lira.
"Elang.. Aku beneran minta maaf. Aku udah bikin kamu kecewa."
Elang menghentikan langkahnya dan berbalik berjalan mendekati Lira.
"Lo susah berubah Ra. Gue udah nglarang dan nasehatin ini itu juga percuma. Lo nggak bakal denger. Gue punya temen, dosen psikologi. Dia memang bukan psikolog yang menerima konsultasi, dia dulu ambil psikologi pendidikan. Tapi seenggaknya dia bisa jadi teman konsultasi buat lo, karena dulu gue sering konsultasi ama dia. Dia orangnya wise. Dalam waktu dekat ini gue bakal pertemukan kalian."
Lira tak menanggapi perkataan Elang.
"Gue nggak tahu mesti gimana buat bikin lo berhenti."
"Sama aku juga nggak tahu gimana bikin kamu berhenti."
Elang memicingkan matanya, "berhenti apa?"
"Kencan dengan banyak perempuan." Jawab Lira datar.
Elang tertawa pendek, "yang kemarin itu? Raline? Dia bukan sembarang cewek. Dia mantan pacar gue dan gue berencana balikan ama dia. Nggak salah kan gue kencan ama dia?"
"Tetep salah. Kalian belum ada ikatan sah, tetep aja namanya zina."
Elang menyeringai, "kemarin kita nggak ngapa-ngapain. Cuma ciuman."
"Kalau aku nggak ada di sana, mungkin bisa lebih dari ciuman. Kamu nggak bisa berhenti kan? Kamu selalu ingin nyium dia? Sama kayak aku yang nggak bisa berhenti self harm."
Elang melangkah semakin maju hingga membuat Lira mundur sampai akhirnya tubuhnya menghimpit dinding. Elang menatap Lira sedemikian dekat membuat jantung Lira berdegup tak karuan. Dadanya berdebar, deg-degan tak menentu.
"Ciuman ama self harm itu beda jauh. Istilahnya nggak apple to apple buat dibandingin. Ciuman itu untuk mengekspresikan perasaan, membuat pikiran rileks, sedang self harm itu cuma tindakan konyol yang menyakiti diri sendiri.."
Lira bisa merasakan hembusan napas Elang dengan wangi mint.
"Terkadang ciuman dilakukan bukan karena mengekspresikan perasaan, tapi karena nafsu."
"Oya? Bisa nggak ngasih contoh ke gue ciuman karena nafsu itu kayak gimana?" Elang semakin mendekatkan wajahnya pada Lira dan menatap Lira lekat-lekat. Lira makin salah tingkah dan dia hanya bisa menundukkan wajahnya.
"Atau gue yang mesti nunjukin ke lo? Biar lo tahu dan bisa bedain sensasi ciuman dan self harm itu jelas beda."
Elang lebih mendekatkan wajahnya lagi pada Lira. Napas Lira semakin memburu dan mendadak dia dilanda kegugupan luar biasa. Elang mengusap bibir Lira dengan ibu jarinya. Lira berusaha menghilangkan kecemasannya dengan memejamkan matanya kuat-kuat. Akalnya memintanya untuk mendorong tubuh Elang agar menjauh darinya, tapi hatinya memintanya untuk diam dan menerima apapan yang akan Elang lakukan padanya.
Elang menatap Lira sedemikian dekat. Ada gemuruh perasaan yang tak bisa ia jelaskan saat berada sedemikian dekat ini dengan Lira. Wajah Lira tidak bisa dibilang jelek. Dia memiliki bulu mata yang lentik dan indah, bibir merah alami yang cukup menggodanya untuk memberi kecupan lembut di sana, atau bahkan lebih dari sebuah kecupan. Ujung bibir Elang sudah hampir menyentuh bibir Lira, namun akhirnya Elang menjauhkan kembali wajahnya. Ia teringat Lira masih sembilan belas dan Lira pernah mengatakan ciuman hanya bisa dilakukan oleh dua insan yang sudah terikat dalam pernikahan yang sah. Elang tak mau menghancurkan impian gadis yang masih terlihat gugup di hadapannya.
Elang mengusap pipi Lira. Perlahan Lira membuka matanya. Ia menatap Elang sudah menjauhkan wajahnya darinya.
"Gue bukan cowok b******k yang dengan mudah nyium cewek dengan paksa. Gue mohon selama gue pergi, jangan nglakuin hal bodoh kayak gini lagi. Gue janji, gue bakal cari cara biar lo bisa ketemu ama ibu lo." Elang menarik kembali jari-jarinya yang menyentuh pipi Lira. Dia berbalik dan melangkah menuju pintu.
Deru mobil Elang yang melaju meninggalkan pelataran rumah membuat Lira tercenung. Jantungnya masih berdegup kencang. Rasanya deg-degan luar biasa. Terlintas di benaknya wajah Elang yang sedemikian dekat, memberikan sensasi desiran yang tak terungkapkan. Belum dicium saja Lira sudah mati kutu dibuatnya, apalagi jika Elang benar-benar menciumnya. Lira tak bisa membayangkan, mungkin tubuhnya akan kaku membeku. Lira berusaha mengenyahkan bayangan Elang dari pikirannya. Sepertinya Lira sudah mulai terbawa perasaan. Mendadak di kepalanya dipenuhi imajinasi akan sosok Elang. Lira berusaha mengalihkan pikirannya dengan membersihkan rumah. Sungguh dia tak ingin baper dengan apa yang barusan Elang lakukan terhadapnya, tapi Lira terlanjur menikmati sensasi perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya... Jatuh cinta..