Pilihan Yang Sulit

1318 Kata
Elang's POV Bibirku serasa kelu. Bagaimana aku menjelaskan tentang Lira pada Raline. "Aku asisten rumahtangga di sini. Tugasku masak, bersih-bersih, nyuci, nyetrika." Ucap Lira sambil berdiri dari posisinya. Raline menatap Lira tanpa ekspresi lalu berganti menatapku tajam seakan bertanya apa yang dikatakan Lira itu benar adanya? "Dia bantu bersih-bersih di sini. Kamu tahu kan? Aku kadang nggak sempat beres-beres. Restaurant sekarang buka cabang lagi, jadi aku suka sibuk bolak-balik." Kupaksakan bibirku untuk tersenyum. Raline bersedekap, "dia tidur di mana? Kalian tidur satu ranjang?" Raline menatapku dan Lira bergantian. "Aku tidur di sofa." Balas Lira cepat. Sepertinya Lira tak ingin Raline salah paham. "Elang orang yang baik. Dia nggak pernah macem-macem. Lagipula aku jelek dan nggak menarik, dia nggak mungkin tertarik. Kamu jangan khawatir." Ucap Lira lagi. Aku tercekat mendengar kata-katanya. Lira ini memiliki self esteem yang rendah. Dulu aku anak ekonomi bukan psikologi, tapi aku kadang suka membaca novel bertema psikologi. Dalam psikologi, self esteem ini adalah penilaian individu mengenai dirinya sendiri, bagaimana dia menghargai dirinya. Lira selalu menganggap dirinya buruk, tak berarti, tak berguna, lebih-lebih di sepanjang hidupnya dia selalu tertekan dan berkubang depresi. Ini yang menyebabkan Lira kerap menyakiti dirinya sendiri. Tak heran jika dia memiliki self esteem yang rendah. Lira tidak pernah mendapat penerimaan yang tulus dari ayahnya. Dia tidak pernah diperlakukan layaknya seorang anak yang harus disayang dan dijaga. Sebaliknya, Lira diperlakukan kasar, sering mendapat kekerasan baik fisik maupun verbal. Yang aku lihat Lira juga sering merasa jelek, tak menarik karena bekas luka sayatan di sekujur tubuhnya. Aku memang pernah mengatakan hal ini secara frontal. Tapi sepertinya aku harus mulai menjaga lisanku. Diary Lira adalah satu contoh kecil betapa gadis ini membutuhkan pertolongan dan dukungan. Dia hanya butuh penghargaan dan penerimaan yang tulus dari orang lain. Raline menatap Lira begitu menelisik. Dia berjalan mendekati Lira. Aku yakin kali ini tatapan Raline akan terfokus pada bekas-bekas luka sayatan di pergelangan tangan dan lengan Lira yang nampak jelas. Aku menduga Lira terkadang membuat luka di kulitnya yang sebelumnya pernah ia lukai hingga bekas luka itu terlihat menebal karena luka lama yang sudah membekas ditimpa luka baru lagi hingga membekas lagi. "Lo bilang Elang nggak mungkin tertarik ama lo karena lo jelek dan nggak menarik? Terus lo sendiri gimana ke Elang? Nggak tertarik?" Aku tak tahu apa maksud Raline menanyakan hal ini. Apa dia mulai cemburu? Itu artinya Raline masih memiliki perasaan padaku? Lira tak menjawab. Wajahnya tertunduk. Raline melirikku, "Dia kelihatannya lebih muda dari kita. Apa dia bisa kerja dengan baik? Kenapa kamu nggak nyari yang lebih berpengalaman? Aku lihat dia punya bekas luka sayatan di tangannya yang cukup tebal. Apa dia ngedrugs? Atau mantan pencandu? Kalau lihat badannya yang kurus sepertinya dia ada kecenderungan ngedrugs." "Aku nggak ngedrugs, juga bukan mantan pecandu. Aku memang masih sembilan belas, tapi aku bisa nyelesein kerjaan aku. Aku bisa bekerja secara profesional." Lagi-lagi Lira memotong pembicaraan Raline. Raline tak merespon ucapan Lira. Dia menolehku, "maafin aku, aku nggak berhak mengatur hidupmu termasuk protes caramu memilih asisten rumahtangga. Aku sadar kita udah nggak punya hubungan apa-apa lagi. Mungkin aku terbawa masa lalu saat kita masih bareng..." Ada setitik kebahagiaan yang menyeruak di hati kala mendengar ucapan Raline bahwa dia masih terbawa masa lalu saat kami masih bersama. Aku pun merasakan demikian. Aku belum bisa move on darinya. "Aku juga kadang masih terbawa masa lalu. Nggak mudah untuk nglupain semua kenangan yang pernah kita jalani." Kutatap Raline sedemikian lekat. Kami saling menatap seakan mentransfer kerinduan kami masing-masing. Aku masih bisa melihat sorot matanya yang berpendar karena binaran cinta. Dulu kami berpacaran selama dua tahun dan semua yang pernah aku lewati bersamanya begitu membekas. Dia ibarat kepingan hatiku yang hilang dan hanya dia yang mampu melengkapi puzzle hidupku. Aku belum pernah menemukan seseorang sebaik dirinya. Dia begitu perhatian dan selalu peduli padaku. Hingga akhirnya kami putus karena dia dijodohkan dengan pria lain. Aku tak berani merebutnya dari pria itu karena aku lihat dia sudah mulai membuka hatinya untuk pria itu. Mereka terlihat bahagia dan aku tak sanggup merusak kebahagiaannya, meski aku ingin sekali memilikinya. Kini dia berdiri di hadapanku dengan statusnya yang kembali single. Aku rasa ini akan menjadi kesempatan terbaik untuk memintanya kembali padaku. Kami saling mendekat. Jarak kami sudah begitu dekat. Sudah lama kami tak berinteraksi sedekat ini. Jujur aku sangat merindukan moment kebersamaan kami. Aku rindu pelukannya, sentuhan lembut jari-jarinya di dadaku, ciuman bibirnya yang selalu membuatku seperti terbang. Aku rindu wangi tubuhnya, hembusan napasnya saat berbisik di telingaku, bahkan aku rindu caranya marah, cemburu dan kecerewetannya... Aku rindu semua tentangnya... Kuusap rambutnya, lalu kugerakkan jari-jariku menelusuri pipinya. Wajah kami menjadi sedemikian dekat. Bibir kami saling bersentuhan dan berpagut lebih dalam.. Hingga akhirnya kusadari Lira berdiri mematung di hadapan kami. Mataku dan matanya saling beradu dan dia menatapku begitu dingin. Mendadak aku kehilangan gairahku tuk mencium Raline lebih liar. Bibirku mengatup, sementara Raline masih mencoba terus menciumku dan memaksaku tuk membuka bibirku, namun tatapanku justru tertuju pada Lira dengan wajah innocentnya yang terpaku tanpa bicara sepatah katapun. Sesaat kemudian dia berlalu dari hadapanku menuju dapur. Ada sesuatu yang membingungkan dan mengganggu perasaanku. Aku berpikir sejenak, tak seharusnya aku mencumbu Raline di depan Lira.. Raline menjauhkan wajahnya dan menatapku dengan kernyitan di dahinya, "kamu kenapa? Kamu nggak kangen ama aku?" "Bukan... Bukan itu..." Aku sedikit gelagapan. "Terus kenapa kamu aneh? Nggak seperti biasanya. Kamu dingin banget sekarang." Raline terus mencecar. "Ada Lira di sini... Ada orang lain yang melihat kita.." Tukasku. Raline menyeringai, "dulu kita biasa berciuman di night club dan di sana ada lebih banyak orang. Kamu cuek aja. Kenapa sekarang kamu nggak bisa ciuman hanya karena ada satu gadis itu?" Raline setengah melotot dengan nada bicara yang lebih tinggi dari biasanya. Aku bingung, kehabisan kata-kata. Tak tahu harus menjawab apa. Lira keluar dari dapur. Dia menatapku dan Raline bergantian. "Aku mau keluar dulu." Lira melangkahkan kakinya mendekat ke arah pintu. Segara kukejar dan kuraih tangannya. "Lo mau kemana malam-malam begini? Lo nggak boleh keluar." Kunaikkan intonasi suaraku. "Elang kenapa kamu nglarang dia keluar? Bagus kan? Kita jadi bebas tanpa pengganggu." Raline menekuk wajahnya dan nada suaranya terdengar kesal. "Perempuan jalan sendirian malam-malam itu mengundang bahaya. Lira belum paham daerah sini." Raline mendekat padaku dan melepaskan tanganku dari tangan Lira. Aku tak sadar aku masih menggenggam tangannya. "Dia bukan anak kecil. Dia bisa pulang sendiri. Kamu aneh banget tahu nggak sih? Jangan-jangan antar kalian ada sesuatu?" Raline menatapku sekali lagi lalu berjalan menuju pintu. Dia keluar dan membanting pintu dengan keras, membuatku tersentak. Kini tinggal aku dan Lira saling menatap. Wajah Lira terkadang begitu misterius dan aku tak bisa menebak jalan pikirannya. "Kenapa kamu nggak ngejar dia?" Pertanyaannya membuatku tersadar seketika. Iya ya kenapa tadi aku tak mengejarnya? Kenapa aku malah diam saja dan lebih memilih bersama Lira. Aku tak bisa membiarkan Lira jalan sendirian di luar. Bagaimana jika dia sengaja menabrakkan diri pada kendaraan yang berseliweran di jalan? Bagaimana jika naik ke lantai teratas apartemen lalu menjatuhkan dirinya? Bagaimana jika saat berjalan pikirannya tak fokus, tatapan matanya kosong dan melamun? Bagaimana kalau ada yang mengganggunya? Kenapa aku begitu peduli dan mengkhawatirkannya? Aku tengah memperjuangkan cintaku agar bisa kembali pada Raline dan malam ini aku mengacaukannya. Aku terdiam dan kehilangan kata-kata. "Kita istirahat aja. Udah malem.." Cetusku. Lira tak merespon dengan kata-kata. Dia duduk di sofa. Aku masuk ke dalam kamar. Kuhempaskan badanku di ranjang. Kupejamkan mataku dan anganku berseliweran pada kejadian barusan. Sepertinya aku akan berjuang lebih untuk mengajak Raline kembali. Aku tak yakin dia mampu menerima kehadiran Lira di tengah-tengah kami. Aku merasa aku punya tanggungjawab lebih untuk menjaga Lira. Ini pilihan yang sulit. Kembali pada Raline dan melepaskan Lira atau tetap bersama Lira dan melupakan sejenak rencanaku untuk kembali pada Raline? Yang jelas aku tak bisa melepas Lira sebelum dia benar-benar sembuh dari ketergantungannya pada self harm dan sebelum dia bisa melepaskan diri dari obsesinya untuk bunuh diri. Aku harus segera membawanya konsultasi ke psikolog atau mungkin ke psikiater jika dia memamg membutuhkan terapi dan obat-obatan
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN