Janji yang Tak Ditepati

1169 Kata
Elang's POV Kulihat sekeliling ruangan di apartemen ini. Akhirnya tiba juga waktunya, aku tinggalkan apartemen ini dan pindah ke rumahku yang baru selesai direnovasi. Aku tinggal sementara di apartemen memang untuk menunggu sampai rumahku selesai direnovasi. Lira akan kuajak serta. Dia akan memiliki kamar sendiri dan tak perlu tidur di sofa. Sepertinya aku butuh jasanya lebih lama. Dia cekatan mengerjakan pekerjaan rumahtangga. Awalnya dia memang hanya memintaku untuk menggajinya dengan beberapa potong pakaian, tapi akhirnya aku gaji secara profesional. Jujur aku belum ingin melepasnya. Dia juga sepertinya belum ingin pergi dari tempatku, alasannya dia takut bertemu ayahnya atau teman-teman ayahnya jika berada di luar. Malam ini adalah malam terakhir kami tidur di apartemen. Kudengar sayup suara Lira yang tengah menelpon dari balkon. “Iya Lira baik-baik aja bu. Jangan khawatir ya. Maaf Lira nggak bisa kasih tahu di mana Lira sekarang. Yang jelas Lira berada di tempat yang aman. Lira juga kerja.” “Iya bu.. Jaga diri ibu baik-baik ya. Maaf Lira nggak bisa jaga ibu. Ini pilihan yang sulit..” Aku dengar Lira terisak. Dia sedang menelpon ibunya. Setelah Lira menutup telponnya, aku berjalan mendekat ke arahnya. Lira agak terkesiap melihat kedatanganku. Kami saling menatap sejenak lalu masing-masing dari kami mengalihkan pandangan ke arah lain. “Gimana keadaan ibu lo?” kulirik dia yang mematung. “Alhamdulillah ibu baik-baik aja. Ibu bilang ayah sampai sakit mikirin batalnya pernikahanku.” “Lo mau jenguk ayahmu?” tanyaku lagi. Lira langsung menggeleng. “Nggak, aku nggak mau kembali ke sana. Kembali ke sana sama aja masuk lagi ke mulut buaya. Udah lama aku ingin keluar dari sana.” Lira meninggikan suaranya. “Iya... Gue paham,” balasku singkat. Senyap... Hening... Kulirik Lira yang tampak fokus menatap ke arah bawah. Ingatanku melayang ke moment pertemuan awal kami. Dia berdiri di tepi pagar jembatan dan tatapan matanya menerawang ke bawah. Jangan-jangan saat ini dia berpikir untuk loncat ke bawah. “Lira...” Lira menolehku, “Ada apa?” “Lo mau loncat ke bawah?” Lira membelalakkan matanya, “Kenapa kamu mikir aku bakal loncat?” Aku menyeringai, “Karena lo selalu terobsesi buat bunuh diri.” Lira tertawa, “Kalau aku mau bunuh diri, aku bakal nunggu kamu keluar. Nggak mungkin aku niat bunuh diri sementara kamu ada di sini.” Aku ikut tertawa. “Kenapa ketawa?” “Gue lihat lo udah jauh lebih baik dibanding pas pertama kita ketemu. Gue seneng lo udah nggak kepikiran buat bunuh diri dan self harm lagi.” Lira terdiam, tak mengucap apapun. “Lo udah packing semua?” Lira mengangguk, “Udah.” “Coba gue cek.” Aku berbalik dan melangkah menuju ruang depan. Lira mengikutiku. Aku buka tas besar yang teronggok di sebelah sofa. Aku ingin memastikan apa dia sudah mengepak semua barangnya? Bukan apa-apa sih. Pasalnya Lira ini orangnya nggak fokus, suka melamun dan tatapannya sering kosong. Barangkali ada yang belum dia masukkan. Saat menilik ke dalam tas, aku menemukan sebuah buku. Diary? Dari mana ia mendapat diary? Aku tak pernah membelikannya diary. “Jangan dibuka,” pekik Lira. Wajahnya terlihat sedikit pucat dan cemas. Aku jadi penasaran apa isinya. Saat aku buka isinya, aku begitu kaget dan kepalaku mendadak pening. Bau anyir darah menyeruak. Diary ini dipenuhi dengan tulisan dari darah. Aku menganga sekian detik. Kubuka dari lembar pertama sampai akhir, Lira menuliskan kata-kata bernada hopeless dari darah. Aku yakin darah yang terlihat agak coklat warnanya karena sudah mengering dan agak lama ini adalah darah dari luka yang ia buat sendiri. Kutatap Lira tajam. Gadis kurus itu tak berani membuat kontak mata denganku. k****a-baca tulisan itu. I hate my life I want to die I'm sick of this life I'm sick of everyone around I hate myself I'm still alive, but I'm dying inside Save me please Kata-kata yang menyayat tapi aku sungguh kecewa padanya. Dia berjanji untuk berusaha berhenti melakukan self harm, kenapa dia melanggar? Dia melakukannya di sini. Apa dia melakukannya saat aku tak ada? Bagaimana dia melakukannya? Aku berdiri dan mendekat padanya. Lira tertunduk dan tak berani menatapku. “Ini apa maksudnya?” kutunjukkan diary ini di depan matanya. Lira tetap membisu tapi air mukanya terlihat panik. Dia meremas-remas jari-jari tangannya. “Lo udah janji nggak bakal nyayat-nyayat kulit lo lagi, kenapa lo nggak bisa nepati?” Nada bicaraku meninggi. Lira tak menjawab. Setitik air mata mengalir dari salah satu sudut matanya. “Di luar sana banyak orang butuh darah. Setetes darah begitu berarti bagi mereka, tapi lo membuang begitu saja darah lo buat nulis hal-hal nggak penting gini. Apa yang ada di pikiran lo?” Aku setengah membentak. Lira terisak sekarang. Air matanya makin deras mengalir. “Di mana lo bikin luka? Tunjukin ke gue. Mana luka lo?” Aku meraih tangannya dan kuamati pergelangan tangan serta lengannya. Aku tak menemukan ada bekas luka baru di kedua tangannya. “Di mana lo nyayat kulit lo? Di bagian yang tersembunyi?” Aku tinggikan intonasi suaraku yang memang sudah meninggi. Lira semakin keras menangis. Dia menyingkap celana pendek yang ia kenakan, “Di sini..” Ia tunjukan bekas luka di paha kanannya. Bekas luka sayatan yang masih baru. “Di sini...” Dia menunjukkan jari-jari tangannya. “Aku kadang melukai jariku karena nggak berbekas dan mudah diambil darahnya.” Suara Lira begitu parau dan tercekat. Kugelengkan kepalaku, “Kenapa lo nglakuin ini? Kenapa?” Suaraku mulai melemah. “Aku udah bilang kan, kadang keinginan untuk self harm datang tiba-tiba dan aku nggak bisa berhenti buat nglakuinnya. Rasanya seperti sakau kalau nggak bikin luka lagi.. Aku juga kangen ibu dan aku selalu merasa takut.. Cemas... Aku butuh pelarian buat nenangin diri...” Suara Lira terdengar terbata-bata diiringi bulir mata yang terus menganak sungai. “Lo sakit Lira... Lo butuh konsultasi, atau mungkin butuh obat juga. Lo harus benar-benar bertekad kuat dan berusaha berhenti,” kutekankan kata-kataku. Lira terkulai dan duduk di lantai. Kedua kakinya menekuk. Lira memeluk kedua lututnya sambil terus menangis. Aku jadi tak tega melihatnya seperti ini. Apalagi tangisnya makin menyayat, sesenggukan. Aku ikut duduk di sebelahnya. “Gue minta maaf kalau kata-kata gue nyakitin lo. Tapi semua itu demi kebaikan lo.” Lira membenamkan kepalanya di kedua lututnya. Kugerakkan tanganku mendekat ke kepalanya tuk mengusap rambutnya, tapi kutarik kembali. “Lo nggak mau maafin gue?” tanyaku sekali lagi. Lira mengangkat wajahnya dan menolehku, “Kamu nggak salah apa-apa. Aku yang salah... Aku minta maaf.” Tingtong... Suara bel mengejutkanku. Aku berdiri dan mendekati pintu. “Siapa?” “Raline,” ucap seseorang di depan pintu. Mendadak aku seperti tersetrum aliran listrik bertegangan tinggi. Dadaku berdebar tak karuan. Rasanya begitu deg-degan. Ada perlu apa ya Raline ke sini? Kubuka pintu. Raline berdiri dengan penampilan yang selalu memikat. Kupersilakan dia masuk. “Ada apa Raline? Kenapa kamu nggak kasih kabar dulu mau kesini?” tanyaku sambil mengulas senyum. Raline tak menjawab. Tatapannya tertuju pada Lira yang masih duduk terpekur. “Dia siapa?” Tanyanya sambil terus menatap Lira tajam. Lira dan Raline saling menatap dan aku tercenung sesaat, memikirkan jawaban apa yang akan kukatakan.. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN