I Think I Love You

1712 Kata
Elang's POV Malam ini terasa lebih dingin dari biasanya. Dinginnya sampai mencekat, menusuk tulang. Meski sudah mengenakan sweater hangat, rasa dingin tetap terasa. Lira duduk di sofa sebelah tempatku duduk. Dia mengenakan sweater yang dulu aku beli karena sweater tersebut berwarna soft pink, warna kesukaan Raline. Sweater itu cocok sekali di badannya yang langsing cenderung kurus. Semakin kuperhatikan, entah kenapa dia terlihat jauh lebih menarik dibanding saat pertama kali aku menemukannya. Dia tidak bisa dibilang jelek. Wajahnya manis. Dia memiliki mata dan bulu mata yang indah. Bibirnya... Aku tersenyum merutuki kebodohanku. Aku tak akan pernah berfantasi mencium bibirnya. Raline lebih segalanya darinya. Tak seharusnya aku memperhatikan gadis ini lebih dalam. Sesekali tatapannya tertuju pada layar, namun sesekali pula dia melirikku. Setiap kali kupergoki dia mencuri pandang ke arahku, seketika dia membuang muka dan kembali menatap layar. Aku rasakan, mungkin dia sudah mulai tertarik padaku. Gadis sembilan belas tahun sepertinya mungkin tengah berada dalam fase senang memperhatikan lawan jenis dan berangan tentang pertemuannya dengan pangeran berkuda putih yang akan mencintainya setulus hati. "Nggak perlu buang muka. Kalau memang pengin lihat muka gue, lihatin aja sepuas lo. Gratis kok, nggak bayar." Cerocosku, membuat Lira membelalakkan matanya dan menatapku tajam. Lira menunduk kembali dan tak mau menolehku. Karakter gadis ini begitu susah dideskripsikan. Terkadang diam, kalem namun terkadang juga begitu cerewet dan keras kepala. "Kenapa diem?" Aku meliriknya. "Aku harus balas apa? Lebih baik diem kan daripada lihatin kamu?" Lira melirikku sebentar. "Berarti bener kan tadi lo lihatin gue? Gue tahu gue ini ganteng dan unyu kayak oppa Korea. Wajar aja sih lo lihatin gue terus." Lira menekuk wajahnya dan berdecak seakan kesal mendengar ucapanku. "Kamu juga sering nglirik-nglirik aku. Jujur aja lah." Aku sedikit terperanjat mendengar kata-katanya. Rasa rendah dirinya sepertinya perlahan menghilang. "Emang kenapa gue harus lirik-lirik lo? Lo cantik? Seksi? Menarik?" Lira terdiam. "Aku emang nggak cantik, nggak menarik, nggak seksi, tapi nyatanya bisa bikin kamu nglirik-nglirik aku." Ketusnya. Jujur aku suka mendengar jawabannya. Self esteemnya sudah agak naik. Meski aku berharap dia menjawab lebih dari tadi, misal dia bilang ya aku memang cantik, seksi, menarik. "Kalau emang lo nggak cantik, nggak seksi, nggak menarik, terus apa yang bikin gue nglirik-nglirik lo?" Lira kembali menatapku tajam, "berarti bener kan tadi kamu nglirik-nglirik aku?" Aku membalas tatapannya dengan tatapan yang lebih tajam. "Ya." Jawabku singkat masih sambil menatapku begitu awas. Lira mulai terlihat salah tingkah dan menghindari menatapku. "Sekarang gue tanya ama lo. Lo tahu nggak apa yang bikin gue nglirik-nglirik lo." Aku masih menatapnya dengan tatapan yang tak lepas dan menancap tepat di kedua matanya. Lira tampak memikirkan sesuatu. "Karena gue aneh? Punya banyak bekas luka?" Lira seringkali berpusat pada kelemahannya kala menilai dirinya sendiri. Aku tersenyum, "saat ini lo pakai sweater panjang, bahkan gue nggak bisa lihat bekas luka sayatan lo. Jadi apa yang bikin gue nglirik lo?" Pandangan mata Lira memusat pada layar televisi. Dia menolehku. "Kenapa harus nanya ke aku? Kamu lebih tahu jawabannya. Aku bukan cenayang yang bisa baca pikiranmu." Tukasnya. "Gue pingin lo nebak jawabannya." Balasku. Lira tertegun dan membisu. "Lo punya mata yang indah." Ucapku singkat. Lira menatapku sebentar lalu menunduk. Sepertinya dia mulai tersipu, ada semburat merah di pipinya. Dan sesaat aku menyadari kekonyolanku. Apa perlu aku mengatakan hal ini padanya? Kenapa aku harus mengatakan secara frontal tentang matanya yang indah? Atau mungkin hal ini bisa menaikkan sedikit self esteemnya agar dia tidak berpikir untuk melukai diri sendiri lagi? Tingtong.. Suara bel membuatku sedikit terhenyak. Siapa yang datang malem begini? Lira beranjak dari tempatnya dan melangkah menuju pintu. "Sayang..." Raline berjalan mendekat ke arahku dengan gaun yang cukup seksi, menampilkan paha dan belahan d**a yang terekspos sedemikian menggoda. Aku beranjak dan kaget juga menyambutnya. Raline memelukku dan mendaratkan kecupan di bibirku. "Hang out yuk. Aku bosen di rumah terus." Pintanya sambil merajuk dan mengalungkan tangannya ke leherku. Aku melirik Lira. Dia berdiri tercenung mengawasiku. Mata indahnya menatapku tajam. "Udah malem sayang. Dingin juga kan?" Raline mengerucutkan bibirnya, "ayolah. Justru karena dingin, sedikit minum dan ngedance bisa bikin badan hangat kan?" "Tapi..." Aku melirik Lira sekali lagi. Raline menoleh ke arah Lira, "cewek itu lagi. Kamu nggak mau pergi bareng aku karena cewek itu?" Dia beralih menatapku dengan ekspresi wajah yang kesal. "Ya udah kalau gitu. Aku pulang.." Nada bicara Raline begitu sewot dan ia berbalik. Buru-buru aku raih tangannya. "Okay, kita pergi. Aku ganti baju dulu ya." Aku tak mau membuat Raline marah. Hubungan kami sudah membaik dan sedang hangat-hangatnya, aku tak mau merusaknya. Raline tersenyum penuh kemenangan. Kunaiki tangga menuju kamar. Aku bingung harus mengenakan pakaian apa. Mungkin kemeja yang kental dengan gaya kasual anak muda cukup pas dipadukan dengan celana jeans. Aku tak suka berpakaian formal saat clubbing. Kupandang bayanganku yang memantul di cermin. Satu kata, sempurna! Aku keluar kamar dan terkesiap melihat Lira mematung di depan pintu kamarku. Tatapannya begitu tajam. "Kamu udah janji kan mau ngurangi clubbing? Ngurangi minum? Atau bahkan berhenti sama sekali." Kata-kata Lira mengingatkanku akan kesepakatan diantara kami. "Lo udah nglanggar kesepakatan kita. Dua kali lo nglukai diri lagi. Apa gue nggak boleh sekali ini aja pergi seneng-seneng?" Kubalas menatapnya dengan lebih tajam. Lira tak membalas. Jelas dia speechless tak tahu harus membalas apa. *** Lira's POV Aku merasa kesal karena Elang tetap pergi bersama Raline. Aku mencoba terpejam tapi tak jua bisa tidur. Terbayang Elang dan Raline menghabiskan malam mereka di night club. Aku memang belum pernah menginjakkan kaki di tempat itu. Tapi aku tahu banyak orang ke night club untuk melepaskan penat, mencari kesenangan semu, minum, kencan, dan aktivitas-aktivitas yang tidak memberi manfaat apa-apa selain membantu seseorang melupakan sejenak beban yang menghimpitnya. Aku tak mau menghakimi karena aku pun terkadang lari ke self harm jika sedang kalut. Kulirik jarum jam menunjuk pukul dua dini hari. Elang belum juga pulang. Kenapa aku mengkhawatirkannya? Dan rasanya aku tak akan bisa tidur sebelum Elang pulang. Entah apa yang sedang ia lakukan bersama Raline. Mendadak d**a ini secara sesak membayangkan Elang dan Raline berpelukan dan berciuman. Ada sesuatu yang terbakar di dalam sana, membuatku gelisah tak karuan. Apa ini yang namanya cemburu? Apa aku sudah benar-benar jatuh cinta padanya. Kutatap bayanganku di cermin. Kupusatkan pandanganku pada mataku. Elang mengatakan kalau mataku indah. Apa memang indah? Lebih indah dari mata Raline? Tiba-tiba aku mendengar suara berisik di bawah. Apa Elang sudah pulang? Mereka memang pergi membawa kunci agar bisa pulang jam berapapun tanpa membangunkanku. Segera kubuka pintu kamarku dan bergegas menuju ruang depan. Elang terlihat sempoyongan dengan dipapah Raline. Dia mabuk berat. Elang melanggar janjinya untuk nggak minum. Baru kali ini aku melihat Elang pulang dalam keadaan seperti ini. Raline menuntunnya menaiki tangga, menuju kamar Elang. Aku mengikutinya. Setiba di kamar, Raline menghempaskan tubuh Elang ke ranjang. Selanjutnya ia melangkah menuju pintu dan menatapku yang berdiri di dekat pintu. "Gue mau nginep di sini dan kita mau tidur. Jadi lo balik ke kamar lo." Raline begitu ketus. "Kalau kamu mau nginep, kamu bisa tidur di kamar tamu." Aku tak akan pergi dari sini selama Raline masih di sini. Akan kupastikan Elang aman tanpa ada perempuan ini di kamarnya. Raline menyeringai, "lo nggak usah ngatur-ngatur gue ya. Lo cuma pembantu di sini, nggak usah banyak tingkah." Aku tersenyum sinis, "Elang nggak pernah memperlakukanku seperti pembantu. Aku heran ya, kenapa kamu dengan mudahnya tidur sekamar dengan seseorang yang belum jadi suamimu." Raline tertawa, "dari gue pacaran ama Elang, gue udah biasa tidur bareng dia. Lo kaum alim dan bermoral, nggak usah ceramah panjang lebar. Ayo cepat keluar lo." Gertak Raline. "Raline... Raline..." Suara Elang memanggil-manggil nama perempuan ini dan masih terbaring di ranjangnya. "Dengar sendiri kan? Dia butuh gue." Raline memelototiku. Segera kutarik tangan Raline keluar dari kamar dan bertukar dengan posisiku. Kututup pintu kamar Elang dan kukunci dari dalam. Aku kini berada di dalam bersama Elang. Raline mengetuk-ngetuk pintu kamar dengan debrakan kencangnya. "Buka pintunya.. Dasar pembantu jalang.." Ucapan Raline begitu keras dan nada frustasi meluncur dari bibirnya. Tak kubuka pintunya sampai Raline lelah dan menyerah lalu memutuskan untuk pulang. Raline masih terus mencoba menggedor pintu tapi tak kuhiraukan. Dia masih terus memakiku bahkan mulai menyebut penghuni kebun binatang satu per satu. Setelah kudengar derap langkahnya menuruni tangga, aku sedikit lega. Perasaan lebih plong kala kudengar mobilnya melaju meninggalkan pelataran. Kulirik Elang, sepertinya dia sudah bisa lebih tenang dan menguasai dirinya. Kubuka sepatunya. Saat kunaikkan selimut sampai ke dadanya, tangannya menarik tanganku dan membuatku kehilangan keseimbangan. Aku terjatuh di atas tubuhnya. "Raline.." Ucapnya dengan mata terpejam. "Ini Lira bukan Raline." Ucapku sambil mengamati detail wajahnya dari dekat. Bau minuman keras yang tak kutahu apa jenisnya membuatku sedikit pening. Tapi jelas beda dengan bau minuman keras yang sering diminum ayah. Aku lebih tertarik mencium aroma parfum Elang yang begitu menenangkan. Elang membuka matanya dan menatapku masih dengan mimik wajah yang belum sepenuhnya sadar. Elang membalikkan tubuhku dan kini dia berada di atasku. Aku begitu kaget setengah mati dan hatiku berdesir menatapnya sedemikian dekat. "Gue lagi pingin.. Kenapa Raline nggak ada?" Tanyanya dan aku yakin alkohol masih menguasainya. Dadaku terasa berdebar-debar tak karuan. Aku tak bisa terus-terusan berada di sini. Aku takut Elang melakukan sesuatu. Tanpa bisa kuantisipasi, Elang mencium leherku dan melumatnya begitu kuat, membuatku merasa sedikit sakit dan segera kudorong tubuhnya. Aku bangun dari posisiku. Elang tersungkur di ranjangnya. Jantungku berpacu lebih cepat dan rasanya deg-degan luar biasa. Segera kulangkahkan kaki keluar dari kamar Elang dan berjalan menuju kamarku. Rasanya aku masih belum mempercayai apa yang terjadi barusan. Semuanya berlangsung begitu cepat. Kutelisik bayangan leherku yang memantul di cermin. Sempurna, tanda merah dari Elang tercetak begitu jelas di sana. Dan besok, tanda ini mungkin masih akan tetap ada. Ini mungkin pertama kalinya bagiku mendapat ciuman di leher dari laki-laki sampai merah begini, tapi aku bukan gadis polos yang asing dengan hal seperti ini. Setidaknya dulu aku sering mengamati leher teh Rina yang dipenuhi red mark setelah semalam melayani tamunya. Kini aku terpekur meratapi kebodohanku. Kenapa tadi aku tak langsung mendorong tubuhnya? Kenapa aku sedikit memberinya kesempatan untuk mencium leherku? Apa bedanya aku dengan teh Rina yang membiarkan laki-laki memberi red mark di lehernya? Tidak, aku tidak sama dengannya. Aku mencintai Elang.. Ya aku rasa aku mencintainya.. Tapi tetap saja aku sudah sangat berdosa dan aku merasa rendah. Mungkin besok aku tak akan keluar kamar. Aku tak sanggup menatapnya apalagi jika tanda ini sampai terlihat olehnya. Ya ampun Lira... Kenapa kau begitu bodoh?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN