Getaran

1316 Kata
Lira’s POV Tok tok tok.. Suara ketukan pintu membuatku terkesiap. Aku sebenarnya bangun lebih pagi. Aku mandi lebih pagi dari biasanya sebelum sholat subuh. Rasanya aku ingin menghapus jejak tanda merah di leherku, jejak ciuman dari Elang semalam. Dan tanda itu masih terlihat begitu jelas. Aku tak berani keluar kamar dan aku enggan bertemu dengannya. “Lira.. Kenapa lo belum bangun? Gue laper. Lo biasanya masak pagi.” Aku tak sanggup menjawab. Aku tak akan keluar kamar. “Lira, lo masih tidur? Lo biasanya sholat subuh. Buka pintunya Ra...” Elang masih berusaha mengetuk pintu. “Ra, lo nggak lagi nyayat kulit lo kan? Lo lagi nggak bunuh diri kan? Waduh jangan-jangan lo bunuh diri. Liraaaa...” Aku mendengar ada nada panik dari suara Elang. “Aku baik-baik aja. Kamu kan punya restaurant, makan aja di sana. Aku nggak enak badan.” Ucapku akhirnya, aku tak mau Elang berpikir macam-macam. “Kenapa lo nggak bilang dari tadi? Sekarang gue anter ke dokter ya.” Kadang aku semakin terbawa perasaan jika Elang sudah bersikap penuh perhatian seperti ini. “Aku cuma pusing biasa. Ntar juga sembuh.” “Pokoknya lo harus buka pintunya Ra. Please buka pintunya. Gue ingin mastiin lo lagi nggak ngapa-ngapain di dalem.” Aku tak bergeming. “Lira, gue hitung sampai tiga ya. Kalau lo nggak keluar, gue dobrak pintunya.” Nada bicara Elang sudah terdengar kesal. Kutata rambut panjangku menutupi leherku agar tanda merah itu tertutupi. Aku beranjak dan membuka pintu. Elang menatapku dengan dingin. Matanya terus menelisik dari ujung kepala sampai kaki, membuatku merasa canggung. “Lo sakit? Gue anter ke dokter.” Matanya masih awas menatapku. “Aku nggak mau,” Elang bersedekap dan tak membuang tatapannya. “Kenapa nggak mau? Lo beneran sakit apa nggak?” Elang menempekan telapak tangannya di keningku. “Nggak anget.” Tangannya turun ke bawah, masuk ke sela-sela helaian rambutku dan menyentuh leherku, “di sini nggak anget juga.” Seketika matanya membulat. “Tunggu..” Elang menyibakkan helai demi helai rambutku. “Ini apaan? Siapa yang nyium lo? Oh, gue tahu lo pasti masukin cowok ke dalam selama gue pergi semalam.” Nada bicara Elang terdengar begitu menyebalkan. Dia sama sekali tak ingat kejadian semalam. Elang melangkah memasuki kamar. Dia menundukkan badannya dan mengintip kolong tempat tidur. Selanjutnya dia membuka lemari baju, membuka tirai jendela. “Apa yang kamu lakuin?” Elang menatapku tajam, “lo tadi alot banget disuruh buka pintu. Jangan-jangan lo nyembunyiin cowok di kamar. Tanda merah di leher lo itu jadi bukti kalau semalam lo ciuman ama cowok. Atau bahkan lebih.” “Kamu jangan nuduh aku sembarangan. Aku nggak masukin cowok ke rumah. Aku udah bilang kan, aku belum pernah pacaran, hingga detik ini aku nggak punya pacar.” Elang menyeringai, “lo pinter ngeles ya. Gue tertipu ama kepolosan lo. Lo selalu bilang ciuman dan seks seharusnya dilakukan oleh pasangan sah. Tapi apa nyatanya? Itu cuma di mulut doang, kenyataannya lo sama aja kayak cewek lain yang berlagak nggak butuh tapi sebenarnya liar.” Aku mulai kesal dan emosi mendengar kata-katanya, “Aku nggak sama kayak cewek lain. Aku berani sumpah, nggak ada seorang cowokpun yang masuk rumah ini selain lo.” Elang tersenyum sinis, “terus yang nyium lo siapa? Setan? Dedemit? Makhluk halus?” Kekesalanku sudah mencapai puncak. Bagaimana mungkin dia lupa kejadian semalam. Dia sama sekali tidak mengingatnya. Ya dia memang masih dikuasai alkohol malam itu. ciuman di leher ini begitu berarti untukku dan aku terkadang merasa sangat berdosa, sedang dia, sama sekali tak mengingatnya. Elang mencengkeram lenganku dan membuatku meringis kesakitan. “Bilang ke gue siapa cowok itu? gue punya tanggungjawab buat jaga lo, ibu lo udah nitipin lo ke gue.” Aku menatapnya dengan tatapan tertajamku, “aku nggak pernah mau tahu siapa aja wanita yang pernah kamu kencani, kenapa sekarang kamu ngotot ingin tahu siapa cowok itu?” Elang terdiam. Dia melepaskan cengkeramannya. “Jadi bener kan, semalam ada cowok datang ke sini dan nyium lo?” Giliran aku membisu. Elang memukulkan kepalan telapak tangannya ke dinding lalu meninggalkanku dengan bara amarah di matanya. Sesaat kemudian deru suara mobil melaju meninggalkan halaman. Aku terpekur. Entah apa yang berkecamuk di pikiran Elang sekarang. Mungkin dia mengira dengan liarnya aku memasukkan cowok ke dalam rumah dan mencium leherku. Dan sekarang dia marah. Apa aku harus mengatakan yang sebenarnya tentang kejadian semalam? **** Elang’s POV Entah apa yang ada di pikiran Lira. Berani benar dia memasukkan cowok ke dalam rumah selama aku tak ada. Jangan-jangan selama ini setiap aku tinggal, dia asyik bermesraan dengan pacarnya. Tampangnya polos begitu, tak kusangka dia cukup tahu caranya bersenang-senang dengan laki-laki. Kenapa aku jadi senewen begini. Ya semua orang butuh bersenang-senang dan menghibur diri sendiri. Setidaknya itu lebih baik dibanding dia melakukan self harm. Tapi tetap saja hati kecilku tak bisa menerima ini. Aku tak suka rumahku dijadikan tempat bermesraan olehnnya. Pikiranku mulai berkelana membayangkan Lira bermesraan dengan pacarnya. Pacarnya mencium bibirnya dengan liar. Tangannya bergerilya memasuki bajunya dan meremas dadanya, lalu dia cium lehernya dan dia beri tanda merah di sana. s**t, sungguh mengesalkan. Tiba-tiba terdengar bunyi smartphoneku. Ada WA dari Lira. Segera kubuka pesannya. Cowok yang ngasih tanda merah di leherku itu kamu. Kamu mungkin nggak menyadarinya karena kamu melakukannya dalam keadaan mabuk. Aku terperanjat. Apa ini serius? Semalam aku mencium Lira sampai meninggalkan red mark di lehernya? Astaga apa yang sudah aku lakukan? Apa semalam aku melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar ciuman? Pikiranku kacau dan semrawut seperti benang kusut. Rasanya jadi tak bisa fokus. Kuputar balik arah laju mobilku dan kuputuskan untuk kembali ke rumah. Aku ingin tahu lebih jelas apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan Lira semalam. Setelah mobilku terparkir di halaman rumah, aku segera memasuki rumah. Rasanya sudah tak sabar ingin mendengar penjelasan darinya. Kulihat Lira tengah mengepel lantai. Langsung kucengkeram tangannya dan kududukkam dia di sofa. “Sekarang jelasin ke gue apa maksud WA lo barusan?” Lira menghembuskan napasnya, “apalagi yang perlu dijelasin? Udah jelas pesan WA-ku. Cowok yang bikin leherku merah gini itu kamu.” Rasanya aku kecewa pada diri sendiri. Bagaimana bisa aku kelepasan melakukan hal ini padanya? “Apa aja yang gue lakuin ke lo semalam?” Tanyaku menelisik dan dia berkali-kali menundukkan wajahnya, menghindari kontak mata denganku. “Kamu narik tanganku. Kamu pikir aku Raline. Lalu kamu menindihku dan mencium leherku. Aku sama sekali nggak siap saat kamu mencium dan itu bikin aku kaget. Konsentrasiku buyar karena kamu kasar banget dan itu bikin leherku sakit. Aku dorong tubuhmu, terus aku lari balik ke kamarku.” Kucerna setiap kata yang meluncur dari bibirnya. Dia terlihat tidak sedang berbohong. Ada rasa lega yang membuatku sedikit tenang, tapi di sisi lain aku tetap merasa bersalah padanya. Aku berjongkok di depannyaa dan itu membuat Lira terkesiap. Kuraba tanda merah di lehernya, “masih sakit?” Lira menggeleng pelan. “Gue minta maaf.” Lira menunduk lalu dia menatapku sebentar,“minta maaf aja nggak cukup. Kamu harus janji untuk nggak minum ampe mabok. Saat kondisi sedang nggak sadar, orang bisa berbuat apa aja. Aku nggak tahu apa yang bakal terjadi seandainya aku nggak cepat balik ke kamarku.” Aku mengangguk, “okey semalam bakal jadi malam terakhir gue pulang dalam keadaan mabok.” Lira masih terpekur. Kutelisik detail wajahnya. Jika sedang terdiam seperti ini, dia terlihat lebih cantik. Astaga apa yang aku pikirkan? Rasa bersalahku padanya belum juga hilang. “Gue janji nggak akan nglakuin hal kayak gini lagi ke lo.” Lira menatapku agak lama. Saling bertatapan seperti ini menciptakan atmosfer yang aneh diantara kami. Segera kualihkan pandanganku ke arah lain, dia pun terlihat salah timgkah. Entah tiba-tiba serasa seperti ada getaran. Aku beranjak dan menatapnya sekali lagi. “Aku pergi dulu.” Kutinggalkan Lira yang masih duduk membisu. Untuk pertama kali aku merasa bingung dengan getaran di hati yang baru aku rasakan. Mungkin ini hanya karena perasaan bersalahku padanya yang sedemikian besar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN