Author's POV
Rega menatap Lira begitu tajam. Matanya awas menelisik tanda merah di leher Lira yang sudah berusaha Lira tutupi dengan helaian rambutnya tapi terkadang helaian rambut itu tersingkap dan tanda merah itu pun terpampang nyata, mendominasi bola mata laki-laki tampan itu. Pikirannya terus menari, membayangkan tentang perlakuan yang mungkin diterima Lira dari Elang. Ia paham benar seperti apa sosok sahabatnya. Elang, badboy yang suka berganti-ganti teman kencan, tentu tak sulit baginya untuk memanfaatkan kesempatan membangun keintiman dengan Lira. Ia merasa perlu bicara empat mata dengan Elang tentang caranya memperlakukan Lira. Lira butuh support dan penerimaan dari orang-orang di sekitarnya bukan dimanfaatkan sisi rapuhnya untuk mengambil keuntungan darinya.
"Sejak kapan kamu melakukan self harm?" Pertanyaan Rega membuat Lira terhenyak. Suasana konsultasi di ruang tengah rumah Rega memang terasa hangat dengan sikap ramah dan bersahabat yang ditunjukkan Rega, tapi membuka kembali sisi kelamnya selalu membuat Lira merasa cemas dan panik.
"Sejak lima tahun yang lalu." Jawab Lira singkat.
"Elang udah cerita sedikit tentang background keluarga kamu dan aku bisa mengerti kenapa kamu bisa kecanduan self harm dan sulit untuk keluar dari kebiasaan buruk ini. Aku ingin tanya sesuatu, apa yang kamu rasain setiap kali melakukan self harm?"
Lagi-lagi Lira tercekat. Dia meremas jari-jari tangannya dan kecemasannya semakin menjadi. Rega bisa merasakannya dari ekspresi wajah Lira yang menunjukkan kepanikannya dan gerakan meremas jari-jari tangannya yang tak jua berhenti.
"Lira, jangan terlalu tegang. Santai aja. Anggap aku sebagai teman dekat atau bahkan best friend. Aku nggak akan menghakimimu." Rega mengulas senyum ramahnya. Lira hanya mengangguk pelan.
"Kalau kamu keberatan untuk menjawab, nggak usah dijawab." Lanjut Rega lagi.
Lira tahu Rega orang yang tulus dan baik. Dia sama sekali tak keberatan untuk bercerita lebih banyak padanya. Hanya dia selalu membutuhkan kekuatan untuk bisa tegar bercerita. Self harm baginya adalah sesuatu yang begitu emosional dan selalu membuatnya terluka kala teringat bahwa menyakiti diri sendiri itu perbuatan zalim. Dia merasa seperti seorang pendosa setiap kali membuat luka di sekujur tubuhnya.
"Aku akan jawab." Lira menghela napas. Dia memejamkan mata sejenak lalu membukanya lagi dan menatap Rega dengan lebih rileks.
"Setiap kali aku melakukannya, aku selalu sedih. Kadang aku nangis. Tanganku gemetar dan aku begitu kalut. Aku selalu berpikir buruk tentang diri aku sendiri. Aku selalu memandang bahwa aku gagal, aku tak pantas hidup, aku layak mati, aku tak diinginkan, aku sendirian, aku nggak punya siapa-siapa, aku ingin selalu lari dari kenyataan, aku benci dengan diri sendiri dan aku benci kehidupanku. Dengan rasa benci itu dorongan untuk menggoreskan cutter ke tangan atau kakiku akan semakin besar. Setiap kali lihat darahku menetes, aku merasa lebih tenang. Aku merasa aku pantas mendapatkannya karena aku telah mengecewakan semua orang, terutama ayah. Bau anyir darah seperti candu, yang jika lama tidak tercium, akan membuatku kayak orang sakau. Rasa perih karena goresan cutter juga udah jadi candu buatku. Aku ingin keluar tapi nggak bisa.." Mata Lira mulai berkaca namun ia tahan sedemikian kuat untuk tak jatuh.
Hati Rega seolah tersayat dan tercabik mendengar pengakuan Lira. Dia bisa melihat ada tumpukan luka yang seakan sudah menggunung di sorot mata gadis malang itu. Luka yang telah Lira emban sejak kecil.
"Kamu bilang saat kamu melukai diri kamu merasa tenang? Apa setelahnya kamu masih bisa merasa tenang?"
Lira kembali tercekat karena pertanyaan Rega begitu menusuk. Dia tahu ketenangan yang ia rasakan saat melakukan self harm tidak bertahan lama. Dia hanya merasa tenang saat itu saja. Selebihnya dia akan merasa bersalah, berdosa dan jika melihat bekas luka sayatan yang mungkin akan membekas selamanya, terkadang ada penyesalan yang menyergapnya.
Rega masih menatap Lira dan menunggu jawaban darinya.
Lira menundukkan wajahnya, "aku tahu ke arah mana pembicaraanmu." Lira membalas tatapan Rega dengan tatapan dingin, "aku tahu ketenangan itu hanya sementara dan berganti perasaan bersalah dan berdosa. Tapi, aku belum bisa ngalahin diri aku sendiri."
Rega mengangguk pelan, "aku yakin suatu saat nanti kamu bisa menang."
"Lira..."
"Ya."
"Pernahkah kamu berpikir bahwa perlakuan ayahmu yang semena-mena terhadapmu itu bukan kesalahanmu? Kamu selalu merasa nggak pantas hidup, kamu benci kehidupanmu, kamu merasa nggak diinginkan.. Tanpa kamu sadari kamu selalu memandang dunia dan orang lain sama seperti ayahmu yang nggak menginginkanmu, memperlakukanmu dengan begitu jahat, dan merendahkanmu. Cara kamu memandang diri kamu sendiri selalu berpusat dari cara ayah kamu memandangmu. Lira.. Coba sesekali kamu bercermin lebih lama."
Lira meresapi kata demi kata yang meluncur dari bibir Rega. Dia membenarkan semua perkataan Rega. Tapi dia tak mengerti kenapa Rega memintanya untuk bercermin lebih lama.
"Kenapa aku harus bercermin lebih lama?" Lira mengernyitkan dahinya.
Rega tersenyum, "kamu punya mata yang indah."
Lira terbelalak. Mata? Dia teringat Elang juga mengatakan hal yang sama bahwa dia memiliki mata yang indah.
"Kamu cantik Lira, kamu istimewa, kamu spesial, kamu pantas untuk dicintai dan kamu diinginkan oleh orang-orang yang mencintaimu. Tak seharusnya kamu benci pada diri kamu sendiri." Rega menatap Lira dengan tajam, membuat Lira sedikit grogi.
Lira tercenung. Untuk pertama kalinya ada seseorang yang mengatakan bahwa dia cantik, spesial, istimewa dan pantas untuk dicintai. Dia tak pernah merasa bahwa dia cantik, apalagi memiliki mata yang indah. Ada semburat merah terlukis di wajahnya.
"Lira.. Kenapa diam?" Tanya Rega lembut.
Lira terkesiap, "ehm... Seumur hidupku belum pernah ada yang bilang aku cantik dan istimewa."
"Pacarmu? Dia tidak pernah mengatakannya?"
Lira membelalakan matanya, "apa?"
"Ehm lupakan." Rega menyadari bahwa dia tak seharusnya menanyakan ini. Terkadang status memiliki pacar atau tidak itu menjadi privasi seseorang yang tidak ingin diketahui oleh orang lain.
"Aku nggak punya pacar, lebih tepatnya belum pernah punya pacar." Ucap Lira.
Rega sedikit tersentak. Gadis sembilan belas tahun yang duduk di hadapannya ini belum pernah memiliki seseorang yang spesial? Lalu bagaimana bisa Elang meninggalkan jejak merah di lehernya?
"Hai Rega, Lira udah selesai ngobrolnya?" Suara Elang memecah kesunyian diantara Rega dan Lira.
Elang memang sengaja meninggalkan Lira di rumah Rega agar Lira bisa berkonsultasi banyak dengan Rega, sementara Elang mendatangi kontrakannya untuk mengantar beberapa kaleng cat karena dia sedang mempekerjakan tukang untuk mengecat beberapa rumah kontrakannya. Sekarang dia kembali untuk menjemput Lira.
"Udah beres urusanmu?" Tanya Rega.
Elang mengangguk, "iya udah beres."
"Elang bisa kita bicara sebentar?" Ujar Rega lagi.
"Bisa, kenapa nggak?" Balas Elang.
****
Elang dan Rega saling berhadapan di ruang makan, sementara Lira menunggu di ruang tengah.
"Katakan yang jujur El, apa yang lo lakuin ke Lira?"
"Maksud lo?" Elang menyipitkan matanya.
"Gue lihat ada jejak bibir lo di lehernya." Balas Rega datar.
Elang menghembuskan napas. Dia akui mata Rega begitu awas sampai bisa menemukan jejak merah di leher Lira.
"Itu di luar kesadaran. Gue hang out bareng Raline. Pulangnya mabok dan gue nggak sadar nyium leher dia ampe berbekas."
Rega tersenyum sinis, "hanya ciuman atau lebih?"
Elang menatap sahabatnya dengan tajam, "hanya ciuman. Lira bilang dia lari ke kamarnya setelah gue cium lehernya. Gue nyesel banget Ga."
Rega terkekeh, "seorang Elang nyesel setelah nyium cewek? Gue nggak salah denger?"
"Gue cuma nyesel nyium Lira. Yang lainnya nggak." Tukas Elang.
"Kenapa?" tanya Rega sambil bersedekap.
"Karena Lira nggak sama kayak yang lain. Dia selalu berpikir ciuman dan seks itu hanya boleh dilakukan oleh pasangan sah."
Rega tertegun.
"Elang, lo harus jaga dia. Jangan manfaatin kerapuhan dia buat ngambil keuntungan dari dia."
Elang menatap Rega dengan tatapan tertajamnya, "gue tahu. Gue nggak sebrengsek itu."
***
Deru laju mobil yang dinaiki Elang dan Lira terdengar menjauh dan Rega masih terpekur dari balik tirai. Dia mencoba memutar kembali rekaman pembicaraannya dengan Lira di kepalanya. Dia menyadari satu hal, Lira gadis yang istimewa dan dia ingin bisa berbuat sesuatu yang lebih untuk membantunya benar-benar keluar dari self harm serta rasa benci pada dirinya sendiri.