Start to Get Jealous

1617 Kata
Elang's POV Setiap jam makan siang suasana restaurant selalu ramai. Banyak karyawan perusahaan di sekitar reataurant yang menghabiskan jam makan siangnya di sini. Selain itu restaurantku juga menerima pesanan catering untuk makan siang. Setidaknya ada sepuluh instansi yang berlangganan tetap memesan catering. Suasana dapur terlihat begitu padat. Para chef terlihat sibuk. Aku sendiri sering terjun langsung melayani pembeli atau ikut memasak. Meski background pendidikanku bukan di kuliner, tapi aku pernah ikut kursus masak dan aku memang suka masak. Sejak SMP aku sudah senang bereksperimen dengan berbagai bahan dan bumbu untuk menghasilkan masakan yang enak. Saat aku sibuk memasak, tiba-tiba tepukan di bahuku membuatku terkesiap. Kutoleh ke belakang. Sosok Raline sudah berdiri mematung dengan segaris senyum tipis di kedua sudut bibirnya. "Elang..." "Raline, kok nggak bilang dulu mau ke sini?" "Pingin ngasih kejutan." Jawabnya masih dengan senyumnya yang teramat manis. Dulu pertama kali aku jatuh cinta padanya karena aku tertarik melihat senyumnya. Kulepas celemek yang aku pakai dan kuminta salah satu chef untuk meneruskannya. Selanjutnya kugandeng Raline menaiki tangga, menuju ruang pribadiku. Raline dan aku sudah berada di dalam ruangan. Di ruanganku hanya ada meja, kursi, sofa lebar mirip ranjang kecil untuk berbaring, televisi dan kulkas yang biasa kuisi dengan minuman ringan, soft drink dan buah-buahan. "Mau minum? Aku ambilin dulu ya." Saat aku hendak melangkah menuju kulkas, Raline menarik tanganku dan mengalungkan kedua tangannya ke leherku. "Aku lebih tertarik ciumanmu dibanding minuman." Raline melumat bibirku dengan rakus seakan sudah lama kami tak berciuman. Dia terus menciumku tanpa ampun membuatku kewalahan sampai aku harus menghentikannya. "Kenapa? Kamu nggak suka?" "It will lead us to do something more Raline. And I never thought to have s*x with you in this room." Raline tertawa, "Why? This is your private room, right?" Aku tersenyum, "It's not the right time. Aku lagi banyak kerjaan sayang." "Hmm, jadi kedatanganku mengganggumu?" Raline mulai menunjukkan ekspresi kesal di wajah cantiknya. Kuhela napasku. Salah satu hal tersulit yang membuatku merasa terpojok adalah ketika Raline sudah salah paham dan tersinggung akan perkataanku. "Kumohon Raline, mengertilah. Kita bisa nglakuin di lain kesempatan, bukan di sini. Masih banyak waktu yang bisa kita habiskan berdua." Aku mencoba tersenyum untuk mencairkan kekecewaannya. "Hmm, waktu itu kita punya kesempatan untuk bermesraan, tapi pembantumu yang kurangajar itu mengeluarkan aku dari kamarmu. Nggak cukup sampai di situ, dia mengunci pintu dari dalam. Aku nggak bisa masuk. Akhirnya aku milih pulang aja. Bener-bener dia pembantu paling kurangajar dan menyebalkan." Aku tersentak mendengar kata-kata yang meluncur dari bibir Raline. Kenapa Lira menghalangi Raline untuk menginap di rumah? Jadi itu kronologis kenapa aku bisa mencium lehernya hingga berbekas? Lira sempat masuk ke kamarku dan aku mengira dia adalah Raline. "Elang.." Raline menelusuri wajahku dengan gerakan jari-jari tangannya sampai terhenti di bibirku. Kata Raline bibirku ini begitu menggairahkan dan aku ini seorang good kisser. Bisa dipastikan semua perempuan yang pernah kucium pasti selalu ingin mengulang kembali adegan ciuman panas denganku. "Ada apa sayang?" Sekarang Raline memainkan kancing kemejaku. Sungguh sikap manja Raline hari ini menjadi godaan tersendiri yang membuat hatiku berdesir dan sepertinya aku sedikit terangsang. Tidak aku tidak mau melakukannya di sini. "Kamu mau nggak mecat pembantu kurangajar itu?" Seketika aku kaget bukan kepalang. Rasanya seperti tersambar petir. Aku bisa mengabulkan apapun yang diminta Raline asal bukan permintaan seperti ini. "Raline, memecat orang itu nggak bisa sembarangan, harus ada alasan yang jelas. Selama ini kerja Lira bagus, kenapa aku harus memecatnya?" Raline menjauhkan badannya dariku. Wajahnya sudah mulai memerah karena marah. Sikap kekanakannya yang kadang muncul selalu saja membuatku tersudut dan menjebakku dalam posisi yang sulit. "Aku nggak suka dia. Dia tuh penghalang buat kita. Kamu bisa nyari orang lain yang lebih berpengalaman dan bisa kerja lebih baik." "Raline, kamu boleh minta apa aja tapi jangan minta aku buat mecat dia." Raline tersenyum sinis, "kenapa? Kenapa kamu mati-matian mempertahankan dia? Kamu ada perasaan ama dia?" Bibirku serasa kelu mendengar pertanyaan Raline yang sulit untuk aku jawab. Pertanyaan ini begitu menghujam sampai ke dasar hatiku. Aku sendiri tak tahu kenapa aku tak mau kehilangan Lira. Apa karena aku merasa punya tanggungjawab terhadapnya, karena ibunya pernah menitipkan dia padaku? Atau karena seperti yang dikatakan Raline? Aku punya perasaan padanya? Sungguh ini pertama kali bagiku merasa begitu bingung mendeskripsikan perasaanku. "Kamu diem berarti benar kan?" Sorot mata Raline menancap tepat di ujung retinaku. Aku tak berkutik dan mulutku seperti terkunci. "It's okay." Raline bicara ketus lalu berbalik dan meninggalkanku begitu saja. Aku hanya bisa tercenung tanpa mengejar Raline atau minimal menahannya untuk tak pergi. Kubuka tirai jendela. Kutatap Raline memasuki mobil dan melajukannya, meninggalkan pelataran parkir. Aku tak habis pikir, kenapa aku membiarkannya pergi begitu mudah? **** Kulangkahkan kaki memasuki rumah dan kuedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan. Lira tak ada. Mungkin dia sedang di kamar. Kunaiki tangga menuju kamarku. Rasanya aku ingin segera mandi, melepaskan penat dan menyegarkan tubuhku. Seusai mandi aku duduk di ruang tengah. Tanganku terampil mengganti satu channel ke channel lainnya dan tak ada satu acarapun yang menarik. Derap langkah terdengar merdu menuruni tangga. Kulirik Lira mengenakan dress warna hitam bermotif bunga yang dulu aku belikan untuknya. Aku menganga sekian detik. She looks so beautiful. "Lo mau kemana? Rapi banget." Lira duduk di sebelahku tapi berjarak agak jauh. "Rega ngajak aku dinner. Aku sambil konsultasi juga." Aku terhenyak. Rega mengajak Lira dinner? Sulit kupercaya. Gesit juga langkahnya mendekati Lira. Mengatasnamakan konsultasi demi bisa mengajaknya makan malam. Ide yang bagus. "Memangnya harus sambil dinner? Kalian bisa ngobrol di rumah." Balasku sekenanya. Lira menyila rambut panjangnya ke belakang. Dia tersenyum padaku. "Memangnya kenapa? Kami udah jadi teman sekarang. Aku butuh konsultasi dengannya. Lagipula aku nggak pernah keluar untuk makan malam." "Kalau sekedar makan malam, gue bisa ngajak lo." Kami saling beradu pandang. "Kamu sendiri yang bilang aku harus banyak konsultasi dengan Rega. Kenapa sekarang seakan nglarang aku pergi?" Cecar Lira sambil membidikkan lirikannya padaku. Kukernyitkan alisku, "siapa yang nglarang lo? Jangan GR. Gue bisa bebas ngajak Raline ke sini kalau nggak ada lo atau hang out bareng." Sesaat aku tertawa dalam hati, menertawakan diri sendiri, kenapa aku harus melibatkan Raline dalam situasi ini. Lira yang dari tadi tersenyum menatapku kini mengganti mimik wajahnya begitu datar, "ngajak Raline ke sini? Mau apa? Mau bobo bareng? Mau nglanjutin malam lalu yang gagal karena aku kunci pintumu dari dalem?" Ucapan Lira bernada sewot. Kata-kata Lira mengingatkanku bahwa sebelumnya aku memang sudah berencana menanyakan tentang malam itu padanya. Aku beruntung karena tak perlu memikirkan bagaimana cara membuka percakapan tentang malam itu, dia membukanya terlebih dahulu. "Kenapa malam itu lo ngunci pintu kamar gue dari dalem? Kenapa lo nggak biarin Raline tidur di kamar gue?" Kutatap Lira dengan tatapan tertajamku. Aku bisa merasakan dia sedikit nerveous. Lira membuang muka dan tak mengucap sepatah katapun. "Kenapa lo diem? Ayo jawab, gue pingin tahu alasan lo." Lira kembali menolehku. Dia menghela napas, "gue nggak mau ada perzinahan di rumah ini." Ucapannya begitu menusuk, menggetarkan hati. Aku memang sudah melakukan dosa, tidur dengan banyak perempuan meski selalu memakai pengaman, tapi aku tahu, jiwaku tak pernah merasa aman. Aku paham aku tak akan selamat dari dosa dan hukuman. Tapi seks sudah jadi kebutuhanku dan aku selalu butuh pelampiasan untuk membuatku sedikit rileks. Seks itu selalu bisa membuatku rileks dan aku tak peduli dengan sesuatu bernama dosa. Everybody needs s*x right? So I don't need to avoid it. Gadis ini belum pernah merasakannya makanya dia hanya bisa melabeli perbuatanku dengan sebutan zina dan dosa. Ya memang dia benar, di mata para manusia yang menyebut dirinya bermoral, seks dengan orang yang bukan pasangan sah adalah zina dan berdosa, tapi di mata para pendosa seperti kami, seks itu surga, kenikmatan yang membuat kami lupa sejenak akan masalah hidup. "Memangnya kenapa kalau ada zina? Gue yang berzina, tapi lo yang repot. Dosanya bakal gue tanggung sendiri kok, nggak gue bagi ke lo." Lira tersenyum, lebih tepatnya senyum sinis yang sama sekali tak enak untuk dilihat. "Kita sama-sama muslim El. Dan sesama muslim wajib saling mengingatkan. Yang penting aku udah ngingetin, udah gugur kewajibanku." Aku menyeringai, "ceramah itu gampang. Lo belum pernah ngrasain makanya lo selalu memandang para pelakunya dengan pandangan negatif. Kalau lo udah ngrasain enaknya, mungkin di pikiran lo nggak akan pernah terpikir tentang zina atau dosa, yang penting lo puas, senang, terhibur, rileks. Sama kayak tiap lo nglakuin self harm. Lo selalu merasa puas, tenang dan nggak peduli lagi soal dosa karena menzalimi diri sendiri." Lira terdiam. "Atau lo mau gue tunjukin kenapa orang bisa lupa akan dosa kalau udah berurusan dengan seks?" Aku tahu kata-kataku ini mungkin terlalu frontal dan membuatnya tak nyaman, tapi sesekali kata-katanya yang kerap terlalu menghakimi perlu dibalas dengan lebih pedas. Lira beranjak dan menatapku dengan garang, "apa maksud kamu? Kamu udah mulai kurangajar ya. Kamu pikir aku cewek gampangan yang mau digrepe-grepe, ditidurin?" Aku ikut beranjak dan kami saling berhadapan, "santai dikit napa? Gue cuma ngasih tantangan buat lo. Barangkali lo mau nyoba, mau ngrasain enaknya biar lo nggak ceramah mulu. Gue bisa bikin lo melayang." Kudekatkan wajahku di telinganya lalu aku berbisik, "bahkan juga ketagihan." Plakkkkk.. Satu tamparan Lira mendarat di pipi kananku. "Nggak semua perempuan bisa kamu mainin sesukamu, bisa kamu tidurin, bisa kamu bohongi dengan rayuan manismu. Setiap orang punya pengendalian diri masing-masing. Dan pengendalian diri kamu itu nol besar. Kamu biasa melecehkan perempuan, makanya kamu bisa bicara seenaknya tanpa mikir dulu." Aku membisu. Aku tahu aku salah. Tak seharusnya aku bicara seperti ini padanya. Tingtong.. Suara bel memecah keheningan diantara kami. Lira melangkah menuju pintu tanpa berpamitan sama sekali. Aku hanya bisa terpekur mendengar deru laju mobil Rega yang perlahan terdengar sayup dan akhirnya menghilang. Tiba-tiba tercetus untuk menelpon Raline dan meminta maaf atas sikapku tadi siang, lalu mejemputnya dan mengajaknya ke sini. Aku ingin tahu bagaimana reaksi Lira saat melihatku bermesraan dengan Raline di depan matanya. Pembalasan yang sempurna
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN