Author's POV
Rega mengamati wajah Lira yang sedari tadi tampak murung. Kalaupun tersenyum, tampak sekali bahwa senyumnya sangat dipaksakan. Sepertinya suasana hatinya memang sedang buruk. Di mata Rega, Lira gadis yang menarik. Dia memiliki mata yang indah, yang jika ditelisik lebih dalam ada sisi kerapuhan yang seakan memanggilnya dan berkata "please save me". Tapi di sisi yang lain seperti ada kekuatan yang bahkan Lira sendiri tak menyadarinya. Mata itu selalu bisa membiusnya, seakan menenggelamkanmya di dalamnya. Mungkin orang yang menatap matanya lebih dekat dan dalam bisa tertipu dan menyangka gadis ini baik-baik saja. Tapi tidak dengannya. Dia selalu bisa melihat ada luka yang begitu hebat tersembunyi di balik sorot bola matanya yang bercahaya.
Makanan Lira masih utuh, dia hanya menyeruput jusnya beberapa kali. Itupun bukan karena haus, tapi untuk menutupi kegelisahannya setelah pertengkarannya dengan Elang. Pikirannya tak bisa fokus dan terus berkelana ke rumah. Dia tahu Elang sudah sangat keterlaluan. Namun kini ia menyesali sikapnya yang sudah melayangkan tamparan ke pipinya. Dia ingin segera pulang tuk memastikan keadaan Elang baik-baik saja.
"Lira kenapa dari tadi nggak dimakan? Kamu nggak suka?"
Pertanyaan Rega membuyarkannya dari lamunan. Lira tertegun sekian detik sampai akhirnya dia bertanya kembali, "tadi kamu nanya apa?"
Rega tersenyum tipis, "kayaknya kamu lagi banyak pikiran ya? Kamu kurang fokus, dari tadi melamun terus.
Lira menunduk, "maafkan aku Rega. Kita pulang aja ya."
Rega membelalakan matanya, "pulang?"
Lira tahu dia sudah mengecewakan Rega. Acara dinner kali ini tidak berjalan sesuai rencana. Bahkan mereka belum sampai pada pokok inti pembicaraan.
"Aku minta maaf. Aku kurang fokus malam ini. Mungkin kita bisa bicara lagi di lain waktu." Lira merasa tak enak hati, tapi dia tak bisa memaksakan dirinya untuk tetap berada di situasi tak mengenakkan ini.
Rega mengangguk, "tak apa. Lebih baik kita pulang. Masih banyak kesempatan untuk berbincang."
***
Suara laju mobil terdengar begitu jelas, mengagetkan Elang yang tengah mengusap kepala Raline yang bersandar di bahunya. Mudah bagi Elang untuk mendapatkan maaf dari Raline dan saat ini mereka tengah menonton film di rumah Elang. Elang mendengar derap langkah Lira menuju ke dalam. Segera dia mencium Raline, membuat Raline tersentak karena tak siap menerima serangan Elang yang begitu tiba-tiba dan liar.
Lira tercengang melihat apa yang terjadi di hadapannya. Dia sudah membayangkan ketika dia tiba di rumah, dia akan meminta maaf pada Elang karena telah menamparnya. Namun setelah apa yang dia lihat barusan, tampaknya dia berpikir untuk mengurungkan niatnya. Hatinya sakit dan tercabik-cabik melihat Elang mencumbu mesra Raline dengan begitu liar, bahkan tangan Elang bebas menjelajah memasuki blouse Raline dan entah apa yang ia mainkan di dalam. Setitik air mata berlinang membasahi pipi. Lira setengah berlari menuju kamarnya. Elang membuka matanya dan menyaksikan derap langkah Lira menuju kamarnya dan ia bisa mendengar suara tangis Lira meski begitu pelan. Perasaan Elang bercampur aduk. Satu hal yang ia yakini, Lira memiliki perasaan terhadapnya. Jika tidak, tak mungkin ia menangis melihatnya bermesraan dengan Raline.
Lira menangis sesenggukan di kamarnya. Air matanya terus mengalir tanpa mampu ia cegah. Suaranya terdengar begitu menyayat. Dia duduk terpekur dan menekuk kedua lututnya. Hatinya begitu perih dan dia merutuki kebodohannya yang telah menangisi seseorang seperti Elang, yang bahkan tak pernah memikirkannya. Di benaknya hanya ada keinginan untuk bersenang-senang, berkencan dengan banyak perempuan, mempermainkan perasaan perempuan dan sama sekali tak peduli dengan perasaan orang lain. Untuk sejenak Lira bertanya pada dirinya sendiri, "beginikah rasanya patah hati? Kenapa begitu sesakit ini?" Dia berpikir jika bisa meminta, dia ingin mengubur perasaannya pada Elang. Dia tak mau jatuh cinta jika harus berakhir patah hati. Tapi perasaannya terhadap Elang telah terlanjur tumbuh sedemikian besar. Dan akhirnya dia menyerah pada rasa sedih dan sakit yang menguasai dirinya. Self harm kembali menjadi pelariannya. Ia menggoreskan luka di bawah sepanjang tulang belikatnya, di bawah bahu kirinya. Luka ini takkan terlihat oleh siapapun karena tertutup bajunya.
***
Elang's POV
Ada yang terasa aneh di pagi yang cerah ini. Atmosfer di ruangan ini serasa begitu canggung, tak menyenangkan dan rasanya aku ingin kabur dari sini. Ada seorang gadis yang tengah sibuk memasak di dapur dan tak seperti biasanya ia terus menekuk wajahnya, tak lagi bertanya padaku masakan apa sedang aku inginkan. Sejak keluar dari kamarnya dia tak menyapaku sedikitpun. Bahkan aku sama sekali tak mendengar ada suara yang keluar dari bibirnya. Mungkin dia sedang puasa bicara.
Perutku sudah mulai keroncongan. Berciuman begitu liar dengan Raline lalu berlanjut dengan percintaan panas kami semalam sepertinya membuat energiku terkuras. Raline sedang mandi dan sedari tadi belum keluar dari kamarku. Aku berjalan menuju ruang makan. Baru ada nasi dan ayam goreng yang tersaji di atas meja. Lira tengah memasak sop dan sesekali dia melirikku, menatapku dengan cemberut kemudian membuang muka, menghindari kontak mata lebih lama denganku.
"Lama amat sopnya. Masak yang serius jangan sambil melamun."
Lira tak menanggapi ucapanku, sepertinya dia sengaja mendiamkanku. Ekspresi wajahnya terlihat garang. Sungguh kalau sedang begini, dia terlihat lebih horor dari Mak Lampir.
"Gue lagi pingin makan telur dadar, tolong bikinin gue telur dadar juga."
Lagi-lagi Lira tak bergeming. Aku semakin greget dibuatnya.
"Lo denger nggak sih? Dari tadi diem mulu. Gue lagi ngomong sama lo ya." Nada bicaraku meninggi.
Lira hanya membalasku dengan tatapannya yang tajam, masih dengan muka ngambeknya. Kudekati dia dan kucengkeram tangannya.
"Kenapa dari tadi lo diemin gue?"
Lira meringis kesakitan dan berusaha melepaskan tangannya dari cengkeramanku. Aku semakin mengeratkan genggamanku. Aku ingin dia bicara meski cuma satu kata.
"Elang.."
Suara Raline membuatku terkesiap. Kulepaskan cengkramanku dari tangan Lira. Raline melangkah mendekat dengan gestur tubuhnya yang manja.
"Sayang kamu punya oatmeal nggak?" Raline meraba dadaku dengan sentuhan jari-jarinya yang lembut dan kulihat Lira menatap kami dengan ekspresi wajah yang tak bisa dijelaskan. Dia seperti memendam amarah dan tak suka melihat kami.
"Aku nggak punya sayang. Tapi ada buah dan yoghurt. Kamu masih diet?"
Raline mengangguk, "iya berat badanku belum ke angka yang aku inginkan."
Kuusap pipinya, "kamu nggak perlu diet. Tubuh kamu udah ideal dan seksi banget."
"Masa sih? Kamu bilang gini cuma buat nyenengin aku kan?" Senyum merekah tergambar di wajah Raline.
"Aku jujur sayang. Kamu cewek paling seksi yang pernah aku kenal."
Braakkkk
Suara alat-alat dapur yang saling bersinggungan begitu memekakan telinga. Kulihat Lira tengah menata alat dapur di rak sambil sesekali menatap kami dengan tatapan tak suka.
"Eh lo, bisa kerja bener nggak sih? Pelan-pelan menatanya. Berisik tahu..!" Mata Raline membulat dan menatap Lira dengan tatapan kebencian. Sedari awal dia memang tidak menyukai Lira.
Lira masih bertahan dengan sikap diamnya. Entah kenapa aku justru senang melihat ekspresi wajahnya. Terlihat sekali dia tengah cemburu.
"Dasar gadis aneh." Raline menggelengkan kepalanya.
***
Raline sudah pulang barusan. Tadinya aku mau mengantarnya, tapi dia menolak. Dia memesan taxi online, katanya mau mampir ke rumah temannya.
Lira masih sibuk dengan pekerjaannya. Kurasa hari ini dia sengaja membuat harinya lebih sibuk dari biasanya. Kulihat dia tengah mengelap kaca. Aku mendekat padanya dan berdiri di belakangnya.
"Lo dari tadi belum istirahat. Nggak usah bikin diri lo lebih sibuk dan lebih capek. Lo nggak perlu ngerjain semuanya."
Lira tak merespon. Dia terus menyibukkan diri mengelap kaca. Kesabaranku hilang sudah. Kupegang kedua lengannya dan memaksanya untuk menghadapku. Kutundukkan kepalaku agar bisa melihat wajahnya. Dia terlihat dingin.
"Kenapa lo diam aja? Lo marah ama gue? Ngambek? Cemburu?"
Lira mengangkat wajahnya dan menatapku.
"Kamu nggak pernah bisa mahami perasaan orang lain."
Kulihat setitik bulir sebening kristal menuruni pipinya. Aku tercekat dan sesaat aku hanya mampu membisu. Mata kami beradu. Dan tiba-tiba mataku dikejutkan dengan luka sayatan di bawah bahu kirinya. Kerah bajunya melorot dan menampilkan luka sayatan yang masih baru karena ada bercak-bercak coklat tanda luka itu sedang dalam proses mengering dan aku belum pernah melihatnya sebelumnya.
"Lo bikin luka baru lagi?" Mataku masih tertuju pada luka sayatan itu. Lira tercenung tak menjawab. Dia semakin terisak. Aku trenyuh melihatnya. Dia melukai dirinya lagi karenaku? Kuusap luka yang baru mengering itu. Selanjutnya kukecup luka itu dan aku bisa rasakan Lira terkesiap, namun dia tidak menolaknya. Aku bisa mendengar detak jantungnya berirama begitu kencang. Debarannya begitu nyata. Lira gugup karena kecupan yang kudaratkan di bekas luka sayatan yang baru ia buat tadi malam. Kutatap tajam wajahnya yang berurai air mata. Aku berbisik lirih di telinganya.
"I'm sorry.."