Start being attracted to you

2188 Kata
Elang’s POV Aku dan Lira saling menatap, seakan ada kebekuan diantara kami. Sebenarnya aku tak ingin dia berharap lebih. Tapi dari sorot matanya, aku bisa melihat ada pengharapan akan kelanjutan cerita antara aku dan dia. Aku kadang bingung sendiri bagaimana memperlakukannya. Aku hanya ingin dia lebih menghargai dirinya sendiri dan berhenti melukai diri. Dari sikapnya yang tidak menolakku saat mengecup bekas lukanya, aku tahu dia mulai menaruh hati padaku. Semua itu juga terihat dari sikap diamnya pagi ini, seolah menunjukkan bahwa dia begitu cemburu pada Raline. Jujur berdiri sedekat ini dengan Lira, aku merasa ada sedikit desiran dan getaran, agak gugup juga. Meski jam terbangku sudah tinggi untuk urusan mendekati perempuan, tapi aku tak bisa serileks biasanya saat sedang berdekatan dengannya. Entahlah semakin hari dia semakin cantik. Sebenarnya saat awal bertemu dengannya, aku yakin sekali bahwa gadis sepertinya tak akan membuatku tertarik, apalagi jika melihat banyaknya bekas luka sayatan di tubuhnya. Tapi entah kenapa, aku mulai menyadari dia sebenarnya menarik, tak peduli dengan banyaknya bekas luka yang ia miliki. Kurasa naluri playboyku ini belum juga sirna. Aku pikir setelah aku kembali pada Raline, aku tak akan bisa tertarik dengan perempuan lain. Nyatanya aku malah mulai tertarik pada Lira. Dia seksi dengan keunikannya. Aku mulai tak bisa mengendalikan diriku. Kutatap terus wajahnya hingga membuatnya salah tingkah. Sedikit demi sedikit semakin kudekatkan jarak wajahku dengan wajahnya. Aku rasa tak apa jika aku menciumnya. Yang penting tidak mengajaknya ke tempat tidur. Kalau dia tak keberatan untuk dicium, tidak mengapa kan? Aku ini cowok normal. Berdekatan dengan Lira, serumah dengannya meski hubungan kami hubungan atasan dan bawahan, semua itu kadang membuatku harus menekan hasratku untuk tertarik padanya. Ya aku juga tidak pernah menganggapnya sebagai bawahan. Aku cukupi semua kebutuhannya dan aku bebaskan dia untuk mengerjakan apa yang dia ingin kerjakan, tidak pernah memaksanya mengerjakan pekerjaan rumahtangga. Dipikir-pikir dia seperti istriku saja, minus adegan ranjang tentunya dan bentuk keromantisan lainnya. Saat jarak kami hanya tinggal beberapa senti, Lira menempelkan ujung jarinya di bibirku. “Sekalipun aku jatuh cinta padamu aku nggak akan pernah membiarkanmu mencium bibirku. Berhentilah bertingkah seperti playboy kalau sedang bersamaku Elang.” Lira menatapku tajam dan aku pun menarik mundur wajahku. Dasar PHP, aku pikir dia akan pasrah begitu saja saat aku coba menciumnya. Aku yakin jauh di dalam hatinya dia tak keberatan jika aku menciumnya. Dia hanya sedang menjaga image, jual mahal biar nggak terkesan murahan. Dasar Lira. Dia belum pernah merasakan ciumanku. Kalau dia sudah merasakannya, aku yakin dia akan selalu memikirkannya dan tak bisa lupa dengan adegan romantis ini. “Jangan samain aku ama cewek lain yang bisa kamu cium seenaknya.” Nada bicara Lira begitu sewot. Dia kembali mengelap kaca dan aku masih terpekur menatapnya dengan senyum masam, merutuki kekonyolanku barusan. Ayolah Elang, penolakan dari satu perempuan nggak akan bikin kamu patah hati. “Hari ini lo sombong banget ya nolak gue. Suatu saat lo bakal jatuh juga ke pelukan gue.” Aku masih memandangnya dengan rasa penasaran yang semakin besar. Lira melirikku dan matanya membulat seakan hendak menelanku bulat-bulat. “Enak banget ya jadi kamu kalau semua cewek mau kamu mainin. Awalnya aku emang tertarik ama kamu. Aku nggak munafik. Kalau aku suka, aku akan bilang kalau aku suka. Masalahnya sekarang aku tuh seperti disadarkan.” Lira kembali menatapku dan bersedekap. “Kamu bukan orang yang aku cari. Aku nggak mau dikit-dikit patah hati. Jiwa petualangan cinta kamu tuh belum juga hilang. Kamu playboy, badboy, nyebelin, seenaknya sendiri, merasa paling ganteng dan diinginkan cewek. Aku nggak mau perasaan aku ke kamu makin besar. Aku akan berusaha ngubur perasaan aku dan mencari orang lain yang lebih pantas untuk dicintai.” Aku tercekat mendengarnya. Tak kusangka dia berani bicara pedas seperti ini padaku. dia seperti di atas angin. Mungkin karena Rega tertarik padanya jadi dia berani meremehkanku. “Oh, sekarang lo udah mulai berani ya. Udah mulai ngata-ngatain gue dan lo bilang apa barusan? Mau nyari cowok lain? Buktiin kalau emang lo bisa. Ujung-ujungnya pasti juga bakal balik lagi ke gue. Nggak usah sok kecantikan. Nggak ada yang tertarik ama lo, apalagi kalau tahu di sekujur tubuh lo banyak bekas luka sayatannya, dijamin pada kabur.” Lira terdiam dan dia tak bergeming. Dia semakin menenggelamkan diri dalam kesibukannya yang tak selesai-selesai dia kerjakan. Padahal aku lihat kacanya sudah cukup bersih. Lira menghentikan aktivitasnya. Dia beralih menuju ruang laundry. Aku ikuti langkahnya. Lira berbalik menatapku, “kenapa kamu ngikutin aku? Kamu nggak punya kerjaan lain?” Nada bicaranya terdengar ketus. “Kenapa lo jadi galak begini? Harusnya gue yang galak ke lo.” Balasku tak kalah ketus. Sumpah aku gregetan banget. Rasanya aku ingin membungkam bicaranya yang sewot dan muka juteknya dengan ciuman mautku biar dia tak berkutik dan mati gaya. Untung aku masih punya pengendalian diri yang cukup bisa diandalkan di situasi yang tak menyenangkan ini. “Ya udah kalau mau galak. Nggak ada yang nglarang kamu buat galak. Kalau kamu galakin aku, aku bisa jauh lebih galak dari kamu.” “Lo serius? Coba gue mau lihat gimana lo galak ama gue? Ayo coba.” Aku tantang dirinya. Lira menggelengkan kepala, “kadang-kadang kamu ini childish ya. Aku heran kenapa Raline bisa tergila-gila ama kamu.” “Ya jelaslah karena gue ganteng, keren.” Balasku sekenanya. “Ganteng dan keren aja nggak cukup. Perempuan butuh sosok laki-laki yang bertanggungjawab dan mengayomi.” Aku terkekeh, “lo nggak punya pengalaman apa-apa soal cinta. Nggak usah ngomongin kriteria. Soal tanggungjawab dan mengayomi, gue juga bisa.” Lira tersenyum sinis, “Orang kayak kamu itu belum bisa dikasih tanggungjawab.” Kucengkeram lengan Lira erat dan membuat Lira terkesiap. “Lepasin nggak?” Lira membulatkan matanya. “Nggak, gue mau lepasin dengan satu syarat.” Kunaikkan alis mataku. “Apa?” Tanyanya ketus. “Kalau lo mau gue cium, gue lepasin.” Suaraku melembut dan sedikit menggodanya. “Sampai kapanpun aku nggak bakal mau kamu cium.” Lira menginjak kakiku dan membuat cengkeramanku terlepas. “Aoooo.. sakit tahu.” Lira tertawa, “anggap aja itu balasan ringan untuk playboy. Kalau kamu macam-macam denganku, aku bisa balas dengan lebih kasar.” Sejenak aku menyadari, Lira sudah jauh berubah. Dia tak lagi mudah cemas dan jadi lebih berani. Seumur-umur baru kali ini ada perempuan yang menolak untuk aku cium. Jujur aku semakin penasaran padanya. Jangan sebut aku Elang kalau aku tidak bisa menaklukannya. **** Author’s POV Gadis cantik itu menyambangi coffee shop langganannya. Sepulang dari butiknya, dia sengaja mampir untuk ngopi, sekedar bersantai sebelum pulang ke apartemen. Seperti biasa dia memesan capucino. Pandangannya berkeliling mengamati suasana coffee shop yang tampak lengang. Hanya ada dia dan satu orang lagi pelanggan yang duduk selisih dua meja darinya. Ketika tatapannya bermuara ke luar etalase, matanya dikejutkan dengan sosok laki-laki tampan yang keluar dari mobil warna silver. Dia Devan, mantan tunangannya. Raline akui, hatinya masih saja berdesir dan dadanya berdebar tak karuan melihat sosok yang pernah membuatnya jatuh cinta dan berpaling dari Elang. Di mata Raline, Devan ini seperti paket komplit yang memiliki semua kriteria idaman calon pendamping hidup. Dia tak hanya tampan dan menarik secara fisik, memiliki s*x appeal yang tinggi, kharisma dan wibawa, tapi dia juga tahu caranya memperlakukan perempuan. Tidak seperti Elang yang memandang perempuan sebagai objek, khususnya objek pelampiasan nafsunya, Devan selalu memandang perempuan sebagai seseorang yang harus dihargai. Selama jalan dengannya, Devan tak pernah berbuat macam-macam terhadapnya. Dia laki-laki yang baik, dewasa, berkarakter dan lembut. Mungkin profesinya sebagai dokter spesialis anak yang membuatnya terbiasa dekat dengan anak-anak menjadikan karakternya yang lembut dan penuh perhatian. Sejujurnya, Raline begitu patah hati diputuskan sepihak oleh Devan, tanpa tahu alasan Devan memutuskan pertunangannya. Membandingkan Devan dan Elang itu seperti bumi dan langit. Karakter mereka sangat jauh berbeda. Devan hidupnya serba teratur, tidak pernah keluyuran malam kecuali untuk kerja, bertanggungjawab, visi dan misi hidupnya jelas. Sedang Elang, hidupnya masih berantakan, cenderung mengikuti arus mengalir meski dia kadang memiliki target juga untuk mencapai apa yang ia inginkan. Elang masih sibuk dengan petualangan cintanya dan mudah berkencan dengan perempuan. Raline tahu, Elang tidak seutuhnya mencintainya. Kadang dia menilai Elang hanya menginginkannya saat dia ingin beradegan lebih di ranjang. Raline mengakui, dia bisa menjadi lebih agresif dan liar hanya saat berhadapan dengan Elang. Sedang saat berhadapan dengan laki-laki lain, Raline akan bersikap dingin dan tak menggubris. Tapi saat berhadapan dengan Devan, Raline bertingkah seperti seorang putri yang tengah jatuh cinta pada pangeran. Dia jaga sikapnya dan berusaha menunjukkan image sebaik mungkin di depan Devan. Raline hanya terpekur dan terpana menyaksikan Devan memasuki toko buku di depan coffee shop. Devan suka sekali membaca novel bergenre fantasi di sela waktu luangnya yang tak seberapa. Dia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Serangkaian kenangan indah antara dirinya dan Devan melintas memenuhi ruang memorinya. Kalau sudah begini, hati Raline kembali menangis dan teriris perih. Selama ini dia jadikan Elang sebagai pelampiasan atas semua rasa sakit yang ia rasakan pada Devan. **** Lira’s POV Atmosfer antara aku dan Elang kembali dingin, seperti tengah berada di padang es. Sedari tadi kami menonton tv tanpa berbincang apapun. Tak biasanya Elang terus mengemil kacang mete dan sama sekali tak menolehku. Mungkin dia sedang membalas sikapku tadi siang yang sempat mendiamkannya. Elang memang harus diberi pelajaran. Jika tidak, dia akan semakin semena-semena dan menganggap semua perempuan tak ubahnya objek yang mudah ia kendalikan. Aku yang akan mengendalikannya, bukan dia yang mengendalikanku. Sesekali Elang melirikku. Kurasakan tatapan matanya menelusur ke bawah menuju pahaku karena aku mengenakan celana pendek, tak terlalu pendek sebenarnya. Bukan sekali ini aku mengenakan celana ini dan rasanya aneh jika Elang memperhatikannya. “Lo sengaja pakai celana pendek buat ngegoda gue kan?” Aku melongo mendengar ucapannya. “Hah? Dulu aku pakai celana ini kamu nggak mempermasalahkan. Kenapa sekarang kamu ngira aku sengaja makai celana ini buat godain kamu? Aneh.” Aku tertawa masam. Sepertinya dia selalu mencari kesalahanku. “Celana lo kependekan. Lo pikir gue bakal kegoda ama paha lo yang penuh bekas luka? Jangan harap.” Intonasi suaranya meninggi dan kata-katanya ini sungguh tak enak didengar. “Kependekan dari mana? Pikiran lo ngeres makanya apa aja yang aku pakai selalu saja salah dan dikait-kaitin dengan usaha untuk menggodamu. Amit-amit, ngapain aku godain kamu. Nggak penting banget.” Elang membuang muka. Tatapannya terus tertuju pada layar. Aku beranjak hendak melangkah menuju kamar. “Mau kemana lo? Mau tidur? Masih jam segini udah mau tidur.” Aku menatapnya, “aku mau ganti celana panjang aja, daripada terus dipermasalahin.” “Sekalian aja pakai lingerie, biar semua bekas luka lo kelihatan, biar aku makin illfeel.” Ujarnya sedikit swot. Aku menyeringai, “orang kalau pikirannya ngeres tuh kayak begini. Nyuruh-nyuruh pakai lingerie. Aku tuh nggak sama kayak Raline ya. Dia punya koleksi lingerie banyak karena bobo bareng kamu tuh udah jadi agenda dia. Ngapain aku pakai lingerie, aku belum punya suami. Ada-ada saja kamu.” Elang menatapku tajam, “seenggaknya Raline tahu cara nyenengin gue. Nggak kayak lo yang sukanya bikin kesel.” “Elang.” Suara yang tak asing memanggilku. Derap langkahnya yang seksi membuatku terperanjat. Raline datang tanpa mengabariku lebih dulu. Aku beranjak tuk menyambutnya. Raline mendaratkan kecupan di bibirku. Aku bisa melihat Lira menekuk wajahnya. Ini kesempatanku untuk membuatnya cemburu. “Sayang clubbing yuk. Aku suntuk banget, pingin bersenang-senang.” Raline mengalungkan tangannya ke leherku. “Perasaan tiap hari kerjaan kamu bersenang-senang terus. Nggak capek apa?” Aku tercengang mendengar ucapan Lira yang saat ini bersedekap dengan tampang juteknya. Raline tak kalah kaget, “makin hari lo makin nglunjak ya. Apa peduli lo ama hidup gue? Gue mau seneng-seneng kek mau apa, itu bukan urusan lo.” “Akan menjadi urusanku kalau ini menyangkut salah satu penghuni rumah ini.” Balas Lira datar. Raline melangkah mendekat padanya, “maksud lo Elang. Lo itu siapanya Elang? Ngaca donk.” Lira tersenyum, “menurut kamu, aku siapanya?” Raline menatapku sejenak seakan bertanya padaku apa Lira baik-baik saja? Aku malah tertawa dalam hati. Aku rasa kali ini Lira keren sekali dan aku suka melihat sikapnya. “Lo pembantunya.” “Itu kan menurut kamu. Bisa saja aku lebih dari seorang pembantu. Mungkin simpanannya, pacar gelapnya, atau selingkungannya.” Jujur aku tak menyangka kata-kata ini akan keluar dari bibir Lira. “Dasar cewek murahan lo.” Raline berbalik menatapku. “Dia bilang dia pacar gelapmu? Selingkuhanmu?” Ekspresi wajah Raline terlihat begitu marah. “ Nggak sayang, dia hanya bercanda.” Aku coba menarik Raline ke dalam pelukanku tapi dia buru-buru menepis tanganku dan melangkah menuju pintu luar. “Aku pulang. Hari ini aku nggak mood.” Raline membanting pintu, membuatku tersentak. Kini aku bertatapan dengan Lira. Aku tak perlu bertanya padanya kenapa dia bersikap seperti ini. Aku tahu ini salah satu caranya untuk menahanku agar tak pergi. Atau bisa jadi dia tak rela melihatku pergi bersama Raline. “Kenapa nggak ngejar dia?” Pertanyaan Lira membuatku terpaku sejenak. “Nggak, aku lagi males clubbing. Biar aja dia pergi.” “Tumben males clubbing. Kenapa?” lagi-lagi pertanyaan Lira membuatku tertegun sejenak untuk memikirkan jawaban yang tepat. Mungkin ini saatnya untuk bermain sedikit dengannya. Jangan panggil aku Elang kalau aku tak bisa membuat perempuan baper. Aku mendekat pada Lira hingga jarak begitu dekat dan kubisikkan sesuatu di telinganya. “Gue lebih suka bareng lo.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN