Lira’s POV
Elang sudah tidak canggung lagi melancarkan serangan untuk mendekatiku. Aku tahu dia hanya penasaran dan ingin menaklukkanku, tidak sungguh-sungguh menyukaiku. Dia pikir hatiku ini adalah barang di toko yang bisa ia beli, lalu dipakai sesukanya dan dibuang jika sudah tak membutuhkan lagi. Hatiku tak semudah itu untuk diluluhkan. Aku tertantang ingin tahu sejauh mana dia bertahan menghadapi penolakanku. Aku yakin suatu saat dia akan menyerah dan kembali berpetualang, berpindah dari satu wanita ke wanita lain. Bahkan mungkin berpindah dari satu tubuh ke tubuh lain. Sungguh yang satu ini membuatku semakin ingin menjauhinya. Aku seperti tertantang untuk menantang hatiku sendiri agar cepat-cepat mengubur perasaanku. Harusnya dari awal aku sadar orang seperti apa Elang itu. Seharusnya aku lebih bisa mengendalikan perasaanku. Satu yang kusesali, aku terlanjur mencintainya. Mencoba menghilangkan perasaan ini sama saja seperti menyakiti diri sendiri, mungkin jauh lebih sakit dari rasa bersalah karena self harm yang aku lakukan.
Elang masih berdiri di hadapanku. Jaraknya begitu dekat dan aku bisa merasakan hembusan napasnya. Aku yakin setelah menatapku sedalam ini dia akan berusaha menciumku. Saat inilah aku akan meninggalkannya begitu saja. Biar dia tahu rasanya, bagaimana diberi harapan tapi lantas terhempas begitu saja bersama dengan pupusnya asa. Laki-laki seperti Elang harus diberi pelajaran.
Seperti yang aku duga, Elang semakin mendekatkan wajahnya padaku. jujur, aku kadang penasaran tentang rasanya dicium seorang pria. Tapi menyerahkan ciuman pertama pada laki-laki seperti Elang sama sekali jauh dari anganku. Aku mendambakan seseorang yang bisa memberiku cinta sejati tanpa membaginya dengan perempuan lain. Membayangkan jejak bibir Elang ada di bibir perempuan lain saja sudah membuatku mual. Satu cacatan penting, bukan satu perempuan, tapi banyak. Dan aku masih pada prinsipku, aku akan memberikannya pada suamiku kelak.
Wajah Elang sudah kian dekat dan aku pun segera menarik tubuhku, agak menjauh darinya. Elang berdecak kesal.
“Lo selalu aja jual mahal. Heran gue. Cobain deh sekali aja, dijamin nagih. Emang lo nggak penasaran?”
Ingin aku tertawa melihat ekspresi wajah kesalnya.
“Kenapa sih kamu pengin banget nyium aku? Aku inget banget gimana kamu bilang kalau mukaku suram dan bekas luka sayatan di sekujur tubuhku bisa bikin suamiku kabur di malam pertama.”
Elang menyeringai, “gue ini petualang cinta. Gue cuma ingin ngrasain aja gimana rasanya nyium cewek yang kecanduan self harm dan kadang-kadang kalau lagi nggak waras, selalu muncul obsesi bunuh diri di kepalanya. Gue penasaran gimana cara lo bales ciuman gue.”
Aku tersenyum kecut, “gampang banget ya ngomongnya. Makan aja tuh rasa penasaranmu. Sampai kapanpun aku nggak akan pernah mau dicium kamu. Enak di kamunya dapet ciuman pertamaku, sedang aku dapat bekas banyak perempuan.”
Elang tertawa, “lo lucu ya. Okey gue nggak akan maksa. Gue yakin banget suatu saat nanti gue bakal dapet ciuman lo tanpa susah payah.”
“Dan aku bakal jaga terus prinsip aku.” Balasku mantap.
*****
Siang ini aku putuskan untuk jalan-jalan keluar rumah. Jujur aku masih sedikit takut berada di luar rumah. Aku takut bertemu ayah atau teman-temannya di sini. Tapi berada di rumah terus juga membuatku penat. Aku ingin merilekskan pikiran dengan mencari angin di luar rumah. Sejak bangun tidur aku meliburkan diri tidak mengerjakan pekerjaan rumah apapun. Elang tidak protes. Yang membuatku semakin kesal padanya, dia semakin berani menggodaku. Kata-katanya masih saja terngiang di telingaku.
“Lo ini udah kayak ratu di rumah ini. Udah macam bini gue aja lo. Semua gue kasih. Kecuali tubuh gue. Tapi kalau lo mau, gue bisa kasih malam ini juga.”
Dan aku memelototinya, sedang Elang tertawa puas. Sungguh rasanya aku ingin keluar dari rumah Elang dan mencari pekerjaan lain. Tapi sepertinya aku sudah mulai terjebak di zona nyaman yang Elang berikan. Bayangkan saja, semua kebutuhanku dia penuhi. Selain menerima gaji pokok, setiap minggu juga ada uang saku yang cukup banyak dan bisa utuh karena aku tak membelanjakannya. Semua yang aku butuhkan sudah dipenuhi Elang. Sementara dia tak pernah memaksaku untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Tapi yang aku suka, dia selalu memakan apa saja yang aku masak. Kadang aku berpikiran sepertinya bahwa kami seperti pasangan suami istri saja, minus s*x dan sentuhan fisik lainnya. Tapi bagaimanapun juga aku harus keluar dari rumah Elang. Jika aku terus berada di sana, aku takut perasaanku padanya semakin bertambah.
Kulangkahkan kaki di trotoar sembari melihat sekeliling. Jalanan begitu padat. Sepertinya aku jarang melihat kondisi jalan yang lengang. Kulirik kedai ice cream di seberang jalan. Aku belum pernah melihat kedai ini sebelumnya. Mungkin baru berdiri. Makan ice cream di siang bolong begini sepertinya pilihan yang bagus untuk meningkatkan mood.
Saat memasuki kedai, ada seorang perempuan cantik mengenakan t-shirt bertuliskan “Ice Cream World” menyambut kedatanganku dengan ramah. Kupilih tempat duduk di pojok kanan. Banyak juga pengunjung yang datang. Sebagian kulihat masih mengenakan seragam SMA. Seorang waiter menyodorkan menu dan ia membawa buku nota kecil untuk mencatat pesanan. Banyak sekali jenis ice cream yang ditawarkan, aku jadi bingung sendiri. Kupilih banana split karena aku suka semua olahan pisang.
Melihat waiter dan waitress yang ramah-ramah mengingatkan akan pekerjaanku sebelum kabur dari rumah. Dulu aku sempat menjadi waitress di salah satu restaurant yang cukup besar. Aku suka dengan pekerjaanku, tapi aku juga tak bisa kembali ke sana. Sudah pasti ayah akan mencariku ke sana. Apa aku coba bertanya ada lowongan pekerjaan tidak ya di sini, berhubung tempat ini masih baru, mungkin kedai ini masih kekurangan tenaga kerja.
Pesananku telah datang. Melihat penampilannya, es krim ini begitu menggoda untuk disantap. Kucicipi rasanya, enak sekali, cocok banget sebagai makanan peningkat mood.
“Hai bro, selamat ya akhirnya impian lo buat buka kedai es krim tercapai.”
Aku menoleh ke arah sumber suara. Seorang laki-laki muda yang baru memasuki ruangan menjabat tangan teman laki-lakinya yang mungkin adalah owner dari kedai ini. Berarti aku harus bertanya pada ownernya, ada lowongan pekerjaan atau tidak. Tapi kok rasanya sungkan ya. Kulirik orang yang aku pikir adalah owner kedai ini. Kenapa aku mendadak jelalatan begini. Aku tidak bermaksud untuk jelalatan, tapi laki-laki ini memang tampan. Ya ampun Lira.. Tapi aku memang perlu memperhatikan laki-laki lain agar pikiranku tidak terus-menerus tertuju pada Elang.
Laki-laki itu sempat melirikku sepintas. Hanya tak sengaja melirik, tak perlu dibesarkan. Sepertinya aku tengah beruntung hari ini, mereka berdua duduk di meja belakangku, jadi aku bisa mendengar perbincangan mereka.
“Devan, kedai ice cream lo asik juga ya. Aku suka design interiornya, full warna biru, berasa kayak lihat air laut.”
“Iya, aku kan juga suka warna biru. Tumben bisa mampir sini. Lo nggak kerja?”
“Harusnya gue yang nanya ke lo, gue kan wiraswasta, bebas waktunya. Nah lo ini yang tumben bisa ada di kedai ice cream. Biasanya lo ke rumah sakit.”
“Aku udah ke rumah sakit tadi pagi. Karena kedai ini baru berdiri, aku pingin mengawasi aja kinerja para pelayan di sini.”
“Mereka ramah-ramah, pasti lo yang ngajari mereka biar ramah ke pengunjung.”
Aku dengar laki-laki yang dipanggil Devan itu tertawa, “tanpa diajari sekalipun, mereka emang harus ramah kan? Tapi aku masih kekurangan tenaga kerja. Banyak sebenarnya yang melamar, cuma nggak ada yang sreg.”
Aku senang sekali mendengar pembicaraan mereka. Kedai ini masih butuh tenaga kerja. Aku harus berani bertanya tentang lowongan pekerjaan ini. Paling nggak aku harus menunggu sampai temannya pulang.
Lama juga aku menunggu sampai temannya pulang. Beberapa pengunjung sudah meninggalkan tempat ini dan aku masih terpekur di sini, memikirkan bagaimana memulai pembicaraan dengan laki-laki yang bernama Devan itu. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan. Mataku tertuju pada Devan yang sedang menggantung lukisan pantai di dinding. Kuberanikan diri mendekatinya.
“Permisi..”
Devan menolehku, “ya ada apa?”
“Apa bapak owner kedai ini?” Sebenarnya dia masih terlalu muda untuk dipanggil bapak. Kayaknya dia masih single juga. Tapi akan sangat tidak sopan jika aku memanggilnya kak, mas atau aa. Aku geli sendiri membayangkannya.
“Iya, kenapa ya?” Tanyanya ramah.
“Apa masih ada lowongan pekerjaan di sini? Saya ingin bekerja di sini.”
Devan menatapku sejenak. Sepertinya pandangan matanya tertuju pada bekas luka di tanganku. Aku lupa tak mengenakan cardigan panjang atau jaket. Aku jadi pesimis Devan akan menerimaku.
“Kenapa kamu ingin bekerja di sini? Ingin bekerja sebagai apa?”
Aku mengatur napasku sejenak. Rasanya agak nervous juga.
“Saya butuh penghasilan biar bisa mandiri. Sebelumnya saya pernah jadi pelayan restaurant, jadi saya ingin jadi waitress di sini.”
Devan terdiam sejenak.
“Besok kamu datang lagi aja ke sini jam dua siang. Jangan lupa bawa ijasah kamu. Saya juga ingin melihat kamu praktek langsung.”
Aku tercekat mendengar kata “ijazah”. Ijazahku ada di rumah. Aku tak mungkin kembali ke rumah. Aku harus bertemu ibu dan meminta tolong padanya untuk membawakan ijasahku.
Kuanggukan kepalaku, “baik pak, terimakasih.”
*****
Elang’s POV
Kuamati Lira yang sedang asik ngemil popcorn di taman sebelah rumah. Pantas saja tadi pagi dia malas mengerjakan pekerjaan rumah, ternyata dia berencana keluar dari rumah ini. Kalau saja ibunya Lira tidak mengirimiku pesan w******p, aku tidak akan tahu mengenai rencana tersembunyinya ini. Rupanya dia sudah menyusun rencana untuk meninggalkanku dan mencari pekerjaan lain. Aku tak akan melepaskannya.
Aku berjalan mendekatinya dan duduk di sebelahnya. Kuambil popcorn dalam genggamannya dan ia terkesiap. Dia menatapku tajam, dengan wajah jutek yang nggak ada manis-manisnya.
“Main serobot aja.”
Kukunyah popcorn itu tanpa menolehnya.
“Sampai kapanpun gue nggak akan biarin lo pergi dari sini.”
Lira menoelehku sekali lagi, “apa? Maksudmu aku harus tinggal di sini terus?”
Aku balas menatapnya dengan tatapan yang tak kalah tajam. Wajah cute dan tampanku ini selalu bisa membius wanita, dia sepertinya terpesona juga, hanya dia malu mengakuinya.
“Ya. Lo harus tinggal di sini selama gue menginginkannya. Lo nggak perlu nglamar kerja dan minta ibu lo bawain ijazah. Kurang enak apa sih kerja ama gue? Gue heran ama lo, dikasih kerjaan enak malah mau pergi.”
Lira menatapku datar, “pasti ibu cerita ke kamu ya? Pokoknya aku mau pergi dari sini dan aku mau kerja di kedai ice cream itu.”
“Kedai ice cream yang mana?” Intonasi suaraku mengeras dan membuatnya sedikit terperanjat.
“Kamu nggak perlu tahu. Pokoknya aku udah nggak mau tinggal di sini.”
Aku semakin kesal mendengarnya.
“Lo mau gaji yang lebih tinggi? Gue bisa naikin gaji lo.”
Lira menggeleng, “kenapa kamu ngotot pingin aku ada di sini? Aku pingin kerja di kedai ice cream dan nanti aku akan mencari kost.”
“Aku bilang nggak ya nggak.”
Lira menatapku tajam, “Pokoknya aku mau kerja di sana. Aku bosan di rumah terus.”
“Okey, lo kerja di sana. Tapi pulangnya ke sini, nggak perlu cari kost.” Aku coba memberi tawaran agar dia tetap tinggal di sini. Rasanya aku berat sekali melepasnya. Aku ingin rumah ini ada yang menjaga selama aku tak ada di rumah. Dan aku cuma ingin Lira yang menjaganya.
“Percuma donk kalau aku tetap tinggal di sini, tiap hari masih bisa lihat kamu.”
Aku tercenung mendengar kata-katanya, “jadi lo pingin keluar dari sini karena pingin ngindarin gue? Nggak pingin lihat gue? Lo beneran cinta ama gue kan? Akal lo nolak gue tapi hati lo nggak bisa mengingkarinya.”
Lira terdiam.
“Diam berarti benar. Kenapa lo mesti gengsi ngakui perasaan lo? Gue nggak akan biarin lo pergi dari sini.”
Lira memejamkan matanya sejenak lalu menolehku.
“Kenapa? Karena kamu ada perasaan ama aku?”
Giliran aku yang membisu tak tahu harus menjawab apa. Apa memang aku sudah mulai main hati dengannya?
Kami saling bertatapan dan untuk sesaat atmosfer terasa membingungkan. Ada perasaan hangat kala menatapnya. Sesuatu yang belum pernah kurasakan kala menatap perempuan lain. Apa aku sudah jatuh cinta padanya?