Elang’s POV
Pagi ini Lira sudah mau mengerjakan rutinitasnya secara normal. Dia memasak, menyapu lantai dan juga menyuci baju. Aku sudah bersiap untuk berangkat ke restaurant dan mengecek kontrakan, namun sebelumnya aku ingin sarapan dulu. Masakan lira lumayan enak dan dia cukup paham dengan seleraku yang lebih menyukai makanan yang dikukus atau direbus dibanding digoreng.
Aku perhatikan Lira tampak mondar-mandir di ruang tengah dengan smartphone bertengger dii telingannya. Aku bisa menebak dengan siapa ia menelpon. Siapa lagi kalau bukan ibunya. Kukunyah makananku sambil terus awas memandang Lira dan menyimak pembicaraannya dengan ibunya.
“Bu kenapa sih lebih dengerin Elang dibanding Lira? Lira butuh banget ijazah itu Bu. Ayolah kita ketemuan.”
Aku tersenyum mendengarnya. Ibu Lira sangat menyukaiku dan ia lebih memercayakan Lira kepadaku dibanding mengizinkannya bekerja di tempat lain. Kau tidak akan bisa pergi kemana-mana Lira.
“Bu Lira mohon. Kenapa ibu tega banget sih ama Lira? Ibu dikasih apa ama Elang, kok ibu mau-maunya nurutin permintaannya untuk nggak nganterin ijazah?”
Lira mematikan telpon dengan muka cemberut yang membuatnya terlihat semakin lucu. Sudah kubilang Lira, aku tak akan melepaskanmu dan kamu tak akan pergi kemana-mana. Rumah ini paling aman untukmu.
Lira menatapku dengan begitu tajam dan ekspresi wajah yang jauh lebih menakutkan dari valak. (Eh ini author ngetiknya malam-malam, dibela-belain lembur demi pembaca, merinding juga bayangin valak wkwkwk...).
Aku berpura-pura tidak melihatnya dan mengalihkan pandanganku ke arah lain.
Brakkk... suara debrakan meja membuatku kaget. Lira mendebrak meja dengan kedua telapak tangannya sementara matanya melotot seakan hendak menerkamku hidup-hidup. Dia terlihat begitu garang. Sudah pasti dia akan menyerangku dengan kemurkaannya yang mendekati level 45.
“Apa sebenarnya maumu? Kenapa kamu mempengaruhi ibu biar nggak nganterin ijazahku? Dasar licik.”
Sejujurnya dia sangat menarik, seksi dan lucu kalau sedang marah begini. Kutatap dia dengan senyum semanis mungkin. Senyum cute yang selalu bikin cewek-cewek di club tergila-gila. Sebentar lagi dia juga bakal terrgila-gila padaku.
“Mau gue udah sangat jelas ya. Gue pingin lo tetep di sini, nggak usah kerja di luar.”
Lira terkekeh, “kamu mau ngalangin kayak gimana, keputusanku udah bulat. Aku bakal tetap datang ke sana, ada atau nggak ada ijazah.”
Aku kadang kesal melihatnya begitu keras kepala. Sampai sekarang aku belum bisa memahami sikapnya yang lebih memilih bekerja di tempat lain, yang belum tentu memberinya kenyamanan, dibanding bekerja di sini yang sudah jelas nyaman dan tanpa paksaan. Sudah kubilang dia sudah seperti istriku, minus s*x.
“Silakan kalau lo mau nekat. Tanpa ijazah lo nggak bakal diterima.”
Lira semakin menajamkan tatapannya dan melotot kepadaku, “aku akan tetap datang ke tempat itu dan negoisasi dengan ownernya. Siapa tahu aku bisa diterima meski nggak bawa ijazah.”
Aku menyeringai dan menggeleng, “lo keras kepala Ra. Gue yakin lo bakal ditolak. Gue nggak akan nglepas lo, inget itu.”
Brakkk
Lira mendebrak meja sekali lagi dan menatapku dengan tampang terjutek yang pernah aku lihat. Aku terpancing untuk beranjak dan kuikuti langkahnya.
Braakkk, sekarang giliranku mendebrak meja. Lira sedikit terperanjat, mungkin dia tak mengira aku bakal melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan barusan.
Kami saling manatap dengan perasaan yang berkecamuk. Dia dengan amarahnya dan aku dengan rasa geregetan yang sudah bergemuruh sejak kemarin.
“Main game manatap mata yuk. Siapa yang lebih dulu membuang tatapannya, dia yang kalah.” Mataku masih terus menelisik wajahnya yang semakin hari semakin terlihat manis. Pandanganku sekarang berpusat di bibirnya yang sedari kemarin membuatku penasaran untuk mencicipinya, melumat habis bibirnya, menggigitnya dan membuatnya melayang hingga dia tak akan pernah berpikir untuk menghentikan ciuman kami. Bibir Lira itu benar-benar cipokable.
Lira tertawa kecil, “game apaan itu?”
“Game yang sangat mudah. Kita tinggal tatap-tatapan. Yang memalingkan wajahnya terlebih dulu, dia kalah.”
Lira tertawa sekali lagi, “game yang aneh. Siapa takut?”
Kami memulai permainan ini dengan saling menatap. Kutelusuri matanya lebih dalam. Selalu ada sesuatu yang misterius yang bisa aku baca dari sorot matanya. Sesuatu yang ingin aku kuasai hingga tak lepas dari genggamanku. Saat awal pertemuan kami, matanya begitu sendu dengan cahaya yang meredup karena banyaknya luka yang ia simpan. Tapi kini aku sudah tak menemukannya lagi. Mungkin masih ada setitik luka. Tapi luka itu sudah sedikit memudar. Dia jauh lebih kuat sekarang.
Aku tak tahu apa yang Lira rasakan saat menatapku. Dia terlihat tenang. Tapi aku tahu jauh di lubuk hatinya, dia begitu berdebar. Kami masih bertahan dengan posisi kami. Mungkin ini bisa kujadikan kesempatan untuk mencuri satu ciuman darinya. Bukan ciuman di bibir, tapi ciuman pipi. Daripada nggak dapat sama sekali.
Aku mulai mendekatkan wajahku. Sepertinya Lira tidak menyadarinya. Ia masih terus menatapku dan tak bergeming. Kujaga jarak wajahku untuk tidak terlalu dekat padanya untuk meminimalisir kecurigaannya. Dan setelah aku rasakan Lira sedikit lengah dan mulai terhipnotis dengan tatapan mautku, dengan gerakan secepat angin aku daratkan kecupan di sudut bibirnya, artinya di perbatasan antara bibir dan pipi. Bisa saja aku mengecup bibirnya tapi resikonya aku bakal mendapat pukulan bertubi-tubi darinya.
Lira terkesiap. Matanya membelalak dan dia menatapku dengan wajah merah padam yang hampir meledak. Tanpa menunggu lagi, Lira memukul-mukul lenganku.
“Dasar nyuri-nyuri kesempatan.. menyebalkan... menjijikan... aku benci kamu... aku benciiii..”
Lira masih terus memukuliku sedang aku hanya bisa mengaduh dan sesekali tertawa melihat dia kalap.
“Dasar cowok mesum... menyebalkan.. aku benci kamu aku benciiiiii...”Lira masih terus menyerangku.
Aku raih kedua tangannya dengan cengkramanku yang kuat, lalu kuhimpit badannya ke tembok dan kusandarkan kedua tanganya di sebelah pipi kanan kiri. Lira terdiam dan menelisik wajahku dari jarak yang begitu dekat.
“Mau apa lagi kamu?” Lira memelototiku masih dengan geramnya.
“Sszzzztttt... nggak usah galak-galak. Gimana rasanya tadi? Itu belum seberapa, cuma asal kecup dan nggak di bibir juga. Kalau di bibir bakal jauh lebih enak.”
Aku bisa rasakan detak jantung Lira berdegup begitu kencang. Bohong jika dia tak memiliki perasaan apa-apa terhadapku. Deru napas Lira terdengar memburu. Dia semakin deg-degan saat jarak antar kami semakin dekat. Aku berada di atas angin sekarang. Lira mulai kehilangan kendali atas dirinya. Bahkan aku bisa melihat, tatapannya kini fokus mengarah ke bibirku. Cewek mana yang sanggup menolak bibirku yang tipis, seksi dan menggairahkan. Sekelas Chelsea Islan saja juga bakal takluk. Ujung bibir kami sudah makin dekat. Lira sudah memejamkan matanya, aku pun ikut terpejam.
Aku begitu terperanjat ketika kurasakan tangan seseorang menarik kerahku dari belakang hingga aku mundur. s**t, siapa yang berani menggagalkan ciuman kami. Saat aku menoleh ke belakang, dua sosok yang paling aku takuti sepanjang masa, papa dan mama berdiri menatapku dengan amarah yang teramat menyala.
“Elaaaanggggg...” Teriakan papa begitu menggelegar, memekakan telinga. Lira ikut kaget dibuatnya. Mama tak kalah gahar dan dari caranya menatapku seakan aku akan diterkam habis-habisan.
****
Aku duduk bersebelahan dengan Lira, sementara mama dan papa duduk di hadapan kami dengan tatapan galak seperti monster.
“Jadi selama ini kalian tinggal bersama?” Papa menatap kami bergantian dengan begitu dingin. Gurat wajah papa yang tampak gahar dengan garis rahangnya yang tegas menguatkan kesan galak dan wibawa yang ia miliki.
“Iya pa. Tapi ini nggak seperti yang papa mama pikirkan.” Jawabku setenang mungkin.
“Gimana mama papa bisa santai menghadapi ini. Kamu kepergok mau ciuman ama gadis ini. Siapa namamu?” Tatapan mata mama beralih pada Lira. Kulihat Lira meremas-remas tangannya pertanda dia merasa cemas.
“Saya Lira.” Jawab Lira pendek. Aku bisa merasakan kegugupan yang mendominasi suasana hatinya saat ini.
“Kalian harus dinikahkan.” Papa mendelik dan kata-katanya terdengar tegas. Bukan gaya bicara papa yang membuatku terperangah. Tapi kata-kata “dinikahkan” ini yang membuat kupingku memanas. Sejak papa mama memintaku untuk cepat menikah, aku tak pernah siap. Aku baru 23, usia ini terlalu muda untuk laki-laki melepas masa lajang. Aku masih ingin bersenang-senang dan tak ingin mengikatkan diri pada ikatan pernikahan.
“Kami nggak melakukan apa-apa.” Lira terlihat risau dan kecemasannya semakin menjadi kala kulihat remasan jari-jarinya semakin kuat.
“Nggak usah ngeles. Papa lihat sendiri kalian hampir berciuman. Papa nggak bisa bayangin sebelum kejadian ini mungkin kalian sudah beberapa kali berciuman atau melakukan sesuatu yang lebih dari ciuman. Papa tahu benar karaktermu Elang. Kamu nggak bisa seenaknya mempermainkan anak gadis orang. Kamu harus bertanggungjawab menikahi Lira.”
Aku tercengang. Okey, aku mungkin tertarik pada Lira. Tapi ketertarikan saja tidak cukup untuk membawanya ke pelaminan. Aku masih memikirkan Raline dan intinya, aku belum siap menikah. Aku hanya penasaran ingin mencium Lira bukan menidurinya, jadi untuk apa menikahinya. Aku belum bisa mendedikasikan hidupku sepenuhnya untuk wanita yang nantinya menjadi istriku dan untuk keluarga kecil kami. Aku masih ingin berpetualang di luar. Aku belum ingin pulang, mengembara itu rasanya jauh lebih menantang.
“Kami nggak pernah melakukan sesuatu yang lebih dari ciuman pa. Ciuman aja baru mau tadi tapi sudah digagalkan papa. Sebelumnya kita nggak pernah ngapa-ngapain.” Aku terus berkelit berharap papa membatalkan rencana untuk menikahkan kami. Papa mama itu tipe orangtua yang konservatif dan religius. Mereka tak mau aku mempermainkan banyak perempuan tanpa ada sedikitpun keinginan untuk menikahinya. Mereka ingin aku bertanggungjawab dengan menikahi salah satu perempuan yang dekat denganku.
“Pokoknya kalian harus menikah. Kamu harus bertanggungjawab pada Lira.” Kalau sudah menginginkan sesuatu, papa akan terus memaksakan kehendaknya.
“Maaf tante dan om. Background keluarga saya sangat tak pantas untuk disandingkan dengan keluarga Elang. Ayah saya seorang pemabuk, suka melakukan KDRT dan suka berjudi. Ibu saya sering sakit. Keluarga kami meski utuh tapi di dalammya tidak ada kehangatan layaknya sebuah keluarga. Apa yakin tante dan om ingin berbesan dengan orangtua saya?”
Aku tercekat mendengar kata-kata yang meluncur dari bibir Lira yang hampir saja bisa kumiliki seutuhnya. Ya ampun dalam situasi beginipun aku masih memikirkan ciuman kami yang gagal.
Papa dan mama saling berpandangan. Rupanya kata-kata Lira ini membuat papa mama ragu dan akan mempertimbangkan kembali mengenai keinginan mereka untuk mengambil Lira sebagai menantu.
“Apa itu sebabnya kamu tinggal di sini? Kamu lari dari keluargamu?”Mama bertanya pada Lira dengan intonasi suara yang lebih rendah dari sebelumnya.
Lira mengangguk pelan.
“Saya kabur dari rumah dan berencana bunuh diri dengan meloncat dari jembatan. Saya sudah tak tahan dengan perlakuan papa yang selalu mengambil paksa gaji saya selama bekerja di restaurant untuk melunasi hutang-hutangnya. Ayah sudah beberapa kali berencana menjual saya ke rumah bordil tapi selalu gagal. Saya sering jadi korban kekerasan. Ayah sering memukuli saya dan ibu. Saat hendak bunuh diri itu, Elang menghentikan upaya bunuh diri itu dan membawa saya ke tempatnya. Saya menawarkan diri untuk menjadi asisten rumahtangga di sini. Selama ini kami nggak berbuat sesuatu di luar batas.”
Aku lihat air muka papa dan mama terlihat trenyuh dan penuh simpatik.
“Ceritamu begitu mengharukan nak. Mama sih nggak keberatan dan justru ini bisa jadi jembatan untuk membebaskanmu dari ayahmu.”
“Iya nak benar kata mama. Papa akan melamarmu dalam waktu dekat ini. Kamu harus memberitahu ayah dan ibumu.”
Aku dan Lira saling berpandangan. Sungguh aku kehabisan kata-kata. Aku tak heran dengan sikap papa mama yang memang memiliki kepedulian sosial yang tinggi dan tidak pernah melihat seseorang dari status sosial atau background keluarganya. Tapi aku tak pernah membayangkan akan menikah dengan gadis pecandu self harm ini.
“Ma.. pa... Elang dan Lira belum siap. Beri kami waktu untuk memikirkan semua ini. Pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan tidak boleh gegabah saat memutuskannya.” Kupasang tampang mengibaku.
“Keputusan papa sudah bulat. Papa mama ingin kalian secepatnya menikah. Papa mama ingin bertanggungjawab pada Lira atas apa yang kamu lakukan terhadapnya.”
Papa masih saja mengira aku sudah melakukan sesuatu yang lebih terhadap Lira. Gara-gara kepergok hampir berciuman, mereka jadi terburu-buru ingin menikahkan kami.
*****
Papa dan mama sudah kembali ke rumah, kini aku dan Lira saling membisu memikirkan nasib kami ke depan. Tak ada pembicaraan berarti atau sekedar suara bersin sebagai pencair suasana, yang terdengar begitu jelas hanyalah suara detak jarum jam dinding antik yang aku dapatkan dari toko yang menjual barang-barang antik.
Kutatap langit-langit mencoba mencari solusi, namun di benakku tak ada satupun ide yang terlintas. Aku tak yakin bisa menjalani pernikahan dengan gadis yang aku sendiri tak tahu bagaimana perasaanku terhadapnya. Aku tak mengerti apa aku sudah jatuh cinta padanya atau belum. Namun aku belum siap menikah.
Lira sepertinya juga tengah kalut memikirkan pernikahan yang diinginkan orangtuaku. Garis wajahnya terlihat tegang.
“Gue belum siap nikah.” Ucapku memecah keheningan diantara kami.
“Sama aku juga. Aku masih sembilan belas.” Tukasnya datar.
“Ini gara-gara kita kepergok mau ciuman.” Ujarku lagi.
Lira menolehku, “kamu yang memulai. Kamu yang menghimpitku ke tembok dan berusaha menciumku.”
Aku tak terima disalahkan sepihak olehnya, “lo juga salah. Lo biarin gue deketin muka gue ke lo. Lo malah merem. Artinya lo udah siap gue cium.”
Aku lihat pipinya bersemu merah dan dia tak berani menatapku.
Lira melirikku, “aku mau siap-siap ke kedai ice cream.”
Aku menganga dan speechless, Lira masih ingin bekerja di sana?
“Lo ngotot banget ya ke kedai itu. Gue nggak mau lo kerja di sana. Lo nggak boleh keluar dari rumah ini. Selangkah aja lo keluar, gue bakal nyium lo sampai bibir lo bengkak.” Kunaikkan intonasi suaraku.
“Setelah kejadian tadi kamu masih kepikiran buat nyium aku? Heran deh aku ama kamu.” Lira menggeleng dan beranjak lalu melangkah menuju kamarnya. Tiba-tiba terlintas ide di kepalaku untuk mengikutinya. Aku penasaran di kedai ice cream mana dia ngotot untuk bekerja.
*****
Tanpa Lira sadari, aku mengikuti langkahnya menuju kedai ice cream. Letaknya tak begitu jauh dari rumah. Berjalan kaki dari rumah ke kedai tak membuat kaki ini pegal. Kulirik Lira sudah memasuki kedai. Aku mengikutinya masuk ke kedai dengan mengenakan jaket hodie dan menutup wajahku dengan masker agar Lira tak mengenaliku.
Mataku dikejutkan dengan sosok yang tak asing menemui Lira dan mempesilakan Lira duduk. Dia Devan, mantan tunangan Raline. Seseorang yang pernah membuatku begitu cemburu. Memang benar, dunia tak selebar daun kelor. Tak kusangka kami dipertemukan lagi di sini, di kedai ice cream miliknya dengan Lira sebagai perantara.
Posisiku agak jauh dari mereka jadi aku tak bisa mendengar dengan jelas pembicaraan mereka. Ingin rasanya menguping dari dekat, tapi nanti gerak-gerikku mendatangkan kecurigaan. Aku lihat Lira seperti sedang memohon. Dasar Lira, dia belum juga menyerah dan malah mengemis pekerjaan pada Devan. Aku tak tahan lagi, segera kudekati Lira. Devan lebih dulu menyadari kedatanganku dan dia terlihat kaget.
“Lira, udah gue bilang lo nggak bakal diterima. Ayo pulang.”
Lira menolehku dan terkejut. Dia melongo sekian detik. Saat-saat begini pun dia masih bisa kehilangan fokusnya.
“Nah ini dia pak orangnya. Dia yang mempengaruhi ibu saya untuk menahan ijazah saya di rumah. Ibu nggak mau nganterin ijazahnya.” Lira memelototiku dan berdiri di hadapanku seakan menantangku.
Devan beranjak. Dia terrbengong-bengong menatap kami seolah bertanya, ada hubungan apa antara aku dan Lira.
“Kalian saling kenal?” Devan mengernyitkan dahi.
“Iya, dia sebenarnya karyawan gue. Dia lari dari gue demi bisa kerja di tempat lo.”
Giliran Lira terbengong-bengong menatap kami bergantian.
“Kalian saling kenal?” Tanya Lira padaku.
“Nggak kenal dekat tapi gue tahu siapa dia. Sekarang lo pulang ikut gue.” Kutarik tangan Lira tapi Lira menghentakkannya dengan kuat hingga genggamanku terlepas.
“Aku pingin kerja di sini. Aku nggak bisa tinggal bareng kamu. Kalau kita tinggal bareng terus, orangtuamu makin teburu-buru menikahkan kita.” Lira masih begitu ketus menanggapiku.
“Kalian tinggal bareng?” Devan sekali lagi mengernyitkan dahinya dan bingung dengan status antara Lira dan Elang.
“Ini nggak seperti yang bapak kira. Saya janji akan menjelaskan semuanya tapi tolong selamatkan saya dari orang ini.” Lira mulai melancarkan jurus mengibanya dengan mata kucing yang berkaca seperti sedang meminta ikan. Setiap orang yang menatapnyanya pasti akan tersentuh.
“Lo pikir gue penjahat? Pakai minta diselamatin segala?” Aku menatapnya tajam.
Devan berdehem, “ehm okey saya akan menerima Lira bekerja di sini.”
Aku tercengang mendenagar perkataan Devan. Meski dia sudah tak lagi bertunangan dengan Raline, tapi aroma persaingan diantara kami sepertinya masih berkobar. Aku sudah bilang padanya bahwa Lira adalah karyawanku, kenapa devan main terima? Sungguh tidak sopan. Orang seperti ini bisa membuat Raline jatuh hati?
Lira berteriak kegirangan dan meloncat-loncat seperti anak kecil diberi ice cream.
“Makasih banyak pak. Kapan saya mulai bekerja?” Binar mata Lira begitu cerah dan aura wajahnya terlihat lebih fresh.
“Saat ini juga.” Jawab Devan dan sorot mata tajamnya tepat menghujam sampai dadaku seolah dia mengawali menabuh genderang perang.
Aku hanya bisa bersungut-sungut menyaksikan semua ini. Lira terlihat begitu bahagia dan tersenyum lebar seakan meledekku bahwa pada akhirnya dialah yang keluar sebagai pemenangnya. Aku jadi makin senewen. Hati ini aku kepergok hendak mencium Lira, mama papa memaksaku menikahi Lira dan sekarang Lira resmi bekerja di kedai ice cream milik Devan, rival terbesarku.