Will you Marry me?

2847 Kata
Elang’s POV Matanya begitu sendu. Ada bara cinta yang begitu besar kulihat dari dua bola matanya. Sekuat apapun dia mengelak dan menyangkal tentang perasaannya, matanya tak bisa berdusta. Dia sudah jatuh cinta padaku dan sulit untuk menghilangkan perasaannya padaku. Jari-jariku menelusuri setiap detail wajahnya dan dia membiarkannya. Bahkan saat tanganku masuk ke kerahnya lalu membuka kancing di bawah kerahnya, dia juga tak menolak. Kuberi kecupan di bekas luka sayatannya yang melintang di sepanjang bawah bahu kanannya. Lalu kecupanku naik ke atas menuju lehernya. Dia meremang geli ketika kudaratkan kecupan-kecupan kecil di lehernya. Bisa kudengar lenguhan suaranya. Selanjutnya kukecup bibirnya dan kuberikan ciuman yang lebih dalam. Tak kusangka dia bisa membalasnya. Bibir kami saling berpagut bahkan jari-jarinya mencengkeram rambutku dan sekarang dia menciumku lebih ganas dengan duduk di pangkuanku, menghadapku. Desahan napasnya membuatku semakin b*******h dan kulucuti pakaiannya satu per satu. Selanjutnya kuberi kecupan di semua bekas luka sayatan yang terlukis di sekujur tubuhnya. Mataku mengerjap dan saat kubuka perlahan serta mengedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan, aku menyadari bahwa adegan panas barusan hanya terjadi di alam bawah sadarku. Aku memimpikannya. Astaga Elang. Mimpi ini terasa begitu nyata sampai kurasakan sesuatu yang lengket di celanaku. Pertama kali Lira menjadi objek mimpi basahku. Andai ini terjadi di dunia nyata... tidak tidak..Aku tidak akan menikah dengannya. Aku butuh seorang istri dengan fisik sempurna, kulit yang terawat, bentuk tubuh seksi berisi dengan tonjolan-tonjolan bagian tubuhnya yang menggoda, bukan yang seperti papan penggilesan seperti Lira, ditambah dengan banyaknya bekas luka sayatan si sekujur tubuhnya. Atau aku harus menikahi Raline? Menikah itu benar-benar sesuatu yang tak kutargetkan untuk diraih dalam waktu dekat ini. Ketika aku menikah nanti, aku tak ingin menjadi petualang cinta lagi. Aku ingin berhenti berteman dengan dunia malam. Karena itu aku butuh sosok istri yang bisa membuatku nyaman dan tergila-gila padanya hingga membuatku tak bisa berpaling. Kulirik jatum jam, sudah jam lima sore. Aku tidur siang cukup lama. Kata teman-teman clubbing, posisiku ini adalah posisi ternyaman yang diimpikan banyak orang. Mereka bilang tanpa kerja keras, uang mengalir begitu saja dan aku bisa bersenang-senang setiap malam. Mereka hanya tak tahu, aku juga harus memikirkan strategi berbisnis yang matang. Aku punya dua resrtaurant yang harus kuatur strateginya termasuk menerima pesanan catering untuk lunch, arisan, acara formal, pesta kecil atau bahkan ulangtahun anak. Bisnis kontrakan yang juga aku kembangkan juga butuh strategi tertentu agar mampu menarik minat orang untuk memilih kontrakanku. Kusibak tirai di pintu kamar yang berbatasan dengan balkon. Aku melangkah menuju balkon. Saat pandanganku kualihkan menuju bawah, aku terbelalak melihat Lira tengah berbincang dengan Rega di taman sebelah ruang makan. Jam segini Lira sudah pulang kerja. Aku memohon padanya untuk tetap tinggal di sini. Tak mengapa jika dia tak mau mengerjakan pekerjaan rumahtangga, aku bisa mempekerjakan asisten rumahtangga part time. Sebenarnya mama papa memintaku dan Lira tinggal terpisah sebelum kami benar-benar sah menjadi pasangan suami istri, tapi aku ingin dia tetap tinggal di sini. Dan hingga detik ini aku masih bingung menentukan sikapku, menikahi Lira tau tidak? Kuputuskan untuk mandi dulu agar badan dan pikiran menjadi lebih fresh. Author’s POV “Kalian akan dinikahkan?” Rega menatap Lira dengan tajam dan dia begitu terkejut mendengar Lira bercerita bahwa orangtua Elang berencana untuk melamar Lira. “Iya, mereka mengira aku dan Elang sudah berbuat sesuatu yang lebih.” Rega menaikkan alisnya, “kenapa mereka berpikir sejauh itu? Aku bisa memahami pemikiran mereka. Laki-laki dan perempuan tinggal berdua dalam satu atap memang rentan untuk melakukan sesuatu di luar batas kan?” Lira sedikit menekuk wajahnya dan cemberut. “Artinya kamu juga berpikiran sama kayak mama dan papa Elang?” Rega menyadari ucapannya barusan telah menyinggung perasaan Lira. “Nggak Lira. Aku percaya kok kamu bisa jaga diri. Tapi kemarin kamu bilang, kamu kepergok mau berciuman dengan Elang? Hati-hati Lira, prinsipmu bisa goyah. Kalau saat itu mama papa Elang nggak dateng, mungkin ciuman pertamamu sudah dicuri oleh Elang.” Lira terhenyak. Rega berkata benar. Berat rasanya berpegang pada pinsip sementara melihat dekat wajah Elang yang tampan selalu bisa membuat hatinya bergetar dan berdesir dan tubuhnya seperti membeku. Dia perempuan normal yang bisa jatuh cinta dan ia tak bisa memungkiri bahwa terkadang di pikirannya pun terlintas keinginan untuk berdekatan dengan Elang, merasakan genggaman tangannya, pelukannya termasuk ciumannya. “Kamu benar Rega. Aku.. aku jatuh cinta padanya. Jujur aku memang belum siap menikah. Tapi menikah dengan seseorang yang aku cintai juga menjadi impianku. Masalahnya di sini, Elang bukan karakter ideal yang aku dambakan menjadi imamku kelak.. Kadang aku nggak bisa menoler sikap playboynya, yang seolah nggak bisa serius untuk mencintai satu perempuan aja. Aku akan menjadi perempuan ke sekian di daftar nama-nama cewek yang pernah dekat dengannya.” “Kamu benar-benar mencintainya?” Pertanyaan Rega begitu sulit untuk Lira jawab. Gadis itu tak tahu pasti seperti apa sebenarnya perasaannya terhadap Elang. Tapi Lira tak bisa bohong bahwa selalu ada rasa deg-degan setiap kali Elang mendekatinya. “Dari matamu, aku tahu kamu benar-benar jatuh cinta padanya.” Rega tersenyum lembut. Lira tersenyum tipis, “aku sebenarnya masih bingung. Tapi sungguh perasaan ini begitu aneh. Kadang aku bahagia, senyum-senyum sendiri setiap kali membayangkan Elang bertingkah konyol atau menggodaku. Tapi kadang aku juga bisa sedih saat Elang bermesraan dengan Raline. Aku bisa menangis sejadi-jadinya. Atau bahkan galau nggak jelas, gelisah.” Rega mengangguk, “perasaan aneh itu wajar. Saat kita memikirkan seseorang, saat itulah kita melepaska neurotransmitter ke seluruh otak, selain itu ada juga pelepasan oksitosin, dopamin, vasopressin, dan adrenalin. Makanya ada rasa aneh dan nggak nyaman. Kayak yang kamu bilang tadi. Gelisah, galau, sedih, gembira, semua campur aduk jadi satu.” Lira mengangguk dan ia merasa mendapat pengetahuan baru setiap kali berbicara dengan Rega. “Oya Lira gimana dengan self harm kamu? Apa setelah kamu jatuh cinta self harmmu berkurang?” Lira tercenung sesaat. Dia baru menyadari sejak jatuh cinta, aktivitas self harm semakin berkurang. “Aku pernah melakukan lagi waktu aku cemburu pada Raline. Tapi aku udah jarang nglakuinnya.” Rega menarik napas lalu menghembuskannya perlahan, “kamu tahu self harm ini bentuk mekanisme pertahanan diri seseorang untuk mengatasi rasa sakit secara emosional, kekosongan diri, kesepian. Dengan melukai diri sendiri, seseorang merasa sakitnya berkurang. Mereka tahu self harm atau self injury ini bisa mengurangi rasa sakit untuk sementara, tapi mereka menikmatinya dan bisa kecanduan. Itu kenapa kamu nggak takut sakit atau melihat darah saat kamu melukai diri kamu. Dan saat jatuh cinta, kamu merasa ada seseorang yang mengisi kekosongan hati kamu. Perlahan kamu menikmati sensasi jatuh cinta dan ada rasa bahagia setiap kamu berada dekat Elang. Ini yang bikin kamu mengalihkan perhatianmu dari self harm dan kamu pun jadi jarang nglakuin lagi.” “Apa segitu besarnya efek jatuh cinta? Tapi saat aku kecewa dan merasa patah hati, aku bisa lari ke self harm lagi.” “Tapi at least berkurang kan?” Rega menaikkan alisnya seolah meminta Lira membenarkan ucapannya. Lira mengangguk. ***** Elang menyalakan televisi sementara Lira masuk ke rumah melalui pintu di sebelah taman. Elang melirik Lira yang menatapnya datar. “Rega udah pulang? Gue yang temennya tapi lo yang ditemui dia.” Lira duduk di sofa lain dan memasang tampang juteknya. Meski hatinya mencintai laki-laki yang duduk tak begitu jauh darinya ini, tapi kadang dia lebih memilih menutupi perasaan berdebarnya dengan memasang wajah jutek, dingin atau datar. “Salah sendiri tidur siang lama banget.” Elang tertawa, “gue tidur lama soalnya mimpi panas.” Lira menyeringai, “mimpi panas? Mimpi kebakaran?” Elang tertawa lagi, “nggak. Panasnya panas yang lain. Panas yang enak.” Elang mengedipkan mata dan Lira sudah bisa membaca apa yang ada di pikiran Elang. Lira tak mau menanggapi lebih jauh. “Lo tahu nggak siapa yang nemeni mimpi panas gue?” Lira membuang muka, lalu menatap Elang kesal, “Raline lah siapa lagi.” “Salah. Bukan Raline, tapi lo. Lira Leandra..” Lira tersentak dan membulatkan matanya, “dasar. Mimpi aja kamu masih bisa m***m ama aku.” “Bener-bener kerasa nyata banget. Kayaknya mending kita nikah aja deh.” Elang mengedipkan matanya sekali lagi. Jujur Lira merasa tersipu dan bunga-bunga seolah bermekaran di taman hatinya. Tapi dia juga tahu kata-kata Elang terkadang tak bisa dipegang. Barangkali Elang cuma asal nyeplos dan mengerjainya. “Kenapa lo diem? Lo nggak mau nikah ama gue?” Lira bersedekap dan masih bersikap dingin. “Aku tahu kamu nggak serius. Kamu belum pingin nikah kan?” Elang tersenyum tipis, “ya memang. Tapi kalau gue inget mimpi gue barusan, gue jadi nggak tahan lagi pingin nikah ama lo. Lo seksi banget di mimpi gue.” Lira menggeleng dan menyeringai, “kamu pikir nikah cuma untuk menjawab rasa penasaran kamu tentang gimana rasanya bobo bareng aku? Huf, kalau orang yang pikirannya m***m kuadat tuh kayak gini. Dikit-dikit urusan ranjang. Menikah itu nggak cuma soal ranjang aja, tapi lebih kompleks dan rumit.” Elang menggaruk belakang kepalanya, “ya gue tahu.” Elang menghela napas, “jujur gue udah lelah dipaksa nikah mulu ama ortu. Tadinya gue mikir, gue nggak mau nikah dalam waktu dekat ini. Tapi berhubung mama papa udah milih lo buat gue, gue jadi mikir lagi. mungkin gue harus memenuhi permintaan mereka biar hidup gue ayem, nggak melulu disuruh-suruh nikah terus. Lo juga bisa lepas dari ayah lo kan? Biar lo nggak dijodohin lagi ama temen ayah lo.” Lira mengernyitkan dahi. Untuk sesaat dia tersadarkan satu hal bahwa menikah bisa jadi alasan untuknya bisa lepas dari ayahnya. Setelah menikah, dia akan menjadi tanggungjawab Elang sepenuhnya. Ayahnya nggak punya hak untuk memaksanya menikah dengan Ibas dan tidak akan lagi menyiksanya, memukulinya juga mengintimidasinya. Dia juga akan memiliki keluarga baru, keluarga Elang yang hangat. Memang mama dan papa Elang terkesan tegas cenderung galak, tapi mereka baik dan peduli padanya. Ada rasa haru menyeruak kala hati mereka begitu lapang menerimanya meski background keluarganya berantakan. Menemukan tipe metua yang seperti ini sangatlah susah. Lira tak yakin ada orangtua lain yang dengan senang hati menerimanya sebagai menantu setelah mengetahui bagaimana latar belakangnya. “Kamu serius ingin menikah denganku?” Pertanyaan Lira kali ini menyentuh lubuk hati terdalam Elang. Elang berusaha mencari kesungguhan pertanyaan dari sinar mata Lira yang menghujam sampai ke dasar hatinya. Apa Lira benar-benar serius ingin menikah dengannya? “Lo bener-bener serius mau nikah ama gue?” Elang mencoba meyakinkannya bahwa gadis di hadapannya benar-benar bersedia menikah dengannya. “Kenapa kamu nanya balik? Kamu belum jawab pertanyaanku. Kamu emang nggak serius kan?” Elang memejamkan mata sejenak dan ia menghembuskan napas seolah meyakinkan diri sendiri bahwa menikah bukanlah keputusan gegabah dan mudah. Ini keputusan paling serius dalam hidupnya. Masalahnya pernikahan ini seperti semacam pelepas status lajang untuknya, hanya untuk status. Dia belum tahu apa akan menjalani pernikahan ini layaknya sebuah pernikahan yang serius. Apa nanti dia dan Lira akan benar-benar menjalani keseharian sebagai suami istri betulan? Elang menatap Lira tajam. “Gue serius. Gue mau nikah ama lo.” Bibir Lira serasa kelu. Seperti ada sengatan listrik mengalir di tubuhnya. Dia tak bisa berkata-kata. Ditatapnya Elang dengan sorot matanya yang mulai berkaca. Pertanyaan berulang menari-menari di benaknya, apa memang pria ini ditakdirkan menjadi pendamping hidupnya? “Lo mau nikah ama gue?” Lira tercekat mendengar pertanyaan Elang dan dia hanya membisu. “I’m only gonna ask you one more time, will you marry me?” Lira begitu gugup untuk menjawab, “yess I will.” Lira mengangguk pelan. Elang bisa bernapas lega. “Pernikahan ini akan memberi kita keuntungan. Gue punya status dan ortu nggak akan maksa-maksa gue lagi. Lo juga bisa lepas dari perjodohan paksa oleh ayah lo. Sekarang yang perlu dipikirin adalah gimana biar ayah lo ngasih kita restu.” Kucerna baik-baik perkataan Elang. Apa baginya pernikahan ini hanya semata jalan untuk mendapat status? Bukan karena cinta? Lira sadar betul, Elang belum sepenuhnya jatuh cinta padanya. Dan saat ini bukan saatnya membicarakan soal cinta. Jika pernikahan tanpa cinta ini adalah jalan terbaik, Lira akan menerima apapun konsekuensinya. “Kita harus bertemu ayah. Aku masih takut dan belum siap.” Lira mulai meremas-remas jari tangannya. “Lo nggak usah takut. Ada gue yang nemeni lo. Gue bakal ngeyakinin ayah lo. Kita datang berdua dulu. Setelah ayah lo setuju, baru gue dateng bareng mama papa buat melamar lo.” Lira mengangguk. Dia merasa sedikit tenang. Membayangkan pertemuannya dengan ayahnya nanti, hatinya sudah merasa deg-degan, degup jantung berdetak lebih cepat dan seolah panas dingin menyerangnya bersamaan. “Lira lo kelihatan tegang. Lo tegang karena mikirin ayah lo atau pernikahan kita? Dengar ya Ra. Pernikahan ini hanya untuk mencapai tujuan kita masing-masing. Gue nggak akan nuntut lo untuk bersikap sebagaimana layaknya seorang istri. Lo juga nggak perlu nuntut gue untuk bersikap sebagaimana layaknya seorang suami. Gue bakal penuhi semua kebutuhan lo. Gue bakal kasih nafkah lahir buat lo. Sedang nafkah batin, gue ngikut lo. Kalau lo nggak mau gue sentuh, gue nggak akan nyentuh lo. Tapi kalo lo pengin ngrasain gimana hebatnya gue di ranjang, gue bakal jadi suami paling romantis dan hot buat lo. Kalau lo merasa bosan dan nggak mau lagi ngejalani pernikahan kita yang drama ini, lo boleh minta cerai. Lo bebas main ke luar, nglakuin apa yang lo suka, gue juga gitu. Nggak perlu main hati, baper atau cemburu diantara kita.” Lira terdiam. Dia sadar, dia dan Elang memiliki pandangan yang berbeda tentang pernikahan. Lira berharap pernikahannya nanti akan diwarnai keromantisan seperti kisah putri dan pangeran. Tapi bagi Elang pernikahan mereka nanti hanyalah sebuah status, tak lebih dari itu. Tapi seenggaknya Lira sudah tahu dari awal bahwa dalam pernikahan mereka nanti tak akan ada main hati, terbawa perasaan atau berharap akan tumbuhnya cinta. Lira akan berusaha untuk mengubur perasaannya pada Elang. ***** Lira’s POV Aku suka dengan pekerjaanku sekarang. Aku suka sekali ice cream dan bekerja di sini memberiku banyak kesempatan untuk melihat berbagai ice cream dengan variasi warna bentuk serta rasa. Aroma ice cream yang menggugah selera juga selalu menjadi hal menyenangkan lainnnya yang membuatku betah di sini. Devan tidak setiap hari datang ke kedai. Jika dia ada waktu luang, dia selalu menyempatkan waktu mengunjungi kedai ini. Dia seorang atasan yang baik. Perhatian dengan semua karyawan, tegas tapi bukan tipikal mendominasi. Dia selalu dengarkan keluhan pelanggan atau karyawan untuk memperbaiki kekurangan di kedai ini. Setiap dia ke sini, kami menyempatkan berbincang. Kadang karyawan lain merasa iri kala Devan mengajakku ngobrol di salah satu meja dan mentraktirku makan waffle serta ice cream. Sebenarnya karyawan lain suka ditraktir juga, tapi memang hanya aku yang sering dia ajak berbincang. Aku tak tahu kenapa dia senang ngobrol denganku. Aku sudah menceritakan kronologis tentang awal mula aku tinggal di rumah Elang. Tapi aku belum bercerita padanya bahwa aku akan menikah dengan Elang. Dan ada satu fakta yang membuatku tercengang. Devan Alfarizi adalah mantan tunangan Raline. Devan datang ke kedai saat jam mau tutup. Dia menyapaku dengan senyumnya yang selalu ramah. Banyak karyawati mengidolakannya. Mereka bilang wajah Devan teramat cute, bahkan lebih cute dari kita-kita yang perempuan. Ya aku akui secara fisik dia memang menarik. Karakter dan kepribadiannya juga menarik. Tapi sejak jatuh cinta pada Elang, aku tak lagi punya waktu untuk memikirkan laki-laki lain. Nama Elang sepertinya sudah mengendap di hati dan pikiranku. “Lira kamu mau langsung pulang?” Pertanyaan Devan membuat langkahku terhenti. Aku hendak meraih gagang pintu kedai. “Iya,” jawabku singkat. “Gimana kalau kita jalan sebentar? Ke taman?” Aku sebenarnya sudah ingin cepat pulang, tapi rasanya tak enak menolak ajakan atasan. Toh cuma jalan ke taman. Kuanggukan kepalaku. Kami jalan beriringan menuju taman. Kami duduk di bangku panjang yang dinaungi pohon beringin yang rindang. Semilir angin memberikan kesejukan dan membuat pikiran kembali segar setelah seharian bekerja. “Lira, kamu pernah jatuh cinta?” Pertanyaan Devan membuatku tercekat. Tak biasanya Devan membicarakan topik ini. “Pernah. Aneh kalau seumuranku belum pernah jatuh cinta.” Devan tertawa kecil, “jatuh cinta yang paling indah itu kalau berbalas. Tapi kalau patah hati, bikin hati sakit dan kadang susah untuk move on.” Kulirik Devan. Dia tak pernah mau dipanggil pak atau bapak. Dia ingin aku memanggil namanya. Devan seumuran dengan Rega. Bisa dibilang dia tipe ideal untuk dijadikan pendamping hidup. Sayangnya aku tak jatuh cinta padanya. Aku malah jatuh cinta pada sosok seperti Elang yang suka bergonta-ganti teman kencan. “Kamu belum bisa move on dari Raline?” Devan menatapku tajam. mungkin aku menanyakan sesuatu yang salah. “Aku hanya tak mau menjalani kisah cinta yang harus berakhir lagi seperti kisah cintaku dan Raline. Aku nggak punya pilihan lain. Gaya hidupnya sangat jauh berbeda dengan gaya hidupku. Dan aku tahu, kamu mungkin juga tahu, seperti apa gaya pacarannya dengan Elang. Aku nggak bisa nrima itu. Meski itu cuma masa lalunya.” Aku tergugu dan Devan tak tahu bahwa Raline masih berhubungan dengan Elang. Aku memang pernah berpikir akan masa lalu Elang yang mungkin akan sulit aku terima. Tapi entahlah, aku justru bersedia menerimanya apa adanya. “Ra kenapa kamu diam?” Aku terkesiap, “ehmm aku hanya berpikir.. kenapa aku nggak bisa sepertimu yang nggak bisa nrima masa lalu mantan tunanganmu. Aku justru menerima masa lalu Elang.” “Maksudmu?” Devan mengernyitkan dahinya. “Aku akan menikah dengan Elang.” Dan kulihat ekspresi wajah Devan berganti datar dan dingin. ******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN