Author’s POV
Lira berjalan menyusuri trotoar dengan berjuta pikiran berkelana di kepalanya. Ia memikirkan rencana pernikahannya dengan Elang, memikirkan ibunya juga kecemasannya menghadapi ayahnya nanti. Satu lagi yang mengganjal di benaknya. Dia teringat saat Devan bertanya padanya, “apa yang membuatmu jatuh cinta pada Elang dan mau menikah dengannya?” Lira tak pernah menemukan alasan yang tepat kenapa ia jatuh cinta dan mau menikah dengan Elang. Memang ada banyak hal yang bisa dia jadikan alasan. Wajar bukan seorang gadis jatuh cinta pada pria yang tampan seperti Elang, meski kadang pikiran mesumnya membuatnya kesal, tapi di sisi lain itu adalah sisi menariknya. Ada berapa banyak pria berpikiran m***m kala melihat wanita cantik dan berbaju seksi? Banyak, tapi yang bisa seterbuka itu membicarakannya hanya beberapa kecuali jika memperbincangkannya dengan teman terdekatnya. Elang termasuk tipe yang begitu terbuka tentang dirinya, tak pernah jaim, ceplas-ceplos dan di balik itu semua dia tipe yang care dan pintar berbisnis.
Jika bicara tentang fisik yang menawan, Rega dan Devan juga memiliki paras rupawan. Tapi Lira tidak begitu saja menaruh hati pada keduanya. Hanya Elang yang bisa membuatnya jatuh cinta. Jadi ketampanan seseorang bukanlah alasan kuat kenapa seorang wanita jatuh cinta. Untuk karakter dan kepribadian, banyak yang lebih baik dari Elang, tapi entah kenapa Lira hanya tertarik pada Elang. Lira sendiri merasa begitu bodoh. Kenapa ia bisa dibutakan oleh cinta. Lira tahu Elang bukan sosok yang tepat untuk dijadikan imam, pendamping hidupnya, tapi ia mengingkarinya. Dia hanya ingin menghabiskan hidupnya bersama orang yang dia cintai.
Lira begitu terkejut ketika ada tangan yang mencengkeram lengannya. Baru saja dia hendak berteriak minta tolong, dua orang preman yang menarik kedua tangannya sudah lebih dulu membungkam mulutnya. Tenaga preman itu begitu kuat, Lira tak sanggup melawan. Dia dipaksa masuk ke dalam mobil dan sang sopir melajukan mobilnya begitu cepat meninggalkan jalan lengang itu.
*****
Elang’s POV
Sudah jam segini Lira belum pulang. Waktu aku melewati kedai ice cream, kedainya sudah tutup. Dia kemana ya? Aku coba menghubungi nomernya juga nggak aktif. Termasuk sms dan WA juga tak ada satupun yang sampai. Aku mulai panik dan mengkhawatirkannya. Atau aku harus bertanya pada Devan. Mungkin dia tahu kemana Lira pergi. Aku kirim pesan WA pada Raline untuk meminta nomor WA Devan. Tak lama menunggu balasan. Raline bertanya, untuk apa aku minta nomor WA Devan, tapi aku malas menjawabnya.
Kukirim WA pada Devan.
Devan ini Elang. Lo tahu nggak Lira kemana? Sampai sekarang belum pulang.
Agak lama kutunggu balasan dari Devan. Maklum jadwalnya sibuk. Dia salah satu dokter spesialis anak yang laris. Raline pernah membanggakan dirinya sebagai sosok calon suami yang ideal dan berkarakter. Saat itu aku begitu cemburu.
Beep.. beep..
Ada pesan WA masuk.
Lira udah pulang dari sore. Kita tadi sempat jalan ke taman, setelah itu dia langsung pulang. Emang dia nggak pulang ke rumahmu?
Satu fakta membuatku sedikit kesal, Lira sempat jalan ke taman bareng Devan? Pesona Devan memang luar biasa ya. Dulu Raline dibuat tergila-gila, sekarang Lira juga dia ajak jalan. Mau apa dia sebenarnya. Apa dia tak tahu Lira itu calon istriku.
Oya ada satu nama yang belum aku hubungi. Segera kucari nama ibunya di kontakku dan aku menghubunginya. Aku bersyukur nomornya aktif.
“Halo Bu.. Lira pulang ke tempat ibu?”
Aku dengar suara isak tangis di ujung telpon dan aku semakin panik.
“Lira di sini. Teman-teman ayahnya menemukanny waktu pulang kerja. Ayahnya sangat marah dan dia mengunci Lira di kamar. Ayahnya akan meneruskan perjodohannya. Tolong selamatkan dia nak. Ibu nggak tahu gimana ngomong ke ayahnya.”
Aku menghela napas.
“Ibu yang tenang ya. Elang berencana mau melamar Lira dan secepatnya akan datang. Tolong sampaikan ke ayah jangan jodohin Lira dengan orang lain. Elang akan memenuhi persyaratan apapun yang ayah minta.”
Suara tangis ibu masih terdengar mencekat.
“Makasih nak. Semoga aja ayah mau menerima lamaranmu.”
“Bu, kalau misal saya datang malam ini cuma pingin tahu keadaan Lira boleh nggak ya?”
“Ibu takut ayah bakal menolak kedatanganmu.”
“Nggak apa-apa bu. Kalau ditolak ya saya balik lagi.”
“Iya silakan nak. Dulu ibu pernah kasih alamatnya kan? Masih ada nggak?”
“Iya masih ada. Makasih ya Bu.”
Aku bisa bernapas lega. Setidaknya aku tahu keberadaan Lira. Kulirik jarum jam menunjuk pukul delapan malam. Segara kuambil kunci mobil. Malam ini juga aku akan datang ke tempat Lira.
*****
Kususuri jalan gang sempit menuju rumah Lira. Memasuki lingkungan tempat tinggal Lira aku mulai merasakan atmosfer yang beda. Pemandangan orang mabuk, berjudi seolah jadi tontonan yang biasa. Mereka sepertinya tak menyadari kedatanganku. Ada seorang perempuan lewat dan aku menyapanya untuk menanyakan rumah Lira. Dia mau berbaik hati memberi tahu di mana lokasi rumah Lira tapi ujung-ujungnya dia menawarkan diri untuk menemaniku tidur. Kulihat pakaian yang ia kenakan, cukup seksi dan badannya juga seksi berisi dengan belahan buah d**a yang begitu menggoda. Tapi aku juga pilih-pilih teman kencan. Aku hanya mau tidur dengan orang yang aku kenal dan bersih. Salah jika Lira pernah menuduhku sudah tidur dengan banyak perempuan. Nggak banyak sih, cuma empat. Tiga dengan mantan-mantan pacarku, yang keempat dengan Mela, temanku, Lira akan menjadi yang kelima, kalau dia mau. Aku ingat Lira pernah bercerita bahwa dia tinggal di lingkungan yang moralitasnya rendah. Banyak preman yang suka mabuk, penjudi dan perempuannya banyak yang bekerja sebagai PSK. Malam ini aku melihat sendiri bahwa omongan Lira terbukti benar.
Aku sampai di depan rumah bercat hijau dan di halamannya ada bunga kaktus, sesuai dengan petunjuk yang diberikan perempuan tadi. Rasanya jadi deg-degan begini. Aku mulai merasa gugup luar biasa hingga tanpa sadar ada peluh yang menetes dari dahi.
Kuketuk pintu dan kuatur napasku berkali-kali. Terdengar derap langkah mendekati pintu dari dalam. Ketika pintu terbuka, ibu Lira berdiri dihadapanku. Dia tersenyum menyambutku dan seakan ada perasaan lega yang tergambar jelas dari matanya yang sembab. Kujabat tangannya dan ibu menepuk bahuku lembut.
“Makasih ya nak udah mau datang.”
Ibu mempersilakanku masuk dan duduk. Sosok pria berbadan tinggi tegap dengan gurat wajah tegas dan garang keluar menemuiku. Aku sudah bisa menduga, dialah ayah Lira, sosok ayah yang begitu ditakuti Lira.
“Kamu Elang? Pacar Lira?”
Ayah Lira bertanya dengan ekspresi wajah datar dan sikap yang begitu dingin.
Kuanggukkan kepalaku, “iya dan kedatangan saya ke sini..”
“Nggak perlu dijelasin, ibu udah cerita. Kamu ingin lihat Lira kan? Dan ingin menikahi Lira?” Ayah Lira memotong pembicaraanku sebelum aku menyelesaikannya.
Aku mengangguk sekali lagi.
“Lira udah saya jodohkan dengan seseorang yang layak untuknya. Dia mapan dan saya yakin Lira bisa hidup bahagia bersamanya.”
Aku merasakan gugup yang teramat. Bagaimana cara meyakinkannya bahwa aku juga sudah mapan dan bisa membahagiakan Lira. Kata-kata yang keluar dari mulut ayah Lira sama sekali tidak mengesankan bahwa dia ayah yang buruk dan suka memukuli anak istri. Tapi tampangnya yang garang mungkin bisa membuatku percaya dengan apa yang dikatakan Lira selama ini.
“Ayah, saya bisa membahagiakan Lira dan insya Allah saya sudah mapan. Saya punya dua restaurant dan juga kontrakan. Lira tak akan kekuragan suatu apapun.”
Laki-laki yang mengenakan kaos warna biru itu mengelus dagu dan menatapku dari atas sampai bawah, mungkin sedang berusaha mencari sesuatu dari penampilanku yang bisa menunjukkan bahwa aku sudah mapan secara finansial.
“kamu tahu jika ayah menikahkan Lira dengan Ibas, semua hutang ayah akan lunas.”
Aku bisa menangkap maksud perkataannya.
“Berapa hutang ayah?”
Pria itu tersenyum. Dia sepertinya meremehkan kemampuanku untuk melunasi hutang-hutangnya.
“Enam puluh juta.” Jawabnya lantang.
Hutang yang banyak dan aku punya tabungan jauh lebih banyak dari itu. aku sanggup melunasi hutang-hutang ayah Lira.
“Saya akan melunasi hutang-hutang ayah. Tapi saya mohon restui hubungan kami dan besok saya akan datang bersama orangtua saya untuk melamar Lira.”
Ayah Lira tersenyum lebar, “kamu yakin?”
Aku mengangguk. Tak masalah aku harus berkorban seperti ini. Lira jauh lebih berharga dari sejumlah uang berapapun banyaknya. Mama papa terlanjur menyukainya dan aku juga tak punya calon lain. Mama tidak begitu menyukai Raline.
“Menantu yang baik. Okey ayah akan merestui kalian dan menerima lamaranmu.” Selanjutnya ayah memberiku kunci kamar, “kamu ingin bertemu Lira kan? Itu kunci kamarnya.”
Aku lega, tidak begitu susah untuk mendapat restu dari ayah.
Ibu menunjukan kamar Lira. Kubuka pintu itu dengan kunci yang diberikan ayah. Saat pintu terbuka, kulihat Lira duduk terpekur menekuk kedua lututnya dan ia lingkarkan tangannya memeluk kedua lututnya. Ia mengangkat wajahnya dan ada keterkejutan yang tercetak jelas di kedua matanya. Lira melongo seolah dia tak percaya dengan apa yang dia lihat. Aku tak tahu kenapa hatiku bergetar melihatnya. Ada luka lebam di tangan dan lengannya. Matanya terlihat sembab dan sedikit membengkak. Aku melangkah mendekat ke arahnya dan duduk di sebelahnya.
Lira menyeka air matanya dan kembali menunduk, menghindari kontak mata denganku. Dia membisu seribu bahasa.
Kuangkat wajahnya dan kutatap dia lekat. Aku bisa merasakan penderitaan yang ia rasakan dari sorot matanya yang masih terus berkaca dengan genangan bulir air mata di sudut matanya. Kuusap air matanya dengan jari-jariku. Aku trenyuh melihat matanya yang sedikit bengkak. Apa ayah juga memukul matanya? Kuraih tangannya dan kulihat luka lebam yang memenuhi lengan dan tangannya. Aku yakin lebam biru ini adalah jejak keganasan tangan ayahnya yang telah menyiksanya.
Kukecup tangannya dan kulanjutkan dengan memberi kecupan-kecupan ringan di tangan dan lengannya, tempat di mana luka-luka lebam itu tercetak. Lira terkesiap dan sepertinya dia merasa kurang nyaman, tapi dia membiarkanku mengecup lengannya. Kecupanmu menaiki ke atas dan berhenti di lehernya. Aku rasakan detak jantung Lira berpacu lebih cepat. Aku bisa mendengar jelas suara dag-dig-dug dari dadanya. Terakhir kukecup kedua matanya, mata yang telah mengeluarkan banyak air mata dan begitu menyayat. Kami saling menatap dalam jarak begitu dekat.
“Masih sakit? Apa kecupan gue bisa bikin sakit lo berkurang?”
Lira tak menjawab. Aku lihat tetes-tetes air matanya kembali berlinang membasahi pipinya. Kuseka air matanya dengan jariku. Mataku melirik pada sebuah benda kecil di sebelahnya. Cutter? Dia membuat luka lagi?
“Lo self harm lagi? di mana lukanya?”
Tangis Lira terdengar sesenggukan. Sesaat kemudian jari-jarinya membuka tiga kancing bajunya di bagian atas dan membuatku tersentak. Tanpa bersuara, Lira menunjukkan luka yang masih baru itu di atas buah dadanya. Ini pertama kali aku melihatnya tampil seterbuka ini di depanku.
Kupasang kembali kancing bajunya, “gue kecup nanti setelah kita menikah. Kalau gue kecup sekarang, gue takut kelepasan.”
Ini bukan pertama kali aku memasang kancing baju perempuan, aku pernah melakukannya pada Raline dan aku sudah pernah melihat tubuh wanita tanpa sehelai benang pun saat aku bercinta dengan mereka, tapi melihat bagian tubuh Lira dan memasangkan kancing bajunya membuat dadaku berdebar.
Lira menatapku lembut. Bertatapan sedekat ini dengannya selalu saja menerrbitkan sensasi getaran yang belum pernah aku rasakan pada perempuan manapun. Jarak kami kian dekat. Lira memejamkan matanya, aku pun terpejam. Mungkin ini saat yang tepat untuk menciumnya. Tapi sesaat aku berhenti. Kutelisik wajah Lira yang masih didominasi jejak air matanya. Tidak, aku tidak akan menciumnya sekarang. Kusandarkan kepala Lira di dadaku. Tangisnya pecah lagi, tapi lirih. Aku berbisik di telinganya, “besok gue bakal datang lagi melamar lo. Ayah lo udah kasih kita restu.”
Lira membalasnya dengan berbisik juga di telingaku, “I love you..”
Dadaku bergetar hebat dan aku speechless...