Wedding Night

1698 Kata
Elang’s POV Kutatap langit-langit, namun pandangan mataku tidak terbatas pada polosnya langit-langit yang berwarna putih. Pandanganku jauh lebih berwarna dan menerawang tak terbatas hingga tak kutahu di mana ujungnya. Yang aku tahu hari ini hari yang paling bersejarah dalam hidupku dan juga untuknya. Meski rencana berubah total dari rencana awal. Awalnya aku akan datang melamarnya, tapi setelah aku ceritakan kondisi Lira, mama papa ingin kami langsung menikah tanpa lamaran. Mama papa ingin aku cepat-cepat membawa Lira keluar dari rumah orangtuanya, demi kebaikannya, untuk menghindari kekerasan lebih lanjut yang dilakukan ayahnya. Dan seminggu kemarin aku dan orangtuaku ngebut mengurus segala sesuatunya. Kami mengejar nikah sah di KUA dulu, soal resepsi menyusul belakangan. Orangtua Lira sepakat dengan keinginan kami. Sesuai kesepakatan aku melunasi hutang-hutang ayah Lira dan atas saran dari papa, aku meminta ayah Lira untuk menandatangi kesepakatan bahwa ayah nggak akan pernah melakukan kekerasan terhadap Lira lagi. Awalnya ayah terrsinggung tapi dia tak bisa berkelit saat aku menunjukkan bukti kekerasan yang ayah lakukan terhadap Lira dengan banyaknya luka lebam di tangan dan kaki Lira. Jika ayah melanggar kesepakatan maka kami akan melaporkannya ke polisi. Seminggu kemarin juga sempat terjadi insiden. Ibas, pria seumuran ayah Lira yang tampak awet muda itu sempat melabrak ayah karena melanggar kesepakatan mereka. Meski ayah sudah melunasi hutangnya tetap saja dia tidak terima. Akhirnya aku mencoba bicara empat mata dengannya. Aku bertanya padanya tentang motifnya menikahi Lira. Ternyata pria b******k macam Ibas hanya menginginkan keperawanan Lira. Akhirnya aku berbohong bahwa aku dan Lira sudah melakukan hubungan suami istri, Ibas pun mundur. Semudah itu menyingkirkan pria genit itu. Dan sekarang kami sudah resmi menjadi suami istri. Aku masih ingat betapa gugupnya aku, d**a berdebar-debar dan rasanya deg-degan luar biasa saat harus mengucap akad. “Saya terima nikah dan kawinnya Lira Leandra binti Anton Ramdhani dengan emas 80 gram tunai.” Suara “sah” terdengar begitu lantang dan menggema di seantero ruangan, membuat semua orang yang menyaksikan mengucap syukur. Atmosfer kegugupan yang aku rasakan tadi siang masih saja terasa hingga malam ini. Atau mungkin karena saat ini ada Lira di sebelahku. Kulirik dia. Dia tengah menatap ke atas tanpa suara. Aku mengharapkan dia mengenakan baju yang lebih pendek dari yang sekarang ia kenakan. Dia memilih mengenakan sweater dan celana panjang. Tak salah juga sih, malam ini begitu dingin mencekam. Sedari tadi kami saling diam tanpa suara. Saat ijab qobul tadi siang, Lira mengenakan kebaya putih bergaya modern dengan banyak aksen bunga kecil di bagian pergelangan tangan dan ujung roknya. Aku akui, dia terlihat sangat cantik hingga kukerjapkan mataku berkali-kali untuk memastikan bahwa wanita yang bersanding di sebelahku benar-benar Lira. Kulirik dia sekali lagi, di saat yang sama Lira pun menolehku. Terlepas apapun motif pernikahan kami untuk mencapai tujuan masing-masing, aku sudah bergelar suami untuknya. Dan Lira sudah terlanjur bermain hati dan perasaan dalam pernikahan ini. Dia mencintaiku. Sedang aku.. Aku tertarik padanya, meyukainya, peduli padanya, tapi aku belum tahu pasti apa aku benar-benar jatuh cinta padanya atau tidak. Tiba-tiba aku teringat akan temuan berharga yang aku dapatkan dari lemari kamarnya di rumah orangtuanya. Aku menemukan banyak buku diary berisi tulisan darah. Malam ini aku memiliki rencana penting untuk melenyapkan masa lalu Lira yang dimulai dengan membakar semua buku diarynya. Aku beranjak dari ranjang dan melangkah menuju kardus yang kuletakkan di pojok ruangan. Lira ikut beranjak. “Apa yang ada di dalam kardus itu El?” Aku menolehnya, “jejak-jejak masa lalumu.” Lira mengernyitkan dahinya. Kuangkat kardus itu keluar kamar. Lira mengikutiku dari belakang. Aku bawa kardus itu sampai di luar halaman. Lira tampak bengong dan aku bisa membaca ada banyak pertanyaan berkecamuk di benaknya. Kubuat api unggun sementara Lira masih terpaku mengamati apa yang aku lakukan. “Apinya buat apa?” Alis Lira terangkat. Aku tersenyum padanya lalu kuambil sebuah buku diary dari kardus. “Aku bakal bakar semua buku diary ini. Aku nemuin buku-buku ini di lemari kamarmu. Sekarang kamu mengawali lembaran baru bersamaku. Aku ingin membuang semua jejak masa lalumu.” Aku biasakan untuk mengganti panggilan kami dengan kata ganti aku-kamu karena dia sudah jadi istriku sekarang. Lira tercengang. Dia tak berkata apa-apa. Kulemparkan sebuah buku diary ke api yang berkobar. Kembali kutatap Lira yang masih mematung. “Kamu keberatan?” Tanyaku memastikan. Lira menggeleng, “nggak apa-apa, bakar aja semuanya.” Kulemparkan diary itu satu per satu. Sebenarnya ada rasa sakit yang menggerogoti pertahananku dan aku tak bisa menjelaskan bagaimana perasaanku saat melihat tulisan-tulisan bernada hopeless terpatri di lembaran-lembaran diary itu dan semua ditulis dengan darah dari tubuh Lira. Yang aku tahu, dadaku serasa sesak dan seakan aku bisa merasakan semua luka dan kepedihannya. Lira duduk terpekur menyaksikan jilatan api yang menyala menghanguskan diary-dairynya, saksi betapa menderitanya dia yang harus berjuang melawan bisikan dalam dirinya untuk terus melukai diri. Betapa sulitnya dia untuk bisa keluar dari self harm. Kugenggam tangannya. Lira terkesiap. “Please berjanjilah padaku. Jangan pernah melakukan ini lagi. Diary-diary ini akan menjadi catatan terakhir masa kelammu. Saat ini kamu akan mengawali kehidupanmu dari awal lagi, bersamaku. Kalau kamu sedih dan butuh teman bicara, ada aku yang bisa kamu ajak bicara.” Lira mengangguk pelan dengan wajah begitu pias. Setelah semua diarynya hangus terbakar, kumatikan api. Lalu aku menuntun Lira memasuki ruangan. Lira terlihat kurang fokus. Dia seperti tengah memikirkan sesuatu. Aku terus menuntunnya menaiki tangga menuju kamar kami. Kami duduk bersebelahan di ujung ranjang dengan suasana yang begitu membingungkan. Kami sudah sah menjadi suami istri tapi sedari tadi kami lebih banyak diam tanpa ada usaha untuk membangun keintiman berdua. Aku pikir aku akan melewati malam pertama bersamanya begitu mudah mengingat aku sudah berpengalaman. Tapi yang ada aku begitu kaku dan mati gaya untuk memulainya. “Lira..” Lira menolehku. Tatapannya begitu dingin. “Apa kamu nggak punya baju tidur yang lebih pendek dari ini?” Lira terbelalak, “ada, tapi malam ini dingin banget, aku nggak bisa pakai baju pendek.” “Ganti aja, aku yang bakal ngangetin kamu.” Wajahnya mulai tersipu. Lira tak mengucap sepatah katapun. Dia melangkah menuju lemari dan mengambil gaun tidurnya yang pendek. Selanjutya Lira berjalan menuju kamar mandi. “Ngapain ke kamar mandi?” “Mau ganti baju.” Lira menjawab dengan polos. “Ganti di sini aja.” Dahi Lira berkerut, “tapi.” “Aku suamimu sekarang. Masa iya kamu malu sama suami sendiri?” Lira agak ragu sejenak, namun akhirnya dia turuti permintaanku. Lira membuka sweaternya. Bisa kulihat perutnya yang langsing dan dadanya yang kecil di balik bra yang ia kenakan namun indah untuk dilihat. Bekas-bekas luka sayatannya memenuhi retinaku. Ada bekas luka di atas dadanya, luka yang paling baru dan ternyata ia memiliki bekas luka di perut. Lira mengenakan gaun tidur terusan yang panjang roknya beberapa senti di atas lutut. Terakhir dia lepaskan celana panjangnya. Lira melangkah mendekat padaku. Saat jaraknya semakin dekat kutarik tangannya hingga tubuhnya jatuh menindih tubuhku. Mata kami beradu. d**a kami saling berhimpitan dan aku bisa merasakan kencangnya degup jantungnya. Lira terlihat gugup. Aku balik badannya dan kini dia berada di bawah tubuhku. Agak kutopang tubuhku dengan siku untuk memberinya ruang untuk bernapas. “Waktu aku datang ke tempatmu malem-malem, di hari kamu ngilang, aku udah janji bakal ngecup bekas luka di dadamu saat kita udah nikah. Aku akan menepatinya sekarang.” Bisa kurasakan d**a Lira berdebar. Napasnya tersengal. Aku yakin saat ini Lira begitu deg-degan dan sedikit cemas. Kubuka kancing bajunya yang hanya ada tiga kancing di bawah kerah. Lira tak mengelak. Bisa kulihat buah d**a Lira yang begitu menggoda. Kukecup luka itu. bukan sekedar kecupan lembut tapi juga dalam hingga memberikan tanda merah di sana. Selanjutnya kukecup bibirnya lembut, kemudian kuteruskan dengan ciuman yang lebih dalam dan kuarahkan dia untuk mau membuka mulutnya sampai akhirnya bibir kami saling berpagut, semakin panas dan liar. Meski ini ciuman pertamanya, tapi dia bisa melakukannya dengan baik. Untuk soal seperti ini, insting manusia begitu tajam. Saat kulepas ciumanku, napas Lira terengah-engah. Kami saling menatap. Bisa kurasakan binaran cinta yang begitu besar berpendar dari matanya. “This is your first kiss right?” Lira mengangguk. Ia menggigit bibir bawahnya. “And you did it so good.” Aku tersenyum padanya. Wajah Lira memerah. Kuteruskan kecupanku ke semua bekas luka sayatan di sekujur tubuhnya. Ketika kuberi kecupan-kecupan ringan itu, di beberapa bagian aku tinggalkan jejak merah di sana, kudengar desahan Lira begitu seksi membuatku semakin b*******h. Aku tak peduli dengan banyaknya bekas luka sayatan di tubuhnya. Bagiku dia seksi dengan keunikannya. Saat aku mencoba melucuti pakaiannya, Lira menahan tanganku dan menatapku dengan ekspresi wajah yang terlihat menginginkan sesuatu lebih dari ini tapi di sisi lain aku melihat ada ketakutan di sorot matanya. “Why Lira?” “I’m not ready...” Jawabnya lirih. “You ever said to me that you would stay virgin until wedding night. And this is our wedding night..” Kuingatkan dia bahwa malam ini adalah malam pertama pernikahan kami. Barangkali dia tak ingat. “I know. Virginity is such crucial thing for every woman. I’m just not ready to lose it now.” Jawabnya pelan. Aku mengerti dan aku tak akan memaksanya, meski aku menginginkannya. Aku tak bisa bersikap egois. Lira mengalami permasalahan psikis yang kompleks, mulai dari self harm, trauma akan perlakuan kekerasan yang ia terima dari ayahnya serta terkadang dia mengalami gangguan kecemasan atau anxiety disorder meski tingkat kecemasan belum begitu parah, tapi akan lebih baik untuk diterapi sejak awal, agar dia tak lagi mengalami kecemasan berlebihan. Aku tak boleh bersikap kasar padanya. Kukecup keningnya begitu lembut lalu aku berbaring di sebelahnya. “I’m really sorry.” Ucapnya. “It’s okay. Aku nggak akan pernah maksa kamu untuk melakukannya, Ra. Kita juga udah paham motif awal pernikahan kita. Kita sepakat untuk nggak bermain hati kan? Dan pernikahan ini nggak akan menuntut kita untuk bersikap layaknya suami istri.” Lira terdiam. “Tapi, sejak awal aku udah bermain hati. Apa artinya ciuman kita tadi dan semua yang kamu lakukan padaku bukan karena kamu mencintaiku?” Kumiringkan badanku dan menolehnya. Ketelusuri pipinya dengan jari-jariku. “Aku menyanyangimu, tapi untuk jatuh cinta padamu, aku belum tahu pasti seperti apa perasaanku padamu.” Lira tercenung, “Tak apa, aku akan membuatmu benar-benar jatuh cinta padaku.” Dan perbincangan kami sebelum tidur, kuakhiri dengan kecupan di bibirnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN