Anne tengah terbaring di atas tempat tidur di kamarnya. Ia sedang sakit dan tidak bisa bangun karena merasakan pusing.
Tubuhnya tidak bisa menerima kelelahan yang dialaminya sehingga jatuh ambruk saat beberapa hari berjualan takjil.
Ibunya selalu mewanti-wanti agar tidak terlalu sering tidur larut malam. Anne memang kadang melakukan tadarus setiap malam bersama teman-temannya.
Dia tidur kurang lebih selalu di jam sebelas malam dan itu terjadi berturut-turut hingga akhirnya jatuh sakit.
“Makanlah dulu. Jangan lupa diminum sari kurma nya, ibu juga beli madu ini. Kamu musti sehat kalau mau jualan pagi, An,”
“Ya, Bu. Tapi Anne nggak suka sama sari kurmanya, Bu,”
“Paksain suka, kan biar obat juga, penambah tenaga biar tubuhmu fit,” ucap ibunya setengah memaksa.
Mau tidak mau Anne memang akhirnya minum sari kurma itu dan senang dengan senyuman ibunya yang merasa bangga karena semua perintahnya dilaksanakan dengan baik oleh Anne.
“Cepat sembuh biar yang beli tidak kecewa,”
Anne mengangguk dan tidur lagi. Terpaksa tidak berpuasa hari ini untuk bisa memulihkan sakitnya dan agar tubuhnya fit kembali.
**
Tak disangka, takjil buatan seorang gadis penjaja di pinggir jalan mampu menyentuh hatinya dan bahkan membawa kembali kenangan manis bagi neneknya. Ketertarikan Barra pada takjil Anne bukan hanya soal rasa. Ada sentuhan magis di setiap gigitan bakwan udang yang renyah, kesegaran es buah yang membelai lidah, dan kehangatan kolak pisang yang menenangkan.
Namun, lebih dari itu, ada sosok Anne di balik semua kelezatan itu. Senyumnya yang tulus, matanya yang berbinar saat menjelaskan setiap jenis takjil, dan semangatnya yang tak pernah pudar, semua itu terukir jelas di benak Barra.
Di balik meja kerjanya yang megah, di antara tumpukan laporan dan dering telepon, Barra seringkali tanpa sadar melamun.
Bayangan gadis penjual takjil dengan stand jualan sederhananya, aroma takjil yang menggoda, dan suara lembutnya saat menyapa pembeli, semua itu hadir bagai film yang berputar di kepalanya.
Tapi Barra belum tahu apa itu arti mencintai, karena selama ini dia selalu berkutat dalam pekerjaan dan juga mengejar waktu untuk bisa mendapatkan tender proyek yang akan membuatnya sukses.
Setiap kali jam menunjukkan waktu menjelang sore, jantung Barra berdebar lebih kencang. Ada kerinduan yang tak bisa dijelaskan untuk kembali mencicipi takjil buatan Anne dan melihat senyumnya.
Pertemuan singkat di pinggir jalan itu telah menanamkan benih rasa yang aneh namun menyenangkan di hatinya.
Saat berhadapan langsung dengan Anne, entah saat membeli atau sekadar berbincang, Barra merasakan sensasi yang belum pernah ia alami sebelumnya. Debar jantungnya berpacu lebih cepat, telapak tangannya sedikit berkeringat, dan ada perasaan gugup yang menggelitik perutnya.
Ia, seorang CEO yang terbiasa menghadapi ratusan karyawan dan negosiasi bisnis yang rumit, mendadak merasa canggung di hadapan gadis penjual takjil itu.
Ia berusaha menyangkalnya, mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ini hanya efek dari rasa kagum pada kegigihan seorang Anne.
Namun, semakin sering ia bertemu gadis itu, semakin kuat pula debaran itu terasa. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar ketertarikan biasa.
Ada rasa ingin tahu yang mendalam tentang gadis itu, tentang mimpinya, tentang dunianya yang jauh berbeda dengan dunianya yang serba mewah.
Rasa penasaran itu perlahan bertransformasi menjadi kekaguman, dan kekaguman itu mulai merayap menjadi sesuatu yang lebih intim. Barra mendapati dirinya mencari alasan untuk bisa lebih lama berada di dekat Anne, untuk mendengar suaranya lebih banyak, dan untuk melihat senyumnya lebih sering.
Tak disadarinya, takjil gadis itu telah menghipnotisnya.
“Tuan, kali ini stand nya tutup. Apa Tuan mau mencari takjil di tempat lain?” tanya sang sopir.
“Jangan, tidak usah. Kita pulang saja,” ujar Barra kecewa.
**
Takjil buatan Anne bukan hanya memanjakan lidahnya, tetapi juga telah membuka pintu hatinya untuk sebuah rasa yang baru dan tak terduga.
Di tengah kehangatan hubungan Barra dengan Anne, muncul bayangan seorang gadis lain bernama Christin.
Christin ini adalah teman dekat Barra sejak lama, bahkan bisa dibilang sudah dianggap keluarga. Ia sering berkunjung ke rumah Barra dan tahu betul kebiasaan sang CEO muda, termasuk kegemarannya membeli takjil di pinggir jalan setiap sore.
Awalnya, Christin hanya merasa heran melihat perubahan kebiasaan Barra. Seorang pria yang selalu menjaga imej dan hanya mengonsumsi makanan dari tempat terpercaya, kini rela membeli jajanan pinggir jalan.
Rasa herannya perlahan berubah menjadi penasaran saat Barra dengan antusias menceritakan betapa lezatnya takjil buatan seorang gadis yang diketahuinya bernama Anne.
“Anne?” tanya Christin.
“Ya, itu nama penjualnya. Ehm …. Dia jualan dadakan gitu tapi enak-enak kok rasanya,”
“Masa, sih?” ujarnya sembari mengerutkan keningnya.
Suatu sore, didorong oleh rasa ingin tahu dan mungkin sedikit rasa kompetitif, Christin mencoba membuat sendiri beberapa jenis takjil yang sering dibeli Barra. Ia mencari resep di internet, membeli bahan-bahan terbaik, dan menghabiskan waktu di dapur.
Namun, hasilnya jauh dari ekspektasi. Ia sampai terkejut dan menutup bibirnya karena kaget dengan hasilnya.
“Ya ampun, jelek banget,” gerutunya.
Gorengannya lembek dan berminyak, es buahnya terasa kurang segar, dan kolak pisangnya terlalu manis.
Kegagalan itu menimbulkan rasa frustrasi dalam diri gadis itu. Ia merasa ada sesuatu yang istimewa dari takjil buatan Anne yang tidak bisa ditiru.
Rasa penasaran yang awalnya polos kini bercampur dengan sedikit rasa iri dan bahkan kemarahan yang tak beralasan pada gadis penjual takjil itu. Baginya, kehadiran Anne seolah mengusik kedekatannya dengan Barra dan mengubah rutinitas pria itu.