Di tengah ramainya jalanan kota kecil yang menjelang maghrib ini, seorang gadis bernama Anne dengan senyum cerah menjajakan takjil buatannya.
Aneka gorengan renyah, es buah segar, dan kolak pisang hangat tertata rapi di atas meja kecilnya. Aroma manis dan gurih berpadu, mengundang siapa saja yang melintas untuk sekadar melirik atau bahkan mencicipi.
Hari itu, di antara kerumunan pembeli, berhenti sebuah mobil mewah berwarna hitam. Dari dalamnya keluar seorang pria muda dengan setelan jas mahal namun berwajah ramah.
Dia adalah Barra, seorang CEO muda yang sukses dan dikenal perfeksionis. Biasanya, Barra hanya menikmati hidangan dari restoran bintang lima, namun sore itu, aroma takjil Anne entah mengapa menarik perhatiannya.
"Selamat sore, Tuan," sapa Anne dengan sopan.
Barra tersenyum tipis. "Selamat sore. Takjil apa saja yang kamu jual?" tanyanya, matanya menelisik setiap jenis makanan di meja Anne.
Anne tidak hanya berjualan sendirian, dia juga berjualan bersama dengan ibunya dan hari ini adalah hari kesekian mereka membuka usaha ini saat ramadhan tiba.
Anne menjelaskan semua jajanan yang dijualnya.
"Ada gorengan seperti bakwan, tahu isi, tempe mendoan. Lalu ada es buah segar dengan berbagai macam isian, dan juga kolak pisang hangat, Tuan. Semuanya buatan sendiri," jawab Anne dengan bangga.
“Oh ya? Benar-benar dibikin sendiri ya?”
Anne mengangguk merasa senang dan dihargai karena pria kaya mau mendengar apa yang dia jelaskan. Ia memberi perkiraan bahwa pria yang datang adalah orang yang baik.
Barra sendiri tertarik dengan tampilan bakwan udang yang tampak renyah. "Aku coba satu bakwan udangnya ya," ujarnya.
Anne dengan senang hati mengambilkan satu bakwan udang yang masih hangat dan memberikannya kepada Barra.
Barra menerimanya dengan hati yang senang, baru kali ini ia mencoba untuk makan makanan di pinggir jalan. Ia tertarik karena ramainya penjual saat ramadhan tiba.
Ia menggigitnya perlahan, dan matanya sedikit terbelalak. Rasa gurih udang berpadu dengan renyahnya sayuran dan adonan tepung yang pas, menciptakan sensasi rasa yang tak terduga.
"Enak sekali," komentar Barra jujur, tanpa bisa menyembunyikan keterkejutannya. Ia bahkan meminta satu lagi.
“Jarang lho aku beli jajanan di sekitar sini. Apa kamu sering jualan kalau selain puasa ramadhan ini?” tanya Barra.
“Ibu yang jualan gorengan, Tuan. Kalau takjil memang saat bulan ramadhan saja,” jawab Anne merasa antusias saat berbicara menjelaskan semuanya.
Barra merasa ia tidak hanya tertarik pada jajanan takjilnya, tapi cara gadis penjualnya yang telah memikat hatinya.
Tapi ia tahu bahwa gadis itu meskipun dari kalangan orang biasa tapi pasti memiliki kekasih karena wajahnya yang juga cantik dan menarik.
Sejak saat itu, hampir setiap sore Barra menyempatkan diri untuk membeli takjil buatan Anne. Selalu datang saat hampir adzan maghrib.
Barra sampai ditanya sang sopir kenapa tidak menyuruhnya saja untuk membelikan takjil itu tapi Barra menolaknya karena dia ingin makan di tempat sembari mengobrol dengan gadis penjual takjilnya.
Ia memang akhirnya mencoba semua jenis takjil yang dijual Anne dan selalu terkesan dengan rasanya yang sederhana namun otentik.
Mereka mulai sering berbincang, dan Barra semakin tertarik dengan sosok Anne yang mandiri, pekerja keras, dan memiliki semangat yang tinggi.
**
Suatu hari, Barra membawakan takjil yang dibelinya ke rumah. Di rumahnya ada mamanya dan juga Neneknya, yang dikenal sangat pemilih dalam urusan makanan.
Neneknya pun ikut mencicipi takjil buatan Anne. Awalnya ragu, namun setelah mencoba sesendok kolak pisang, senyum hangat merekah di wajahnya.
"Sudah lama Nenek tidak merasakan kolak pisang seenak ini," ujar Nenek Jessica dengan nada kagum.
"Rasanya seperti buatan almarhum ibuku dulu." katanya.
Meski begitu, mamanya yang tahu ia membawa pulang takjil itu tapi mamanya tak sekalipun ingin mencicipinya. Barra tahu kalau mamanya sedang memiliki masalah sendiri hingga sulit untuk makan secara teratur.
Ada hal yang menggelayuti pikiran mamanya dan itu karena permasalahan keluarga. Papanya dan mamanya kadang bertengkar tapi kali ini keduanya memiliki ego yang sama-sama tinggi.
“Ra, Nenek ingat dulu ada yang hobi sekali membuatkan Nenek makanan seperti ini saat bulan puasa tiba. Tapi dia entah dimana sekarang. Barangkali dia sudah hidup bahagia sekarang,” ujar neneknya.
Sejak saat itu, Nenek Jessica menjadi pelanggan setia Anne. Ia bahkan sering memesan dalam jumlah banyak untuk acara keluarga.
Barra pun semakin sering menghabiskan waktu di dekat stand jualan takjil Anne, bukan hanya untuk membeli, tetapi juga untuk sekadar mengobrol dan menemani Anne berjualan.
Dari sekadar rasa penasaran terhadap takjil pinggir jalan, Barra menemukan kehangatan dalam kesederhanaan dan ketulusan Anne.
**
"Mah, kenapa sih si Barra selalu saja membawa takjil murahan itu ke rumah? Aku capek melihatnya, bosan dan eneg membaui takjil-takjil itu," gerutunya.
Nyonya Jessica, yang merupakan nenek Barra hanya tersenyum dan memberinya ucapan bodoh karena tidak tahu kelezatan takjil yang dibeli cucunya.
"Putramu itu suka dengan takjil yang dijual di pinggiran jalan. Aku mungkin mewarisi hal itu padanya, rasanya enak juga bersih, jadi jangan takut kena penyakit atau sakit perut,"
Wanita cantik yang berusia sekitar empat puluh lima an lebih itu terlihat cemberut karena tidak mendapat dukungan.
"Barra tidak seharusnya memberikan kebiasaan buruk. Mamah harus sehat dan menjauhi setiap makanan yang aneh!" ketusnya.
Nenek Jessica menggelengkan kepalanya, saat melihat anak perempuannya itu terlihat tidak pernah menyukai apa yang disukai Barra.