Setelah mereka keluar dari kamar Prabu, aku mencoba menenangkan putraku yang masih terlihat kesakitan. Air mata yang sejak tadi kutahan, tidak bisa lagi kubendung. Air mata ini mengalir deras, saat melihat putraku yang masih menangis kesakitan. Aku bisa kuat saat Mas Raja menyakiti, tapi aku akan lemah jika anakku ada yang menyakiti.
"Nyonya, aku minta maaf. Tidak bisa menjaga Den Prabu," ucap Baby sister yang masuk ke dalam kamar dengan wajah takut. "Nona Viora memaksaku untuk menyerahkan Den Prabu padanya, dan Tuan Raja mengizinkannya," tambah baby sister Mira dengan suara bergetar.
Kuhapus air mataku di kedua pipi dengan tangan yang gemetar. "Sus Mira, tidak salah. Aku tidak akan menyalahkanmu," kataku sembari menghapus air mata ini dengan hati yang masih sakit.
"Nyonya, aku mempunyai rekaman saat Nona Viora mencubit Den Prabu. Aku sengaja merekamnya, karena takut Nyonya Kanaya akan menyalahkan aku, ini bisa menjadi bukti," ucap suster Mira dengan suara yang hati-hati.
Baby sister Prabu memberikan ponselnya kepadaku. Aku melihat video Viora saat mencubit Prabu yang saat itu terlihat sedang tidur. Bukan karena menangis terus, tapi karena sengaja Viora ingin menyakiti putraku. "Kurang ajar, Viora sudah sangat keterlaluan," umpatku dengan emosiku yang sudah tidak terkendali.
"Suster Mira, tolong kirimkan rekaman video itu," perintahku dengan nada yang tegas.
"Baik, Nyonya." Tidak lama suara ponselku berbunyi menandakan pesan dari Mira masuk ke dalam ponselku berisi video rekaman itu.
"Suster Mira, tolong titip Prabu." Anakku yang sudah tidak menangis lagi, kuberikan ke Suster Mira. Aku harus memberi pelajaran ke dua orang pengkhianat itu.
Aku melangkah dengan napas memburu, emosiku sudah meledak. d**a ini semakin memanas, aku turun ke lantai bawah. Dan, mendengar suara manja, tertawa milik Viora. Aku melirik ke arah kolam renang, mereka sedang berenang bersama saling berpelukan dan bercanda ria.
Aku berdiri di tepi kolam renang, menatap dua manusia kejam yang tidak memiliki hati nurani. Mereka berdua melihatku, tapi yang tidak aku sangka di dalam kolam renang mereka sengaja berciuman mesra di depanku. Hati ini rasanya sudah kebas, aku tidak cemburu melihat mereka justru sebaliknya sangat jijik.
"Mas Raja, mari kita Bercerai," kataku dengan lantang dan tegas. Dan, sontak saja menghentikan aktifitas yang tidak seharusnya mereka lakukan. Mas Raja melepaskan pangutan bibir Viora, walau wanita itu seakan tidak rela melepaskannya. Mas Raja menatapku dengan pandangan terkejut dan seakan tidak percaya.
"Sayang, kita belum selesai," Rajuk Viora masih merangkul leher kokoh suamiku, hendak mencium kembali bibir suamiku. Tapi, Mas Raja membuang muka menghindari Viora, memilih menatapku dengan pandangan sulit aku artikan. Seharusnya, dia bahagia. Aku akan melepaskan dia, dan bisa bersama selamanya dengan cinta pertamanya.
"Mari kita Bercerai." Sekali lagi aku ulangi perkataanku, siapa tahu dia tidak mendengar dengan jelas suaraku karena terlalu asik bermesraan. Viora menatapku dengan wajah terlihat terkejut dan bahagia, matanya berbinar-binar.
"Kanaya, serius kamu ingin menceraikan Raja?" tanya Viora dengan suara yang penuh harapan.
"Iya, kalian bisa menikah secepatnya agar tidak menambah dosa," balasku tegas, tanpa ragu-ragu.
Mas Raja terlihat bungkam, ekspresi wajahnya seakan bingung bereaksi. Viora, begitu bahagia, dia memeluk Mas Raja dengan erat. "Hore, akhirnya kita bisa menikah secepatnya, sayang," ucap Viora dengan suara yang penuh kebahagiaan.
Aku sudah mengungkapkan keinginanku, jadi sudah tidak ada lagi yang aku bicarakan dengan mereka. Biarkan mereka merayakan kebahagiaannya, karena mereka akhirnya bersatu. Aku memilih berbalik badan meninggalkan mereka, tapi langkahku terhenti ketika Mas Raja berteriak.
"Aku tidak setuju bercerai!" teriak Mas Raja, suaranya keras dan penuh emosi. "Kalau kamu ingin bercerai, jangan bawa Prabu pergi. Dia putraku!" tambahnya.
Perasaan marah yang tadi sudah mereda, kembali membuat hati ini panas. Aku berbalik badan, dengan tangan mengepal kuat.
"Sayang, kenapa kamu tidak mau bercerai. Jangan-jangan kamu sudah mulai menyukai Kanaya," kata Viora dengan suara yang penuh kecemburuan.
Mas Raja melepaskan pinggang ramping Viora, wanita itu terkejut karena diacuhkan. Mas Raja keluar dari dalam kolam renang, tubuhnya yang gagah dan perutnya yang sixpack karena hanya memakai celana renang saja, membuatku membuang pandangan kearah lain. Aku tidak akan terpengaruh oleh penampilan fisiknya. Aku sudah membuat keputusan, dan aku tidak akan mundur.
"Kamu tidak boleh membawa Prabu!" tegasnya, pandangannya tajam membuatku merasa terpojok. Aku merasa ada ketakutan di balik mata itu, ketakutan kehilangan sesuatu yang berharga.
Pandangan Mas Raja memohon, seolah-olah dia berharap aku bisa memahami posisinya. Tapi, aku tidak bisa memaafkan. "Tidak ada tawar-menawar, Mas," kataku dengan suara tegas. "Aku akan membawa Prabu pergi, dan kamu bisa menikah dengan Viora."
Mas Raja menatapku dengan kesedihan yang mendalam, aku bisa merasakan kekecewaan di balik pandangannya. Viora keluar dari kolam renang, dia kembali bergelayut mesra di lengan suamiku, tapi Mas Raja menepis tangan Viora dengan kasar, membuat gadis itu terkejut.
"Raja, kamu kenapa? Kanaya sudah setuju bercerai, seharusnya kamu bahagia kita akan bersatu tidak ada penghalang lagi," protes Viora dengan nada kesal.
"Mas, apa yang dikatakan Viora benar. Kalian bisa menikah, dan memiliki anak kalian sendiri. Aku akan membawa Prabu bersamaku," kataku dengan suara yang tegas.
"Tidak!" bentaknya Mas Raja dengan keras, membuatku terkejut. "Kalau kamu ingin bercerai, jangan bawa Prabu."
Aku semakin emosi mendengar permintaannya. "Kamu memang egois, Mas. Kamu ingin Viora mengasuh Prabu, itu tidak akan terjadi. Aku tidak mau putraku kembali disakiti Viora," tegasku dengan nada yang tinggi.
"Kanaya, aku tidak pernah menyakiti Prabu, jangan fitnah," elak Viora lagi.
Aku berdecih memandangnya dengan jijik. "Cih, kamu bilang tidak menyakiti putraku. Lalu, ini video apa!"
Aku membuka ponselku dan memperlihatkan rekaman saat Viora mencubit Prabu di depan Mas Raja dan juga Viora. Sontak Mas Raja melihat ke arah Viora dengan murka. "Jadi, kamu beneran menyakiti putraku!" bentak Mas Raja, membuat Viora berjingkat ketakutan dan ekspresinya menjadi gugup.
"Raja, rekaman itu bohong. Aku hanya gemas, Prabu lucu sekali. Jadi, tanpa sengaja aku mencubitnya. Tapi, tidak keras, kok," ucap Viora mencari alasan.
"Viora, kupikir kamu beneran menyayangi Prabu. Ternyata dugaanku salah, sebaiknya sekarang kamu pulang. Aku akan menyelesaikan urusanku dengan Kanaya," usir Mas Raja dengan tegas.
"Tapi, Raja. Aku beneran menyayangi Prabu seperti anakku sendiri," ucapnya masih membela diri.
Aku sudah muak melihat Viora selalu merasa menjadi korban. Aku segera meninggalkan mereka yang sedang berdebat, karena bukan urusanku lagi.
"Kanaya, kita bicarakan ini lagi," teriak Mas Raja, semakin membuatku tidak mengerti. Kenapa dia seolah menolak bercerai?
Kuhiraukan permintaan Mas Raja, aku kembali ke dalam kamar Prabu. Aku harus bersiap-siap pergi dari rumah ini membawa putraku. Suster Mira sedang menjaga Prabu yang sudah terlelap tidur di box bayinya.
"Suster Mira, terima kasih sudah menjaga putraku, walau kamu belum lama disini. Tapi, aku sangat menyukai kerja kamu menjaga Prabu," kataku dengan tulus.
"Itu sudah menjadi tugasku menjaga Den Prabu," balas Suster Mira.
Aku menghela napas panjang, merasa berat hati untuk mengungkapkan keputusanku. "Suster Mira, sebenarnya ada yang ingin aku katakan. Aku dan Mas Raja akan bercerai, dan mungkin aku tidak bisa memakai jasa suster Mira, karena aku akan membawa Prabu pergi jauh," ungkapku.
Suster Mira awalnya terkejut, tapi tidak lama dia tersenyum mengangguk mengerti. "Tidak apa-apa, Nyonya Kanaya. Aku mengerti keadaan rumah tangga nyonya Kanaya dan juga Tuan Raja. Nanti, seandainya Nyonya Kanaya membutuhkan jasaku untuk menjaga Den Prabu, jangan sungkan untuk menghubungiku," balas Suster Mira dengan penuh pengertian.
"Terima kasih, Sus. Semoga setelah ini kamu mendapatkan lagi bos yang lebih baik," kataku mendoakan Suster Mira.
"Aamiin, terima kasih doanya Nyonya Kanaya. Semoga masalah rumah tangga Nyonya Kanaya dan Tuan Raja berakhir tanpa ada yang tersakiti lagi," ucapnya dengan tulus.
"Terima kasih doanya juga," kataku, merasa sedikit lega.
"Suster Mira, sekarang boleh istirahat," kataku, memberi isyarat agar Suster Mira bisa beristirahat.
"Baik, Nyonya," balas Suster Mira, sebelum keluar dari kamar Prabu.
Tiba-tiba pintu kamar dibuka dengan keras, aku sudah tidak lagi terkejut. Mas Raja langsung berjalan menghampiriku, yang sedang duduk di tepi ranjang. "Kanaya, aku tidak akan menceraikan kamu!" bentaknya.