"Mas, bukankah ini yang kamu mau? Aku pergi selama-lamanya dari kehidupan kamu, agar kalian bisa bersatu," kataku menatap mata Mas Raja dengan tatapan tajam dan penuh emosi.
"Memang aku ingin kamu pergi, tapi tidak seperti ini," jawabnya dengan suara yang tidak pasti, seolah-olah dia ragu-ragu dengan ucapannya.
"Maksud kamu aku harus menunggu sampai aku hancur secara mental? Baru kamu mau melepaskanku?" Nada suaraku penuh kemarahan.
Tatapan Mas Raja berubah menjadi sendu, aku semakin bingung dengan perubahan sikapnya yang tiba-tiba. Apakah dia khawatir aku akan meminta bagian harta bersama jika kami bercerai?
"Kalau kamu meminta cerai sekarang, Papa pasti akan mencoret namaku dari daftar ahli waris," ucapnya dengan nada yang terdengar ragu-ragu.
"Mas, jangan khawatir," kataku dengan suara yang tenang. "Aku akan berbicara dengan Papa dan menjelaskan situasinya. Aku tidak akan meminta harta atau apa pun dari perceraian ini. Aku hanya ingin hak asuh Prabu sepenuhnya. Kamu bisa menikah dengan Viora dan memiliki anak bersama, seperti yang kalian inginkan," kataku dengan tegas dan jelas.
"Kanaya, bukan itu maksudku. Pokoknya kamu tidak boleh meminta cerai sekarang!" tegasnya, suaranya yang keras membuatku merasa terintimidasi.
Aku berdiri, posisi kami saling berhadapan, membuatku bisa melihat langsung ke dalam matanya yang penuh dengan emosi. Kulihat jakunnya naik turun saat dia menelan ludah, tanda bahwa dia sedang menahan amarahnya.
"Kamu pria paling egois," kataku dengan nada yang penuh dengan kemarahan. "Menyesal aku pernah mencintai kamu, Mas! Aku sudah tidak peduli lagi apa yang kamu lakukan dengan Viora."
Aku menatapnya dengan pandangan yang tajam, mencoba membuatnya mengerti kalau aku sudah tidak memiliki perasaan apa pun terhadapnya, kecuali rasa jijik dan marah.
"Kanaya, kenapa kamu keras kepala?" katanya dengan nada memohon. "Kalau kamu cemburu dengan Viora, aku akan bilang padanya untuk tidak datang lagi ke rumah ini."
Tapi aku tidak percaya. "Baru saja kamu bermesraan dengan Viora tanpa rasa malu," kataku dengan nada marah.
"Sekarang kamu berubah pikiran? Kamu pikir aku tidak tahu rencana kamu untuk menyiksaku terus menerus?"
Mas Raja mencoba memegang pundakku, tapi aku menepisnya. "Lepas!" teriakku. Aku jijik disentuh tangannya yang sudah menyentuh Viora.
Wajah Mas Raja terlihat memohon, tapi aku tidak mengerti apa yang terjadi padanya. "Aku tidak akan melepaskan kamu sebelum kamu berjanji tidak akan meminta cerai," katanya tegas. Perubahan sikapnya membuatku semakin penasaran.
Aku memandang wajahnya, mencari ketulusan di matanya. Apa dia serius ingin mempertahankan rumah tangga kami? Tapi, kenangan Mas Raja dan Viora baru saja saling berciuman di kolam renang terus menghantuiku. Aku menggelengkan kepala, mencoba menghilangkan gambaran itu. Mana mungkin Mas Raja berubah secepat itu, kalau bukan memiliki rencana tersembunyi?
"Mas, sudahlah jangan mempersulit," kataku seraya menghela napas berat. Rasanya lelah sekali selama satu tahun aku harus merasakan siksaan fisik dan mental. "Aku tidak mau tertipu lagi dengan kalian."
Tapi, sebelum menghindar, salah satu tangannya memegang belakang teguk leherku. Aku berusaha menghindar, tapi pegangannya kuat. Mas Raja mencondongkan wajahnya, lalu dengan lembut memanggut bibirku. Sontak saja bola mataku terbelalak, selama setahun menikah baru sekarang dia melakukannya dengan sangat lembut.
Aku seperti tersengat listrik, tidak percaya dengan perubahan sikapnya yang tiba-tiba menjadi lembut. Apakah ini hanya akting untuk membuatku percaya padanya? Aku mencoba membaca ekspresi wajahnya, tapi dia terlihat sangat serius. Apakah dia benar-benar ingin mempertahankan rumah tangga kami, atau hanya ingin mempermainkanku lagi?
Beberapa saat tanpa sadar aku menikmati ciumannya, tapi bayangan bibirnya yang bekas mencium Viora membuatku merasa jijik. Aku mendorong d**a bidangnya yang masih bertelanjang d**a karena dia belum berganti baju setelah berenang. Kuhapus bibirku dengan kasar, rasanya seperti ingin menghilangkan jejak ciumannya.
Mas Raja tersentak karena aku menolaknya, wajahnya terlihat kecewa. "Lebih baik kamu keluar, Mas," kataku dengan nada yang tegas, sambil membuang pandanganku ke arah lain. Aku tidak mau luluh dengan wajahnya yang berubah seolah sudah menjadi suami yang baik.
"Ok, mungkin kamu butuh waktu untuk berpikir," ucapnya. "Tapi, ingat jangan berpikiran untuk bercerai," tambahnya, membuatku merasa seperti diancam. Aku tidak menjawab, hanya menatap ke arah lain, mencoba menenangkan diri dari kemarahan dan jijik yang di dalam hati.
Mas Raja keluar dari kamar, setelah dia menutup pintu dengan keras. Aku menghubungi Chery, tidak menunggu lama suara ceria Chery terdengar dari sambungan telepon.
"Hallo, Kak Kanaya," sahutnya dengan nada yang riang.
Aku menghela napas, merasa lelah dan putus asa. "Chery, aku mau menyerah," kataku dengan suara yang lemah.
"Maksud Kak Kanaya, ingin berpisah dengan Kak Raja?" tanya Chery dengan nada yang lebih serius.
Aku terdiam sejenak, mempertimbangkan pertanyaan Chery. Apakah aku benar-benar ingin berpisah dengan Mas Raja? Ataukah aku hanya ingin melarikan diri dari semua masalah yang ada? Aku tidak tahu, yang jelas aku merasa tidak sanggup lagi untuk melanjutkan hubungan ini.
"Iya, Chery. Aku melihat Mas Raja dan Viora saling berciuman, aku sudah tidak tahan lagi. Viora juga telah melukai Prabu, tapi Mas Raja lebih percaya dengan Viora," ungkapku dengan suara yang berat, sambil menatap ke luar jendela.
Aku membuka pintu balkon, angin berhembus lembut memainkan rambutku. Angin itu membawa aroma bunga yang harum, tapi tidak bisa menghilangkan kesedihan yang ada di dalam hati.
"Apa! Kurang ajar, Viora sudah berani melukai keponakanku yang paling ganteng. Tidak bisa dibiarkan!" kata Chery dengan suara yang sangat marah.
Aku tersenyum kecil mendengar reaksi Chery. "Chery, sampaikan ke Papa Damian. Aku menyerah, semoga papa mau mengerti," kataku dengan suara yang lemah.
"Kak, sejujurnya aku tidak mau kalian
berpisah. Tapi, melihat Kak Raja sudah sangat keterlaluan menyakiti Kak Kanaya, aku setuju dan papa juga pasti setuju," kata Chery dengan nada yang lebih lembut.
Aku menghela napas, merasa sedikit lebih tenang. "Terima kasih, Chery."
"Sama-sama, Kak. Lalu, apa rencana kakak setelah ini?" tanya Chery dengan nada yang ingin tahu.
Aku terdiam sejenak, karena aku belum memikirkan rencana setelah berpisah. Mungkin aku akan bekerja atau memulai usaha, aku suka membuat kue.
"Belum ada rencana, tapi mungkin aku akan melamar kerja di perusahaan lain atau membuka usaha kue," kataku.
"Jangan khawatir tentang Prabu, Kak. Prabu akan tetap menjadi pewaris tahta keluarga Kawandra," kata Chery dengan nada meyakinkan.
Aku mengangguk, meskipun Chery tidak bisa melihatku. "Aku tahu, tapi aku tidak ingin Prabu bersama Viora jika kelak Mas Raja menikahinya," kataku dengan nada tegas.
"Aku setuju, Kak. Kalau Kak Kanaya sudah menemukan kehidupan baru, aku akan sering datang menemui Prabu," kata Chery dengan suara ceria.
"Terima kasih, Chery. Kamu selalu mendukungku," kataku dengan suara yang tulus. "Tapi, aku heran, saat aku mengajukan perceraian, Mas Raja tidak mau bercerai."
"Apa? Kenapa Mas Raja tidak mau bercerai? Bukankah itu yang dia inginkan?" tanya Chery dengan nada bingung.
Aku menghela napas. "Aku juga tidak tahu, mungkin dia punya rencana lain?" kataku dengan suara yang penuh pertanyaan.
"Kak Raja mungkin sudah mulai jatuh cinta sama kakak, jadi saat kakak meminta cerai dia menolak karena takut kehilangan kakak," ucap Chery menduga-duga perasaan Mas Raja.
"Mana mungkin itu terjadi," kataku dengan nada skeptis. "Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri saat dia mencium Viora, tatapan matanya penuh cinta."
Terdengar helaan napas Chery dari sambungan telepon. "Kak Kanaya benar, mereka sudah berpacaran lama. Tapi, siapa tahu selama setahun ada benih cinta tumbuh di hati Kak Raja," kata Chery dengan nada yang bijak. "Kalian setiap hari selalu bersama, tidak menutup kemungkinan tanpa Kak Raja sadari sudah mulai memiliki perasaan suka ke kakak," tambahnya, membuatku merasa sedikit bingung.
"Itu sudah bukan urusanku lagi," kataku dengan nada yang tegas, mencoba menutup topik pembicaraan itu.
"Kak Kanaya, aku punya ide brilian," kata Chery dengan suara yang bersemangat. "Kita tes Kak Raja, apakah dia akan kehilangan kakak saat kakak pergi meninggalkannya," ucap Chery memberi ide yang membuatku merasa ragu-ragu.
Aku terdiam sejenak, mempertimbangkan ide Chery. Apakah itu ide yang baik, tapi yang jelas aku sedikit penasaran dengan reaksi Mas Raja jika aku benar-benar pergi meninggalkannya.