Melihat wajah Saras di depannya, Helena berusaha untuk tersenyum manis dan menyembunyikan perasaan kesal yang sedang menggelayutinya.
"Helena, kenapa kamu ada di depan kamar Jingga? Ini sudah malam, seharusnya kamu istirahat. Atau kamu ada perlu?" Saras mengulangi pertanyaannya.
Helena menatap Saras, lalu menjawab, "Oh, iya. Aku tadi mencari Mas Langit karena malam ini seharusnya giliran aku tidur bersamanya. Tapi ternyata dia ada di sini bersama Jingga."
Helena berusaha menyembunyikan rasa kecewanya, tetapi ia merasa ingin menangis. Rasanya ia tidak rela harus terus berbagi suami dengan perempuan lain, meski itu adalah istri pertama Langit.
Saras mengangguk paham dan berkata, "Ya sudahlah, kalau memang malam ini Langit tidak bisa tidur bersama kamu, 'kan masih ada hari esok. Lagi pula, Jingga itu juga istrinya, istri pertama Langit. Kamu tidak masalah, 'kan?" Saras berbicara dengan nada yang tenang, namun rasanya begitu menyakitkan bagi Helena.
"Dasar nenek peot, terus saja mendukung Jingga," umpat Helena di dalam hatinya.
Dia menarik napas dalam-dalam, meresapi setiap kata yang diucapkan Saras. Namun tetap saja, ia merasa tak terima dengan takdirnya ini.
"Iya, Oma, aku tidak masalah. Kalau begitu, aku ke kamar dulu ya. Selamat istirahat, Oma," ucap Helena sambil berlalu pergi.
Saras menonton Helena yang pergi dengan tatapan sayu. Lalu, dalam hati ia bergumam, "Maafkan Oma, Helena. Jika bukan karena kelicikanmu, Oma tidak akan sampai melakukan hal ini."
Beberapa jam yang lalu, Saras tidak sengaja mendengar percakapan Helena dan Magdalena yang merencanakan sesuatu agar langit malam ini masuk ke dalam jebakannya. Saat makan malam berlangsung, ia melihat Helena menuju ke dapur dan tanpa sepengetahuannya Saras mengikuti wanita itu, penasaran dengan apa yang hendak dilakukannya. Ternyata, Helena memasukkan serbuk ke dalam minuman untuk Langit. Di saat itu juga, Saras mendapatkan ide dengan membuatkan dua gelas s**u dan salah satunya ia berikan obat yang sama, lalu diberikannya kepada Jingga. Saras juga lah yang menghubungi Langit saat cucunya itu berada di kamar Helena. Dia mengatakan padanya bahwa Jingga tampak murung dan meminta Langit menemaninya sebentar, rencana itu ternyata berhasil.
Bukan niat jahat yang mendorongnya untuk melakukan hal ini, wanita tua itu hanya tidak menyukai cara Helena yang licik. Memang Langit adalah suaminya juga, sudah seharusnya Helena mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari suaminya sendiri, namun pernikahan yang terjadi antara Langit dan Helena sangat mendadak, sehingga wajar saja jika Langit masih mencoba menyesuaikan dirinya. Biarlah semua berjalan semestinya, akankah Langit membuka hatinya untuk Helena sementara ia begitu mencinta Jingga? Hanya waktu yang akan menjawabnya.
Sementara itu, Jingga dan Langit yang baru saja menuntaskan adegan romantis di atas ranjang, kini merasa sangat lega. Keduanya tampak saling bertatapan dengan napas terengah-engah.
Langit lalu mendekati wajah Jingga dan mencium keningnya dengan lembut. "Aku mencintaimu, Sayang," ucapnya.
"Aku juga mencintai kamu, Mas," balas Jingga.
"Tidak akan ada yang bisa menggantikan posisi kamu di hatiku, Jingga," batin Langit.
Keduanya pun saling berpelukan erat tanpa sehelai benang pun, hanya menutup tubuh dengan selimut dan sama-sama terlelap karena kelelahan. Langit bahkan lupa jika malam ini adalah gilirannya tidur bersama Helena, karena ia begitu bahagia bersama dengan istri yang sangat dicintainya itu.
***
Pagi menyingsing dengan begitu cepat, sinar mentari masuk dari celah-celah jendela dan menerpa wajah cantik Jingga sehingga membuatnya pun terbangun. Saat melirik jam dinding, waktu sudah menunjukkan pukul 06.30 WIB.
"Pagi, Sayang," ucap Langit yang baru saja selesai mandi dan mengenakan pakaiannya.
"Pagi, Sayang," balas Jingga. "Mas, kenapa kamu nggak membangunkan aku?"
Dalam hatinya, ia merasa terharu dengan perhatian suaminya yang masih mencintainya meskipun telah menikah lagi. Walaupun Jingga merasa ada ketidakpastian yang mengganggunya, namun saat ini bersama Langit, rasa bahagianya yang begitu meluap tak bisa terbendung. Terlebih saat ini adalah detik-detik hangat mereka sebagai pasangan yang saling mencintai, Jingga memutuskan untuk menikmati setiap momen itu dengan sepenuh hati.
"Untuk apa? Lagi pula, aku lihat kamu kelelahan, jadi aku membiarkan kamu istirahat dulu," ujar Langit sambil tersenyum pada Jingga.
Namun, tiba-tiba saja wajah Jingga tampak murung, membuat Langit merasa khawatir.
"Sayang, kamu kenapa?" tanya Langit dengan perasaan cemas.
"Mas, aku merasa bersalah terhadap Helena. Bukannya tadi malam seharusnya kamu tidur bersama dia, tapi kamu malah tidur di sini," ungkap Jingga dengan perasaan yang sulit diungkapkan.
"Ya, aku tahu itu, Sayang. Tapi aku juga tidak tidur dengan wanita lain, 'kan? Aku tidur bersama kamu, istriku juga. Nanti aku akan menemui Helena dan meminta maaf," jawab Langit sambil merasa bersalah juga.
Jingga mengangguk. "Iya, Mas. Kamu harus langsung temui dia, ya? Aku benar-benar nggak enak. Bagaimanapun juga, dia juga istri kamu, Mas."
"Iya, Sayang. Baiklah, aku akan temui dia sekarang," ujar Langit yang kini sudah selesai memakai pakaiannya.
Setelah Langit keluar dari kamar, barulah Jingga beranjak dari tempat tidurnya dan bergegas menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Namun, ketika Langit sudah tiba di kamar Helena, ternyata wanita itu sudah tidak ada di sana. Sehingga ia pun bergegas menuju ke ruang makan dan melihat istri keduanya itu sedang membantu Ina menata sarapan di atas meja.
"Pagi, Mas langit. Kamu sudah bangun? Jingga mana?" sapa Helena dengan ramah, seolah tak terjadi apa-apa tadi malam, dia menganggap semua baik-baik saja.
"Pagi, Jingga masih ada di kamarnya. Tadi aku ke kamar kamu, ternyata kamu ada di sini," kata Langit.
"Kamu ke kamar aku? Ada apa, Mas?" tanya Helena penasaran.
Langit melihat ke sekitarnya, sementara Ina berjalan menuju dapur, ia segera mendekati Helena.
"Aku minta maaf soal tadi malam. Aku-"
"Sudahlah, Mas. Kamu nggak perlu membahas soal itu. Aku dan Jingga sama saja 'kan? Sama-sama istri kamu. Tapi bedanya, dia istri pertama kamu yang kamu cintai. Sementara aku hadir hanya karena sesuatu. Jadi, aku sadar diri."
Ucapan Helena menusuk hati Langit. Langit merasa hatinya terenyuh, ia tahu betul betapa sakitnya menjadi Helena.
"Apakah aku benar-benar egois? Namun, apa yang harus aku lakukan sekarang?" batinnya.
Sementara itu, Helena merasa semakin mantap dalam keyakinannya. "Semoga dengan sikapku ini, kamu sadar, Mas, kalau kamu sudah benar-benar menyakiti hatiku. Aku juga istrimu yang butuh kasih sayang dan perhatian dari kamu, bukan hanya Jingga. Dan kamu, Jingga, lihat saja. Aku pasti akan membuat Mas Langit menjadi milikku seutuhnya dan menyingkirkan kamu," gumamnya dalam hati.
*
Tak lama kemudian, Jingga menyusul ke ruang makan dan sesaat itu terlihat semuanya sudah berada di sana.
Magdalena, begitu melihat istri pertama anaknya muncul, langsung menyindir dengan nada sinis, "Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga! Kita semua sudah lapar, kenapa sih kamu lama sekali turunnya?"
Langit terkejut, tak menyangka ibunya malah bersikap begitu. "Ma, kenapa Mama berbicara seperti itu? Biasanya kita juga sarapan jam segini 'kan?" Dia berusaha membela istrinya.
"Aku minta maaf."
Jingga ingin menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, tapi Magdalena menyela, "Sudahlah, tidak usah banyak alasan. Cepat duduk dan sarapan! Kamu mau membuat semua orang kelaparan di sini karena kamu?"
Terasa berat hati ini, namun Saras bersuara, membela Jingga. "Cukup, Lena! Kamu selalu saja membuat masalah. Hanya karena seperti ini, kamu jadi berlebihan," tegasnya.
"Kenapa sih? Bukan Langit saja, Mama juga selalu membela Jingga. Padahal jelas dia ini bersalah. Mama juga, kenapa tidak membiarkan kami sarapan dari tadi? Kenapa harus menunggu dia yang datangnya lama seperti ini?" bantah Magdalena dengan wajah tak terima.
Di balik semua ini, Helena yang melihat keluarga itu berdebat, merasa sangat senang dalam hati.
"Bagus, teruskan saja berdebat dan salahkan Jingga, Ma. Biar dia tahu bagaimana rasanya jadi aku yang tidak dihargai," batin Helena, berharap semua ini akan memberikan efek negatif bagi Jingga.
Bersambung …