Tak tahan dengan perdebatan yang kerap kali terjadi di ruang makan, Langit pun merasa perlu untuk angkat bicara.
"Cukup, Ma! Stop menyalahkan Jingga seperti itu," teriaknya hampir tanpa sadar. "Kenapa sikap Mama terhadap Jingga tiba-tiba berubah? Padahal dulu Mama sangat menyayangi dia. Tapi sekarang, setiap hal Mama jadikan masalah dan masalah kecil Mama besar-besarkan. Apa salah Jingga, Ma?" Langit berbicara dengan nada tinggi, menunjukkan rasa frustrasi.
Jingga merasa terkejut. "Mas, kamu jangan bicara seperti itu sama Mama," kata Jingga, merasa tak enak.
"Biarkan saja, Jingga. Aku benar-benar tidak tahan melihat kamu terus saja disalahkan mama, padahal kamu sudah berusaha untuk bersikap baik. Kamu sama sekali tidak pernah menyakiti mama, tapi mama terang-terangan menampakkan rasa tidak sukanya," ujarnya berapi-api.
"Jingga, apa yang Langit katakan itu benar. Biarkan saja Langit berbicara, ini juga demi kebaikan di rumah ini," timpal Saras, sehingga Jingga pun terdiam, mungkin menyadari bahwa ada benarnya dalam apa yang suami dan neneknya katakan.
Di sisi lain, Magdalena menatap tajam ke arah Langit, lalu berkata dengan nada penuh emosi, "Apa maksud kamu berbicara seperti itu kepada Mama? Mama ini ibu kamu, Langit! Mama yang sudah melahirkan dan merawat kamu. Tega sekali ya, kamu membentak Mama hanya karena membela istri kamu yang tidak berguna ini!"
Langit merasa jantungnya berdebar kencang. Ia tahu Magdalena marah karena merasa tak terima, tapi apa yang diucapkannya jelas salah.
"Tidak berguna, apa maksud Mama? Sudah tiga tahun Jingga menjadi istriku, dia sudah melakukan kewajibannya sebagai seorang istri, berbakti sebagai menantu dan juga cucu di rumah ini. Dia selalu melakukan yang terbaik. Jangan karena Jingga belum bisa memberikan keturunan, lalu Mama seenaknya menyalahkan dan menghina istriku seperti itu. Aku tidak terima, Ma! Itu sama saja Mama sudah menghina dan menyakiti aku." Kemudian, Langit menarik tangan Jingga dan keduanya pun beranjak dari tempat duduk.
Melihat hal itu, membuat Magdalena berteriak, "Mau ke mana kalian? Jangan tidak sopan seperti itu!"
"Bukan urusan Mama," sahut Langit tegas, lalu menggandeng istrinya untuk pergi dari sana.
Di saat itu, Langit menyadari betapa pentingnya untuk melindungi orang yang dicintainya, terlebih Jingga yang selama ini selalu berusaha menjaga perasaannya dan keluarga. Dalam hati Langit berjanji, apapun yang terjadi, ia harus berada di sisi istrinya dan melawan ketidakadilan yang terjadi di rumah ini.
Jingga merasa bingung dan tidak tahu harus bagaimana. Namun, wanita itu menyadari bahwa Langit melakukan segala tindakannya demi membelanya dari perlakuan Magdalena yang buruk, sehingga ia hanya mengikuti suaminya itu saja.
"Lihat! Ini semua karena ulahmu, Lena! Kalau saja kamu bisa menjaga sikap, pasti suasana rumah ini tidak akan seperti ini," tukas Saras.
"Ya sudah, silakan Mama pergi saja ikut Langit dan Jingga. Aku bisa kok sarapan di sini bersama Helena." Magdalena yang tidak terima dengan ucapan Saras, langsung membalas. "Memangnya hanya Jingga saja istrinya? Helena ini juga istrinya."
Suasana semakin memanas, namun Saras hanya menggelengkan kepala dan segera meninggalkan tempat itu.
Helena, yang sempat merasa senang karena didukung oleh Magdalena, kini berubah menjadi sedih dan sakit hati. Bagaimana tidak? Langit selalu membela Jingga tanpa pernah memikirkan perasaannya. Dalam keheningan, air mata Helena mulai berlinang.
Melihat wajah murung menantunya, Magdalena pun mencoba menenangkannya dengan mengelus punggung Helena sambil berbisik, "Sabar, Sayang. Semua pasti akan baik-baik saja."
Namun, pertanyaan yang tak kunjung terjawab dalam hati Helena, akankah perasaannya pernah didengar dan dipertimbangkan oleh Langit, suami yang seharusnya mencintainya juga?
"Semua ini karena Jingga. Pasti dia yang sudah mempengaruhi Langit sampai Langit melawan Mama seperti itu dan tidak menganggap kamu," lanjut Magdalena dengan emosi.
"Aku capek, Ma. Apa lebih baik aku menyerah saja? Bukankah tujuan utama pernikahanku dengan Mas Langit untuk memiliki keturunan? Tapi, dia sama sekali tidak pernah menyentuhku. Apakah aku tidak cukup baik dan menarik untuknya?" keluh Helena.
Magdalena merasa terkejut. "Kamu jangan berpikir yang bukan-bukan, Helena. Mama pastikan, nanti malam Langit akan tidur bersama kamu dan menyentuh kamu. Karena kalau tidak, Mama akan meminta dia untuk segera berpisah dengan Jingga," tegasnya, yang membuat Helena sedikit tenang.
Mereka berdua pun kembali menikmati sarapan, meski dalam hati masih menyimpan rasa khawatir yang tak bisa dijelaskan.
***
Setelah sarapan bersama di luar, Langit mengantar Jingga pulang ke rumah atas permintaan istrinya itu, meskipun ia sudah mengajaknya untuk ikut ke rumah sakit. Helena yang melihat kepulangan Jingga, tak mampu menutupi rasa kecewanya. Wajah murungnya terlihat jelas saat ia menatap Jingga dengan sedih.
"Jingga, aku mau bicara sama kamu sebentar di kamarku, bisa?" kata Helena.
"Iya," jawab Jingga, lalu mengikuti Helena hingga tiba di kamarnya. Dalam hati Jingga, dia merasa tidak tenang dan ingin segera tahu apa yang ingin dibicarakan oleh Helena.
Begitu tiba di kamarnya, Helena langsung mengungkapkan perasaannya, "Jingga, aku minta maaf kalau memang kehadiranku di sini sudah membuat masalah, salah satunya membuat sikap mama terhadap kamu jadi berubah. Tapi aku juga nggak tahu kenapa itu bisa terjadi dan aku juga nggak menginginkan hal itu."
Sejenak, Helena terdiam dan melanjutkan kalimatnya dengan suara yang bergetar, "Tapi satu hal yang aku mau tahu. Mas Langit sama sekali nggak pernah bisa menerima kehadiranku di sini. Lalu, untuk apa aku menikah dengan Mas Langit, Jingga?" Helena terlihat putus asa.
Melihat keputusasaan Helena, Jingga merasa iba dan menjawab dengan penuh pengertian, "Atas perubahan sikap mama, aku sama sekali nggak pernah menyalahkan kamu, Helena. Wajar kalau mama membenci aku, karena aku memang nggak bisa memberikan apa yang keluarga ini inginkan. Dan untuk urusan Mas Langit, aku juga minta maaf. Aku nggak tahu harus berbuat apa, karena aku sudah berkali-kali meminta Mas Langit untuk bersikap adil kepada istri-istrinya."
Di dalam hati Jingga, dia merasa kehadiran Helena memang menimbulkan perubahan besar dalam keluarga ini. Namun, dia tidak bisa menyalahkan Helena karena tahu memang bukan kesalahan madunya itu, justru dialah yang memulainya.
"Tapi, nyatanya Mas Langit nggak pernah adil." keluh Helena dengan sedikit kesal. "Tadi malam, seharusnya giliran aku tidur bersamanya, tapi Mas Langit malah pergi ke kamar kamu dan kalian berdua melakukan hubungan suami istri. Padahal aku sudah menunggu Mas Langit di dalam kamar."
Mendengar ucapan itu membuat Jingga merasa terkejut dan merasa bersalah. "Aku benar-benar minta maaf, Helena. Aku nggak bermaksud untuk menyakiti hati kamu," ucapnya dengan mata berkaca-kaca. "Aku tahu aku salah dan aku ingin memperbaiki semuanya. Jadi, apa yang harus aku lakukan sekarang?"
Helena terdiam sejenak sebelum menjawab, "Kamu hanya perlu meminta Mas Langit untuk memberi perhatian padaku dan menyentuh aku dengan tulus, supaya aku bisa segera hamil dan memberikan keturunan untuk dia. Kalau nggak, lebih baik aku berpisah saja dengan Mas Langit. Untuk apa aku menjadi madu, tapi sama sekali nggak dihargai atau dibutuhkan di sini?"
Mendengar ancaman itu, Jingga langsung merasa panik. "Helena, aku mohon, jangan berkata seperti itu. Aku akan bicara dengan Mas Langit dan meminta dia untuk lebih memperhatikan kamu. Aku juga akan mengurangi waktu bersama dia, demi kebahagiaan kita semua." Jingga berjanji, meski di dalam hati merasa kehilangan dan ingin menangis.
"Maaf, kalau aku terkesan egois. Tapi, aku hanya ingin meminta hak-ku sebagai istri. Apa aku salah?" ujar Helena dengan nada lirih, seolah mengekspresikan kekecewaan dan penyesalannya atas keputusannya menjadi istri kedua Langit.
"Ya, kamu nggak salah, Helena. Aku janji akan membuat Mas Langit memberikan hak yang seharusnya kamu dapatkan. Aku mohon jangan pernah kamu berpikiran untuk berpisah dengan Mas Langit," ujar Jingga, berusaha meyakinkan dirinya sendiri sekaligus Helena.
Helena menatap Jingga dengan tatapan serius, lalu berkata, "Oke, aku akan mencoba bertahan. Tapi, kalau sikap Mas Langit tetap seperti ini dan dia tidak mau menjalani kewajibannya sebagai suami, aku terpaksa akan berpisah dengannya." Air mata Helena kembali bercucuran.
Mendengar kata-kata Helena, Jingga merasa sangat bersalah dan kasihan. Dia langsung meraih tubuh sahabat sekaligus madunya itu dan memeluknya erat.
"Maafkan aku, Helena. Aku yang sudah membuatmu terjerumus dalam masalah ini dan sekarang kamu harus terus merasakan sakit hati," batin Jingga, merasa bertanggung jawab.
Namun, di balik air mata yang mengalir, Helena ternyata memiliki niat jahat yang tersembunyi. "Jingga … Jingga, kamu pikir aku benar-benar serius mau berpisah dengan Mas Langit? Kamu yang harusnya berpisah dengan dia, supaya aku bisa memiliki Mas Langit sepenuhnya," gumamnya dalam hati, merasakan kebahagiaan tersendiri karena kecerdikkannya yang licik.
Bersambung …