Setelah seharian bekerja, Langit yang baru saja pulang ke rumah langsung masuk ke dalam kamar. Begitu melihat wajah cantik istrinya, Jingga, yang menyambutnya seperti biasa, rasa lelahnya seolah seketika lenyap. Jingga membuka dasi dan kemeja suaminya itu dengan penuh perhatian, membuat Langit merasa terharu. Saat itulah, dia langsung mendekati wajah istrinya, hendak menciumnya. Namun, Jingga menutup mulutnya dengan tangan, mengherankan Langit.
"Kenapa, Sayang? Apa ada yang salah?" tanya Langit dengan ekspresi kecewa.
Jingga menggeleng dan tersenyum lembut. "Bukan seperti itu, Mas. Lebih baik sekarang kamu mandi dulu, ini sudah malam dan yang lain pasti sudah menunggu kita untuk makan malam," ujarnya dengan bijaksana.
Langit menarik napas, mengerti maksud istrinya. "Gampang, yang penting sekarang aku ingin melepaskan rasa lelah dulu bersama kamu," sahutnya sambil menarik pinggul sang istri, mendekatkan posisi wajah mereka.
Napas keduanya terdengar saling berhembus, sementara mata mereka saling menatap dalam. Langit menyadari betapa beruntungnya dirinya memiliki seorang istri seperti Jingga, cantik, baik, yang selalu mengerti dan mendukungnya. Dia tahu, perjalanan hidup mereka masih panjang, namun bersama Jingga, tak ada rasa lelah yang tak bisa hilang.
Sementara Jingga menelan salivanya dengan susah payah. Menatap pria tampan di hadapannya saat ini, pria yang sangat ia cintai dan rasa cintanya semakin lama kian dalam. Namun, ia harus menerima kenyataan bahwa saat ini Langit bukanlah hanya miliknya sendiri, melainkan juga suami dari sahabatnya. Ia sudah memutuskan rela dimadu, sehingga juga harus rela untuk berbagi suami.
Saat Jingga terdiam, Langit kembali mendekatkan wajahnya, namun lagi-lagi istri pertamanya itu menolak dengan alasan.
"Mas, aku minta maaf, tapi lebih baik malam ini kamu bersama Helena. Ingat, tadi malam kamu sudah pergi begitu saja. Kasihan Helena yang sudah menunggu kamu." Jingga tak ingin egois.
"Iya, nanti aku pasti akan ke kamar Helena. Tapi sekarang, aku mau bersama kamu dulu," sahut Langit.
Tok, tok, tok!
Tiba-tiba, terdengar suara ketukan pintu. Sehingga Jingga pun mengambil kesempatan untuk melepaskan diri dari pelukan Langit dan bergegas membukakan pintu kamarnya. Sedangkan Langit yang merasa sedikit kecewa, bergegas menuju ke kamar mandi.
"Jingga, oma mengajak kamu dan Mas Langit untuk makan malam," kata Helena yang saat ini berdiri di depan pintu.
Jingga merasa sedikit lega karena adanya gangguan tersebut. Ia mencoba menyusun kembali pikirannya dan memutuskan untuk tetap bertahan pada keputusannya. Meski hatinya merasa tersayat, ia tak ingin mengecewakan sahabatnya, Helena. Namun, di balik rasa relanya itu, pertanyaan besar terus menghantuinya: Apakah ia akan mampu bertahan dengan situasi ini selamanya?
"Oh, iya, Helena, Mas Langit baru saja pulang dan lagi mandi. Lebih baik kita pergi ke ruang makan saja dulu, ya?" ujar Jingga.
"Oh, gitu. Ya sudah, ayo kita pergi." Helena pun setuju.
Namun, saat hendak menuruni tangga, tiba-tiba Helena menghentikan langkahnya. "Jingga, kamu duluan saja, ya? Aku mau ambil handphoneku dulu di kamar, aku lupa tadi," katanya dengan nada ragu.
"Iya, kalau begitu aku tunggu kamu di ruang makan ya," kata Jingga.
Helena mengangguk, lalu berbalik, namun bukan menuju ke kamarnya melainkan menuju ke kamar Jingga. Hatinya mulai berdegup kencang, entah apa yang sudah direncanakannya saat itu.
Sementara itu, Langit baru saja selesai mandi, dengan hanya melilitkan handuk di pinggang dan rambutnya masih basah. Dia keluar dari kamar mandi dan sangat terkejut dengan apa yang dilihatnya. Di tempat tidurnya bersama Jingga, terlihat Helena - istri keduanya, sedang berbaring di sana. Helena bergaya seksi, dengan senyum menggoda yang melukiskan rasa ingin tahu dan penuh rencana di wajahnya, seperti sedang mengajak Langit untuk berbuat sesuatu.
Helena menatap ke arah Langit dengan tatapan terpesona. Ketampanan Langit yang memukau, perut berototnya yang terlihat begitu seksi dan tubuh kekarnya, membuatnya seakan sosok pria yang sempurna. Tak heran jika Jingga sangat mencintai Langit. Helena sendiri merasakan perasaan cinta yang cepat menyelinap ke dalam hatinya.
"Mas Langit benar-benar tampan. Nggak masalah walaupun aku harus start duluan, dia suamiku juga," gumamnya dalam hati.
Tatapan Helena terhenti saat Langit menegurnya, "Helena, kenapa kamu bisa ada di sini? Di mana Jingga?" Langit dengan cepat menyadarkan Helena dari lamunannya.
"Oh, tadi Jingga sudah ke ruang makan dulu, Mas. Lagi pula, apa salahnya kalau aku ada di sini? Aku 'kan juga istri kamu," ujar Helena, mencoba membela keberadaannya di ruangan itu.
Namun, Langit kembali menegur, "Ini kamar Jingga dan kamu punya kamar sendiri. Malam ini, aku akan tidur bersama kamu."
Helena tidak menanggapi ucapan Langit, melanjutkan langkahnya perlahan hingga berada di dekat pria itu. Dia tersenyum manis, meletakkan tangannya di d**a bidang Langit dan mengusapnya dengan lembut. Hati Helena terombang-ambing antara cinta dan kecemasan, mempertanyakan apakah dirinya bisa mendapatkan cinta penuh dari Langit? Dia tidak mau terus berbagi dengan Jingga.
"Helena, apa yang kamu lakukan? Kamu mau apa?" tanya langit, dia merasakan sesuatu yang tak biasa namun mencoba untuk menahannya.
"Aku hanya mau meminta hak-ku, Mas," bisik Helena sambil menggoda, lalu ia pun mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Langit.
Langit merasa terkejut, namun di dalam hati, ia sadar bahwa dirinya hanyalah manusia biasa yang bisa saja tergoda, apalagi wanita di hadapannya juga istri sahnya. Itulah mengapa ia memutuskan untuk membalas ciuman yang diberikan Helena, membuat perasaan istri keduanya itu pun meluap bahagia.
Namun, saat Helena hendak melepaskan handuk yang dikenakan oleh Langit, pria itu tiba-tiba menahan tangannya dan melepaskan ciuman mereka.
Helena merasa bingung dan penasaran. "Mas, kenapa?" tanyanya dengan raut wajah kecewa.
"Lebih baik kamu keluar sekarang, nanti aku akan menyusul ke ruang makan," kata Langit dengan nada tegas.
"Tapi, Mas-"
"Aku bilang kamu keluar, Helena!" tegas Langit, membuat Helena tak bisa membantah lagi.
Wanita itu pun keluar dari kamar dengan rasa kesal yang mendalam. "b******k! Padahal sedikit lagi aku sudah bisa menjadi istri Mas Langit seutuhnya! Nanti malam, aku pastikan Mas Langit nggak akan bisa lepas dari genggamanku lagi," umpatnya dalam hati, menguatkan tekadnya.
Sementara itu, Langit duduk di tepi ranjang sambil mengacak-ngacak rambutnya. Pikirannya dilanda perasaan bersalah dan kebingungan, mencoba mencari alasan untuk perilakunya yang tadi, sekaligus berusaha meyakinkan diri bahwa apa yang dia lakukan adalah hal yang benar.
"Argh … kenapa bisa seperti ini? Kenapa rasanya sangat sulit membuka hati untuk Helena? Pasti sekarang Helena merasa sakit hati. Kenapa rasanya tidak sanggup untuk mengkhianati Jingga?"
Langit merasa sangat frustasi, namun ia tak ingin berlarut dalam kekacauan hatinya sehingga dia bergegas memakai pakaian dan menyusul ke ruang makan, menghampiri keluarganya yang sudah tampak menunggu.
***
Setelah makan malam selesai, Langit benar-benar menepati janjinya. Ia bergegas menuju ke kamar Helena, namun di saat itu kamarnya begitu gelap, sehingga langit segera saja mencari kontak lampu dan menghidupkannya.
Seketika itu, membuatnya benar-benar tercengang melihat pemandangan di depan mata. Helena menggunakan lingerie tipis berwarna pink transparan yang memperlihatkan lekuk tubuh indahnya. Langit mencoba menahan diri, namun bagaimana bisa? Sebagai pria normal, tentu saja ia tertarik oleh tubuh Helena yang begitu seksi, tak kalah dengan Jingga, istri pertamanya.
Helena menyadari lamunan suaminya, lalu tersenyum manis dan berkata, "Mas, kenapa kamu melamun di sana? Ayo ke sini." Dia memberikan gestur dengan jarinya untuk mendekat.
Seolah terhipnotis, Langit langsung melangkah mendekati Helena yang tersenyum penuh gairah itu. Ia merasa sedikit bersalah, tapi di saat yang sama juga sangat tergoda oleh penampilan Helena. Ketika jarak mereka sudah begitu dekat, Helena tiba-tiba mendorong tubuh Langit hingga jatuh terlentang di atas tempat tidur. Kemudian, Helena langsung menaiki tubuh suaminya itu, matanya yang penuh hasrat memancarkan pesona yang sulit sekali untuk ditolak.
Bersambung …