Malam pun tiba mentari telah mempersiapkan semua nya untuk esok berangkat menuju kota Jakarta dan akan berkuliah di universitas Gunadarma jurusan manajemen informatika.
"Mentari.....! Cucuku Apakah semua nya sudah di persiapkan. " Kata Nenek Khadijah.
"Alhamdulillah" Semua nya sudah Nek'' jawab Mentari.
"Ingat Pesan Nenek' jangan keluyuran kalau sudah beres Kuliah'' jangan terbawa yang tidak tidak'' pesan Nenek' kepada mentari.
"Cucuku..! Nanti di Jakarta kamu harus bisa jaga diri. Di sana tidak sama di sini. Hidup di sana sangat keras dan satu lagi kamu harus janji tetap dengan penampilanmu yang sekarang.
"Iya Nek'' jawabku singkat.
"Seandainya bunda mu masih ada mungkin kau tidak akan kesusahan untuk kuliah di Jakarta. Cucuku entah apa yang akan kamu hadapi di kota besar nanti. Disana Penuh dengan kepalsuan" Kata Nenek dengan wajah sedih dan ada rasa khawatir yang tergambar seolah olah Nenek pernah mengalami nya.
"Mentari bisa jaga diri kok?" lagian selama kuliah Mentari tinggal di kota Jakarta bersama teman yang sama sama mendapatkan beasiswa.
"Tapi di Jakarta berbeda Cucu ku...'' Disana lebih berbahaya ketimbang kuliah di sini.
"Ku....peluk Nenek dan untuk meyakinkan kalau mentari akan baik baik saja dan akan menjaga diri.
"Sekarang kamu tidur'' besok kan berangkat nya pagi'' kata Nenek menyuruh untuk segera tidur..
"Baik' Nek'' balas Mentari singkat seraya beranjak ke kamar tidur nya.
Malam semakin larut. Suara jangkrik yang
sebelumnya ramai terdengar mulai menghilang. Mungkin mahluk-mahluk itu juga ingin beristirahat. Atau letih bernyanyi karena tak ada yang mempedulikan. Mentari masih sibuk memencet-mencet
smartphone-nya, berusaha menghilangkan gundah
yang sedang mendera. Padahal Nenek nya menyuruh nya untuk cepat cepat tidur karna esok perjalanan panjang menantiku. Tapi kenapa hati ini terasa gelisah di malam yang sangat sunyi ini.
*
*
*
"Sementara seorang pemuda berusia 23 tahun sedang mengobrol bersama tetangga nya di rumah lelaki Tua yang bernama Suryana. Suryana pulang ke kota tadi sore karna ada sesuatu yang harus di urus Entah apa aku tidak tahu dan enggan bertanya'' kata batin pemuda yang bernama Ishaq
Jurig....! Jurig.....! Jurig.....! teriak salah seorang warga desa bawah. Semua orang mulai bergegas masuk, mengunci rapat jendela, pintu bahkan kamar masing masing. Membuat malam rasanya semakin mencekam. Semakin gelap, dan sunyi. Hanya suara-suara jangkrik serta hewan hewan malam yang ikut membuat suasana semakin mencekam di desa yang baru dua malam aku tempati.
Tadi sore aku selepas pulang mengajar lelaki tua itu pun sebelum keberangkatan menuju kota. Ia berpesan kalau seandai nya ada orang orang yang berteriak-teriak menyebut kata hantu, jurig, genderewo atau pun pocong. Harus menutup kunci jendela dan pintu serta jangan keluar malam malam. Kejadian-kejadian mengerikan itu sudah belasan tahun lamanya berlalu. Namun, bagiku tadinya tidak percaya dengan obrolan dari lelaki tua itu. Tapi apa yang sekarang aku alami adalah nyata hingga kini.
"Pa Guru Ishaq suasana seperti ini mengingatkan saya tentang waktu kecil tinggal di bogor'' kata tetangga nya yang ikut masuk di rumah lelaki tua untuk sekedar menemani pemuda tampan yang baru dua hari dia tinggal di sini.
"Bisa kah anda ceritakan kepada saya karna Aku merasa penasaran tentang cerita anda" pinta pemuda yang di sebut pak guru itu.
Aku ingat betul apa yang dulu pernah
disampaikan para orang tua kepada kami, anak-anak
yang tidak mengerti apapun mengenai hal-hal yang mencekam itu.
"Jangan berada di luar, apalagi kalau sudah malam. Dia akan datang, “kata salah seorang tetanggaku.
Setiap kali kalimat mengerikan itu terdengar, sebagai anak-anak, kami hanya bisa berimajinasi. Kemudian imajinasi kami mulai membayangkan sosok-sosok mengerikan yang bisa kami bayangkan.
Jika kami bertemu dengannya, dia akan memakan kami. Kami pun berlarian ke rumah masing-masing..
Mata melotot, rambut panjang berantakan,
wajah rusak, bahkan ada yang membayangkan sosok itu tak berkepala. Sosok itu pasti akan datang untuk menakut nakuti seluruh isi desa dengan suara suara
anehnya.
***
Menurut sejarah, kampungku dulunya
merupakan salah satu masyarakat Buitenzorg. Sekarang menjadi Bogor
melakukan eksekusi kepada mereka, para koloni Belanda yang pernah menjajah dan menetap di Bogor.
Menurut kisah para orang tua, kala itu
ketika Buitenzorg atau sekarang di sebut Bogor merdeka tepat tiga tahun sebelum
Indonesia, beberapa tentara Belanda yang tidak sempat meninggalkan Buitenzorg digiring para pemuda ke sebuah tanah lapang. Di sanalah mereka dieksekusi hingga mati.
Kampungku di beri nama Kampung Baru.
Namun, menurut cerita orang-orang tua dahulu, tentara-tentara Belanda itu tidak tenang arwahnya. Hingga pada akhirnya, menyebarlah cerita-cerita horor yang kemudian disusul oleh kejadian nyata
yang tidak akan pernah dilupakan oleh kami, masyarakat Kampung Baru pada september 1989
Pada malam hari ketika salah seorang warga sudah memberikan peringatan dengan kalimat tersebut, desaku mulai dirundung ketakutan.
Rasanya, malam menjadi begitu panjang. Orang-orang
akan bergegas mengunci rumah masing-masing. Kisah ini dimulai saat salah seorang warga Kampung Baru
ya hendak pulang ke rumahnya, selepas salat Isya berjamaah di Masjid yang ada di depan rumahku.
Saat hendak pulang, ia melewati kuburan para tentara Belanda. Pada saat itulah, dia melihat sosok lelaki paruh baya menggunakan seragam kompeni terlihat
setengah berdiri dan terisak seakan memohon ampun dalam keadaan berlumuran darah, serta tanpa lengan
kiri dan kanannya.
Satu-satunya hal yang bisa dilakukan oleh
warga kami itu hanyalah mundur perlahan, kemudian berlari secepat yang ia bisa, kembali menuju masjid yang saat itu masih terdapat beberapa jamaah sedang
duduk bercengkrama.
“Anda kenapa?”tanya salah seorang jamaah.
Suasana menjadi hening seketika. Kami yang sedang asyik bermain wayang malah jadi ikut-ikutan penasaran.
Mang Jaka sebutan laki-laki itu mulai bercerita.
mengenai sosok horor yang ia saksikan sedang terisak di kuburan koloni Belanda yang membuat ia harus berlari kencang, dan merusak salah satu sandal
miliknya.
Seminggu setelah kisah horor itu
tersebar, kami mendengar hentakan kaki orang-
orang, seperti sedang baris-berbaris di jalanan desa.
Malam itu tepat setelah salat Isya. Namun, apa yang mata kami lihat tidak sejalan dengan apa yang kami dengar. Jalan sunyi senyap. Malam malam semakin mencekam. Suara
hentakan-hentakan kaki setiap malam itu mulai mengubah kebiasaan penduduk desa. Para orang tua mulai melarang kami, anak-anak untuk pergi bermain saat malam hari. Jalanan menjadi begitu sepi. Penduduk mulai mengunci diri di rumah masing-masing.
Semua itu selalu saja terjadi selepas salat Isya. Kampung Baru yang kala itu masih gelap gulita tanpa aliran listrik, menjadi semakin gelap dan sunyi. Sesekali, ronda
dilakukan, beberapa warga desa bergantian berjaga-jaga jika terjadi hal darurat.
Pada suatu malam yang lain, selepas salat Isya, sebelum orang tua memanggil kami, kami masih asyik bermain di pelataran masjid, bercanda sampai salah satu temanku terjatuh.
Bersambung.