Hening merayapi ruang tamu mewah itu. Kilau lampu kristal di langit-langit memantul di meja kaca, seakan ikut mempertegas ketegangan yang menggantung di antara mereka. Nathaniel bersandar di sofa dengan tubuh kaku, matanya menatap ke arah Aurelia yang kini duduk membeku di hadapannya. Jemari wanita itu bergetar halus, menggenggam rok sutra yang ia kenakan. Nathaniel tahu, ia baru saja menorehkan luka pada hati seseorang yang pernah begitu ia sayangi. Tarikan tangannya yang menjauh dari genggaman Aurelia tadi memang sederhana, tapi maknanya jauh lebih dalam. Itu adalah penolakan. Dan penolakan itu berhasil menorehkan garis retak yang jelas pada jiwa Aurelia. Ia menoleh sekilas, melihat wajah Aurelia yang pucat. Air mata tidak turun, tapi mata itu berkilat rapuh, seperti kaca yang siap pec

