Pagi itu, Nathaniel membuka matanya dengan perasaan ganjil yang semakin hari semakin sulit ia abaikan. Ia duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah gorden yang bergoyang pelan terkena hembusan angin dari pendingin ruangan. Kepalanya terasa berat, seolah ada beban yang ditanamkan di balik pelipisnya, sesuatu yang menekan-nekan, bukan hanya karena cedera lama, tapi seperti akibat lain yang lebih samar. Ia mengusap wajah dengan kedua telapak tangan, menarik napas panjang, lalu menghela. Rutinitas ini sudah menjadi bagian dari hidupnya sejak kecelakaan itu: bangun dengan kepala berdenyut, bangkit dengan tubuh lelah meski tidur panjang, dan menatap hari dengan pandangan setengah keruh. Seperti biasa, pintu kamar terbuka dengan suara berderit pelan. Aurelia masuk, rambut hitamnya terurai s