[Pagi Hari – Firma Hukum Baskara & Partners]
Nathaniel berdiri di depan jendela kaca besar di lantai 15 kantornya. Jaket jas tergantung di sandaran kursi, dasinya longgar, dan gelas kopinya sudah dingin. Di tangannya, dokumen gugatan Alika sudah ditandatangani. Tapi pikirannya… tidak fokus.
Tok. Tok.
Aurelia masuk tanpa menunggu izin.
“Kita perlu bicara,” ucapnya datar.
Nathaniel menoleh, memasang ekspresi profesional. “Aurelia. Aku sedang sibuk.”
“Bohong,” sahut wanita itu. “Sejak dua hari terakhir, kamu selalu pulang larut, tak pernah menjawab pesan, dan—” ia meletakkan selembar foto di meja Nathaniel, “—kamu bahkan tidak tahu kalau kamu sedang diikuti.”
Nathaniel menatap foto itu: ia dan Alika, dari sudut jendela apartemen, tampak seperti pasangan yang saling menggenggam tangan.
“Dari mana kamu dapat ini?”
“Teman. Investigator. Jangan lupakan siapa aku, Nathan. Aku pewaris firma ini, dan aku tahu siapa yang kamu lindungi. Nama ‘Alika Valendria’ muncul di memo kantor. Kamu tidak hati-hati.”
Nathaniel terdiam.
“Rayven Hartadi bukan orang sembarangan,” lanjut Aurelia. “Kita sedang bermain api, dan kamu… bertindak seperti laki-laki jatuh cinta, bukan pengacara.”
Nathaniel menatap Aurelia, suaranya rendah. “Kalau kamu datang ke sini hanya untuk menuduh, lebih baik keluar.”
Aurelia menegang. Tapi kemudian ia lembut. “Aku datang bukan hanya sebagai tunanganmu. Tapi sebagai seseorang yang masih peduli padamu, Nathan. Jika kamu terus seperti ini... kamu bukan cuma kehilangan karier. Kamu bisa mati.”
Nathaniel menghela napas. “Aku tahu risikonya. Tapi aku nggak bisa pura-pura nggak melihat ketidakadilan di depan mataku.”
Aurelia melangkah mendekat. “Berhenti... sebelum semuanya terlambat. Biarkan pengacara lain tangani kasus itu. Atau aku sendiri yang akan bertindak.”
Nathaniel menatap mata Aurelia. “Ancaman?”
“Peringatan,” balasnya. Lalu ia pergi.
Nathaniel memejamkan mata.
Untuk pertama kalinya, ia sadar: kasus ini sudah terlalu jauh menembus batas profesional dan pribadi. Dan yang dipertaruhkan... bukan hanya hatinya.
***
Pada malam hari di apartemen Alika, suasana hening setelah Nathaniel mengakui tentang tunangannya. Ciuman mereka berakhir dengan luka emosional yang menggantung. Tapi di antara luka itu, sesuatu tetap menghubungkan mereka.
Alika masih terisak di sofa saat Nathaniel kembali dari dapur, membawa air putih.
“Aku akan tetap lindungi kamu. Aku nggak akan pergi,” katanya pelan. “Tapi kita harus jaga jarak. Setidaknya… sampai kamu benar-benar bebas.”
Alika menoleh, matanya memerah. “Apa kamu benar-benar mencintaiku, atau semua ini cuma... pelarian dari hubunganmu yang hambar?”
Nathaniel menahan napas. “Aku nggak bisa jawab itu sekarang.”
Alika bangkit, mendekatinya. Wajah mereka hanya berjarak beberapa inci.
“Kamu tahu rasanya dikhianati orang yang kamu sebut suami?” bisiknya getir. “Sekarang... kamu bilang ingin jaga jarak, setelah kamu yang mengajari aku percaya lagi?”
Nathaniel menatap matanya. “Itu karena aku ingin kamu bisa berdiri sendiri. Tanpa bergantung padaku. Karena aku... terlalu rapuh kalau itu tentang kamu.”
Mereka hampir saling memeluk lagi, tapi tiba-tiba—
KRAK.
Suara dari balkon.
Nathaniel segera meraih pisau kecil yang ia bawa dari dalam jas, lalu membuka pintu balkon perlahan.
Kosong.
Hanya angin malam yang mengaduk tirai.
Tapi di lantai, ada bekas jejak sepatu basah.
Nathaniel memeriksa kunci pintu. Tidak ada yang rusak. Tapi ia tahu... seseorang baru saja berdiri di sana.
***
[Di tempat lain – Gedung Tua, Jakarta Utara]
Seorang pria gemuk berbaju batik mengangkat ponsel.
“Iya, Bos. Kamera berhasil ditanam di balkon apartemen. Si pengacara itu mulai terganggu. Sinyal akan kita matikan total besok malam.”
Di ujung telepon, suara Rayven terdengar dingin.
“Bagus. Tunggu instruksi. Tapi jangan sentuh Alika. Belum sekarang. Aku ingin dia datang padaku sendiri... ketika semuanya sudah dia hancurkan dengan tangannya sendiri.”
***
Di apartemen Alika, Nathan memiliki kamar sendiri dan ia duduk di ujung tempat tidur, wajahnya tegang. Ia baru saja menelepon teknisi keamanan. Tapi di hatinya, ada rasa yang lebih mengerikan daripada ancaman mafia:
Rasa bersalah.
Alika keluar dari kamar mandi dengan handuk di rambutnya. Ia memandang Nathaniel lama, tapi kali ini tidak bicara.
Nathaniel berdiri, hendak pamit.
Tapi sebelum pergi, ia menoleh.
“Kalau aku harus memilih antara melindungi kamu atau mempertahankan reputasiku... maka biarlah semua orang bilang aku gila. Karena aku akan pilih kamu, Lika.”
Alika terpaku. Tapi sebelum sempat menjawab, Nathaniel membuka pintu dan pergi ke lorong apartemen.
Namun tak sampai tiga langkah… langkah kakinya terhenti.
Seseorang berdiri di ujung koridor. Rambut panjang. Gaun hitam. Sepasang mata tajam.
Aurelia.
“Aku cuma ingin tahu... seberapa jauh kamu siap melawan aku, Nathaniel,” ucap wanita itu.
Nathaniel membeku.
Dan dari balkon apartemen Alika, kamera kecil yang menempel di bawah pot bunga berkedip—mengirimkan rekaman langsung... kepada Rayven.
***
Suara ketukan di pintu membuat Alika terbangun dari lamunan. Ia masih berdiri di dekat jendela, menatap langit malam Jakarta yang penuh cahaya tapi terasa dingin. Nathaniel baru saja keluar lima belas menit lalu. Siapa yang datang?
Ketukan kembali terdengar. Kali ini lebih tegas. Alika berjalan pelan ke arah pintu, jantungnya berdebar.
“Siapa?” tanyanya dari balik pintu.
“Saya Aurelia. Kita perlu bicara, Alika.”
Alika menegang.
Suara itu dingin, terlatih, dan penuh kontrol. Tidak seperti suara Nathaniel, yang selalu terdengar seperti pelindung.
Perlahan, ia membuka pintu. Di hadapannya berdiri seorang wanita cantik, elegan dalam balutan gaun hitam pas badan dan sepatu hak tinggi berwarna perak. Rambutnya tertata rapi, riasannya sempurna.
Aurelia Santoso.
Wanita itu menatapnya dengan senyum halus, tapi jelas tidak ramah. “Boleh saya masuk?”
Alika menelan ludah, ragu. Tapi sebelum ia menjawab, suara lain datang dari ujung lorong.
“Jangan!”
Nathaniel muncul kembali. Nafasnya memburu. Ia melihat ke arah Aurelia, lalu ke Alika. “Lika, tutup pintunya. Sekarang.”
Aurelia berbalik. “Nathan. Kau terlalu terlambat. Aku hanya ingin berbicara—sesama perempuan.”
“Aku tidak izinkan kamu masuk,” tegas Nathaniel.
Alika masih berdiri di ambang pintu, bingung, tapi tak bergeser.
Aurelia menoleh padanya. “Aku tidak datang untuk menyakitimu. Aku hanya ingin kamu tahu... apa yang kamu mulai bisa menghancurkan bukan hanya hidupku, tapi juga hidup Nathan.”
“Aurel, cukup,” Nathaniel melangkah cepat dan berdiri di antara mereka. “Kita bicara nanti, di luar. Ini bukan tempatnya.”
Tapi Aurelia tak mundur. “Kau jatuh cinta padanya, kan? Kau mengorbankan segalanya demi perempuan yang bahkan kamu kenal belum sebulan.”
Nathaniel menoleh tajam. “Keluar.”
Aurelia menatap Alika sekali lagi, matanya menusuk. “Jangan terlalu yakin kamu diselamatkan. Kadang, pria yang menyelamatkanmu bisa lebih berbahaya dari pria yang kau tinggalkan.”
Cukup.
Nathaniel meraih lengan Aurelia dan menariknya menjauh dari pintu. “Maafkan aku, Lika,” katanya cepat sebelum menutup pintu dan membawa Aurelia ke lorong.
“Lepaskan aku, Nathaniel,” desis Aurelia.
“Kamu melampaui batas. Ini bukan tentangmu lagi. Ini tentang keselamatan seseorang yang sedang berjuang untuk hidupnya.”
Aurelia mendekatkan wajahnya ke arah Nathaniel, tajam. “Aku akan membuatmu memilih. Firma ini... atau perempuan itu. Karena kamu tidak bisa punya dua-duanya.”
Nathaniel terdiam.
Aurelia melangkah pergi, tapi sebelum masuk lift, ia menoleh dengan senyum miring. “Dan satu hal lagi, Nathan... Rayven bukan satu-satunya yang punya koneksi gelap.”
Pintu lift tertutup.
Nathaniel berdiri diam. Nafasnya memburu.
Dari balik pintu, Alika menyandarkan tubuhnya, mendengar segalanya. Untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang lebih dingin dari ketakutan: keraguan.
Apakah Nathan benar-benar bisa melindunginya?
Atau... ia hanya sedang berada di antara dua dunia yang siap saling menghancurkan?
---
Follow me on IG: @segalakenangann